jpnn.com - JUNAIDIN tergerak membangun pesantren ketika angka kriminalitas di Bima meningkat. Sebelum tahun ini, dia harus mengajar sendiri seluruh santrinya.
TRI MUJOKO BAYUAJI, Bima
BACA JUGA: Keren, Usia 73 Tahun Masih Dipercaya jadi Gubernur
KE bangunan dengan atap seng berwarna biru nun jauh di bawah bukit Desa Songgela itulah mobil Junaidin mengarah. Cukup jauh dari perkampungan penduduk. Juga, mesti melalui jalan yang hanya sebagian kecil sudah beraspal. Sisanya berbatu-batu dan terjal.
Kian dekat dengan bangunan yang dituju, lantunan ayat suci Alquran terdengar. Dari suara anak-anak. ”Mereka ini anak-anak Desa Songgela. Sekarang, kalau penuh, jumlahnya bisa sampai 70 anak,” kata Junaidin.
BACA JUGA: Konon, saat Pelangi Muncul Para Bidadari Mandi di Sini
Yang dimaksud ”kalau penuh” oleh polisi berpangkat brigadir polisi kepala (bripka) itu adalah bangunan bercat biru tersebut. Itulah musala, tempat segala aktivitas santri Pondok Pesantren (Ponpes) Al Fathul Alim berpusat.
Tidak sepeser pun biaya yang dikenakan kepada anak-anak yang ingin mengaji di sana. Mayoritas santri di pondok itu berusia 6–7 tahun. Yang lebih tua daripada itu umumnya sudah khatam. ”Saya mendirikan pesantren ini sejak 2009,” kata polisi yang bertugas di Polsek Rasanae Barat, Kota Bima, Nusa Tenggara Barat, tersebut.
BACA JUGA: Luar Biasa, Coretan Arek Suroboyo Diapresiasi Valentino Rossi dan Paul McCartney
Ayah tiga anak itu mendirikan ponpes tersebut dari hasil memeras keringat sendiri. Dalam arti seharfiah-harfiahnya. Maksudnya, Junaidin tak hanya merogoh kocek sendiri. Tapi juga keluar tenaga untuk membangunnya.
Ponpes itu berdiri di sebidang tanah yang dibeli sepulang Junaidin melaksanakan tugas kepolisian di Papua. Uang yang digunakan untuk membeli tanah seluas 0,8 hektare tersebut berasal dari warisan keluarga.
”Harganya Rp 62 juta waktu saya beli,” ujar Junaidin.
Di awal ponpes itu berdiri, Junaidin harus menyisihkan uang Rp 300 ribu sampai Rp 400 ribu dari gaji bulanan untuk membeli dinding bambu. Material lain seperti pasir dia ambil langsung dari sungai yang mengalir di samping ponpes.
Junaidin sendiri yang mengangkutnya. Kebutuhan kayu dia ambil dari tanah warisan keluarga di Desa Melayu. ”Saya tidak mungkin bayar tukang. Uang dari mana? Sesekali memang saya panggil satu atau dua warga buat minta bantu bangun,” katanya.
Junaidin rela melakukan semua itu karena ingin berbuat sesuatu untuk kampung tempatnya lahir dan dibesarkan. Sebab, sebagai polisi, pria yang tak pernah mengenyam pendidikan di ponpes itu tahu sekali bahwa angka kriminalitas di Bima meningkat.
Parahnya lagi, mulai melibatkan anak-anak usia remaja. ”Bagaimana mau baca Alquran kalau tiap hari nonton TV, buka HP, minum pil-pil yang tidak ada manfaatnya itu,” kata Junaidin.
Sebelum memastikan untuk membeli tanah tempat ponpes berdiri, Junaidin menemui dulu kepala desa dan RT-RW di Songgela. ”Saya umumkan, ’Bapak-Bapak, bagaimana kira-kira kalau saya bangun pesantren di sini? Bapak-Bapak senang atau gimana?’ Mereka langsung setuju,” kata Junaidin.
Secara bertahap, Junaidin membangun musala terlebih dahulu, disusul dengan bangunan rumah tinggal dan ruang kelas. ”Hampir semua bangunannya dulu pakai bambu. Sambil dibangun, sudah ada anak-anak yang mengaji di sini meski belum banyak,” tutur Junaidin.
Baru sekitar satu tahun ponpes berjalan, dinding bambu yang dia beli dengan hasil jerih payahnya sudah dimakan rayap. Hampir semuanya. ”Saya cuma bisa bilang subhanallah,” kata Junaidin, lalu tertawa.
Tapi, dia sama sekali tak putus asa. Junaidin akhirnya memilih membangun ponpes dengan material yang lebih kuat, yakni batu bata dan semen. Otomatis, biaya yang dibutuhkan lebih besar. Juga, waktu pembangunan lebih lama.
Artinya, dia harus pintar-pintar membagi waktu untuk tugas sebagai polisi dan membangun ponpes. Untung, polsek tempat dia bertugas tidak terlalu jauh dari Songgela. Hanya 15–20 menit perjalanan darat.
”Kalau saya piket cadangan atau tidak ada demo di kota, saya pasti ke sini. Kalau tidak ada bata atau kayu buat bangun, minimal angkat pasir dulu di sungai,” tutur Junaidin.
Dengan harga material yang terus naik, Junaidin otomatis harus menganggarkan dana yang lebih besar daripada sebelumnya untuk membangun ponpes. Yakni, Rp 500 ribu sampai Rp 600 ribu setiap bulan.
Padahal, gaji take home pay-nya sebagai bripka sekitar Rp 4,5 juta per bulan. Tapi, Junaidin merasa bahwa itu mencukupi untuk menutup kebutuhan membangun ponpes sekaligus menghidupi istri dan ketiga anaknya.
”Alhamdulillah, saya sampai sekarang juga terus dikaruniai sehat luar biasa. Jadi, tetap bisa kasih naik pasir-pasir ini,” ujarnya.
Kini ponpes yang mati-matian dibangun sendiri oleh Junaidin itu memang lebih kukuh daripada sebelumnya. Tapi, tetap terlihat sangat bersahaja. Musala, misalnya, masih setengah jadi. Belum semua lantai dan dinding beralas keramik.
Atapnya pun dibangun bukan dengan baja ringan, melainkan masih rangka kayu. Kombinasi antara kayu mahoni dan kayu jati. Belum terlihat satu lembar pun plafon yang terpasang untuk menutup atap itu. Memang sudah ada tiga pigura dengan gambar kaligrafi, tapi belum dipasang di tembok musala.
Junaidin membagi dua kelompok membaca Alquran itu. Para santri lelaki berada di dekat mimbar, di bagian belakang terdapat para santri perempuan. Tiap kelompok didampingi dua pengajar.
Kain pembatas antara santri laki-laki dan perempuan juga masih seadanya. ”Para pengajar itu baru tahun 2016 ini ada. Sebelumnya, saya sendiri yang ngajar,” terang Junaidin.
Di ponpes itu, ada tiga bangunan lain. Di dekat pintu pagar yang terbuat dari bambu, ada sebuah rumah yang tampaknya akan menjadi tempat para pengajar ponpes. Di depan musala, ada ruang kelas yang dibagi menjadi tiga bagian yang masih setengah jadi.
Satu bagian digunakan untuk kantor para pengajar. Sedangkan dua bagian lain, masing-masing digunakan untuk santri lelaki dan perempuan. Jangan bayangkan semua bangunan ponpes itu dibangun dengan kualitas rapi. Untuk tembok saja, terlihat lekuk-lekuk dengan kualitas seadanya. ”Wajar saja bengkok-bengkok, orang saya bangun sendiri, ha ha ha,” kata Junaidin.
Selama enam tahun membangun ponpes, Junaidin mengatakan bahwa baru sekali ada perwakilan pemerintah setempat yang datang untuk melihat. Orang itu adalah A Rahman Abidin, wakil wali kota Bima saat ini.
Junaidin mengaku tidak pernah meminta-minta bantuan dinas untuk membangun ponpes. ”Karena menurut saya, semua rezeki itu dari Allah. Ya biarkan saja mereka yang mau datang ke sini bukan atas permintaan saya, tapi dituntun oleh Allah,” ujarnya, lalu tersenyum.
Junaidin juga mengatakan, pernah ada seorang perwira jenderal polisi yang ingin memberinya uang Rp 13 juta untuk membantu membangun ponpes. Namun, Junaidin tidak mau serta-merta menerima.
”Ya, kan ponpes ini isinya anak-anak yang mau hafal Alquran, mau jadi hafiz. Saya tidak mau sembarangan terima, kecuali memang betul dari jerih payah sendiri,” ucap dia. (*/c11/ttg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Wajah-wajah Lusuh setelah Banjir Bandang Menghantam
Redaktur : Tim Redaksi