KISAH HEROIK! Portugis, Spanyol dan Belanda Mati-matian Merebut Barnavel

Selasa, 02 Agustus 2016 – 12:53 WIB
Benteng Barnavel. FOTO: Malut Post/JPNN.com

jpnn.com - BARNAVEL. Adalah salah satu benteng peninggalan bangsa penjajah yang masih berdiri kokoh hingga saat ini. Portugis membangun benteng ini tahun 1558. Sempat dikuasai Spanyol, benteng ini lalu diabadikan menggunakan nama Belanda. Menjadi saksi perjalanan bangsa, butuh 69 tahun bagi pemerintah Indonesia untuk mulai melirik lagi situs sejarah ini.

SAHRIL SAMAD, Labuha

BACA JUGA: Chano, Bocah asal Ende Harumkan Indonesia di Kancah Dunia

Di tengah kota Labuha, Bacan, Halmahera Selatan, berdiri gagah sebuah bangunan bersejarah. Tembok-tembok yang mengelilinginya masih utuh. Begitu pula empat buah meriam yang masing-masing terletak menghadap ke empat arah mata angin berbeda.

Warga mengenal bangunan itu sebagai Benteng Barnaveld. Nama lengkapnya, Fort Oldebarneveld te Batjan op de Molukken.

BACA JUGA: Salut si Penjaga Hutan, Tidak Dapat Gaji, Nyawa Jadi Taruhan

Nama Belanda. Tapi benteng yang terletak di Jalan Benteng Bernaveld RT/RW 04/08 Desa Amasing Kota ini merupakan benteng buatan Portugis. Meski ketika dibangun pada 1558, bangunan ini awalnya difungsikan sebagai pusat penampungan rempah-rempah.

”Di masa kepemimpinan Sultan Muhammad Ali, rempah-rempah adalah barang mewah di Eropa yang mahal harganya. Karena harganya yang sangat tinggi, para pedagang berbondong-bondong berusaha mati-matian membawanya ke Eropa,” ungkap Salim MA Kamarullah, Ketua Yayasan Peduli Lippu (Negeri), kepada Malut Post (JPNN Group), Rabu (27/7).

BACA JUGA: Dicemooh, Dikejar Orang Bawa Golok, Akrab dengan Binatang Buas

Oleh karena itu, Portugis sebagai bangsa Eropa yang pertama kali menginjakkan kaki di Bacan membangun sebuah tempat penampungan rempah. Bangunan itu disebut Loji, dan menghadap ke arah laut.

Kehadiran bangsa Eropa lain, yakni Spanyol, membuat perdagangan rempah menjadi sebuah persaingan. Loji pun direnovasi menjadi sebuah benteng pertahanan.

Saat itu, hubungan Portugis di bawah kepemimpinan Antonio Carvalho dengan Kesultanan Bacan sempat menegang. Portugis yang telah diizinkan berdagang di Bacan malah menolak membayar pajak pada Kesultanan. Sultan Muhammad Ali pun mengusir bangsa ini dibantu saudaranya, Tunggu Lawang.

Tahun berikutnya, Portugis kembali mendatangi Bacan. Namun keengganan mereka membayar pajak tetap mendapat penolakan yang sama. Begitu pula dengan bangsa Belanda yang menyusul kemudian.

”Jadi Portugis dan Belanda tidak menjajah, melainkan (datang untuk, red) berdagang,” tutur Salim saat ditemui di kediamannya di Amasing Kota.

Di kalangan Eropa sendiri, Portugis dan Spanyol merupakan pesaing yang berseteru ketat dalam menemukan sumber rempah-rempah. Baru setelah itu Belanda. Ketika Spanyol tiba di Bacan, benteng mungil milik Portugis kemudian direbutnya.

Loji itu kemudian diambil alih Belanda melalui tuntutan Laksamana Muda Simon Hoen bersama Sultan Ternate Mudaffar Sjah I. Pengambilalihan benteng itu dilakukan pada 1609.

Atas gagasan Hoen, Louis Schot dan Jan Dirkjzoon, benteng ini kemudian diperkuat. Empat bastion, atau tembok yang dibuat menonjol keluar, dibangun. Dan Benteng itu pun dinamai Bernaveld, sebuah nama Belanda.

Begitu dikuasai pihak Belanda, bangunan benteng dipugar menggunakan batu dan kapur. Di tengah-tengah benteng dibangun bangunan rumah sebagai tempat singgah.

Rumah beratapkan rajutan rumput kering itu dibangun dengan tembok batu setebal 30 sentimeter. Di dalam benteng juga dibuat ruang bawah tanah. Pintu gerbang utama dibuat melengkung dan berhadapan langsung dengan Sungai Amasing. Benteng ini juga pernah dikelilingi parit, yang menambah keunikan benteng.

Tinggi dinding benteng kurang lebih 4 meter, dengan tebal 60 sentimeter. Selain itu, terdapat ceruk bidik pada setiap sisi parapet atau bagian dinding yang rendah pada tembok pelindung benteng. Sebelum naik ke pelataran atas, terdapat ruang tentara di belakang pintu masuk utama.

Pada bagian atas terdapat dua bekas bangunan dengan tiga ruangan besar dan satu ruangan kecil. Usia membuat sebagian plester dinding benteng terkelupas sehingga nampak struktur dinding dalam benteng.

Di sekitar benteng seluas 480 meter persegi itu terdapat batu prasasti besar bertulisan latin. Di bagian kanan batu terdapat tanda keluarga Pieter Both, Gubernur Jenderal pertama VOC, perusahaan dagang Belanda. Prasasti ini masih utuh hingga saat ini.

Sayang, begitu Indonesia merdeka dan Benteng Barnaveld ditinggalkan Belanda, kondisinya menjadi tak terurus. Beberapa pohon besar tumbuh, juga semak belukar.

Baru pada 2014, kawasan benteng seluas 2.400 meter persegi ini mulai diperhatikan lagi. Melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang bekerja sama dengan Balai Pelestarian Cagar Budaya Maluku Utara, berbagai pemugaran dilakukan.

Kini, Barnaveld menjadi salah satu destinasi wisata sejarah di Pulau Bacan. Sebagai satu-satunya benteng di pulau terbesar kedua di Kabupaten Halmahera Selatan itu, Barnaveld memiliki daya tariknya sendiri. Juga sebagai bukti bahwa Bacan pun pernah menjadi salah satu kawasan strategis perdagangan rempah dunia.(JPG/cr-07/kai/fri/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kisah Mama Alegonda, Berjualan Sagu Demi 3 Anak Asuhnya


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler