Kisah Iwan Fals saat Kuliah, Buku Ini Aku Pinjam, Mata Indah Bola Pingpong

Kamis, 03 September 2015 – 05:41 WIB
Iwan Fals saat reuni Kampus Tercinta IISIP di Space Concert Station, Kemang, Jakarta, Minggu malam (30/8). Foto: Jawa Pos

IWAN FALS tidak pernah kelar kuliah di kampus tercintanya, Sekolah Tinggi Publisistik/STP (sekarang IISIP). Meski demikian, dia tetap bangga pernah mengenyam pendidikan di sana. Banyak memori indah Iwan yang terjadi di kampus itu.
---------------
ANDRA NUR OKTAVIANI, Jakarta
--------------
SUASANA hangat semakin panas saat Iwan Fals naik panggung di acara Reuni Kampus Tercinta IISIP di Space Concert Station, Kemang, Jakarta, Minggu malam (30/8).

Para peserta acara lepas kangen dari angkatan 1980-an hingga angkatan 2000-an menyambut penyanyi beraliran balada itu dengan begitu meriah. Mereka pun bangga sealmamater dengan Iwan yang sebenarnya tidak pernah lama berkuliah di kampusnya tersebut.

BACA JUGA: Wah.. Ada CJH yang Menolak Berangkat Haji

Iwan tercatat sudah tiga kali menjadi mahasiswa baru di sana. Namun, tidak satu kali pun pria yang kemarin berulang tahun ke-54 tersebut menamatkan kuliah.

"Saya masuk 80, terus keluar. Masuk lagi 81, keluar lagi, 86 saya masuk lagi. Dan enggak kelar-kelar. Padahal sudah dipelonco tiga kali tuh. Ibu saya masih tanya kapan mau kuliah lagi," ujar Iwan dengan nada santai, lalu tertawa.

BACA JUGA: Kisah Pria Lugu yang Ingin Nikah Lagi, Malah Kehilangan Istri dan Pacar Bahenolnya

Menurut Iwan, saat kuliah untuk kali pertama pada 1980, ketimbang berada di kelas, dirinya lebih banyak berada di lapangan. Melatih karate. Salah seorang sahabatnya dari angkatan 1980, Raja Parlindungan Pane, menjelaskan, Iwan mengumpulkan teman-teman seangkatannya yang mau belajar karate.

Dia dengan senang hati melatih kawan-kawannya itu. Dari yang awalnya perkumpulan biasa, kelompok karate tersebut menjadi sebuah klub kampus. Iwan-lah yang menjadi pendirinya.

BACA JUGA: Kisah Sukses Penyandang Disabilitas, Punya Uang Banyak tapi Nggak Dipercaya

Jarang masuk kelas tidak membuat Iwan bodoh dan tak tahu apa-apa. Dia dan gengnya memang selalu duduk di deretan bangku paling belakang. Tetapi, dia tetap bisa menyimak dengan baik apa yang dijelaskan dosen.

"Saya masih ingat empat fungsi pers. Sebagai hiburan, anjing pengawas, komersial, dan pendidikan. Setelah itu saya jarang masuk kelas. Lebih banyak melatih karate," kenang pemilik nama asli Virgiawan Listanto itu, lalu tertawa.

Di luar kesibukannya dengan karate, Iwan juga sibuk dengan urusan musik. Ketika mulai kuliah, Raja bercerita, Iwan juga resmi bergabung dengan Musica Studio dan mulai menggarap album Sarjana Muda. Sambil kuliah, dia terus menggarap album tersebut. Rumah di kawasan Condet, kampus di Lenteng Agung, dan Musica Studio di Pancoran menjadi rute sehari-hari Iwan kala itu.

"Rute itu akhirnya menginspirasi Iwan dalam membuat lagu Sore Tugu Pancoran. Hampir setiap hari dia melihat anak kecil yang menjual koran sore. Kadang sampai malam korannya belum terjual. Kondisi itu kemudian dijadikan lagu," jelas Raja.

Masih banyak lagu lain yang tercipta saat Iwan kuliah. Teman Iwan di angkatan 86 Wahyu Purwadi ingat betul lagu yang tercipta saat mereka sedang nongkrong bersama teman-teman lain di depan kelas. Ketika itu ada satu teman perempuan seangkatan mereka yang lewat di depan kelas. Seketika Iwan nyeletuk, mata gadis itu seperti bola pingpong.

"Tanpa banyak omong, jadilah lagu Mata Indah Bola Pingpong itu. Dia memang tidak membicarakan musik di kampus. Tapi, di kosan dia cukup rajin main musik," jelas Wahyu.

Lagu Ibu yang terdapat pada album 1910 pun tercipta secara tidak sengaja. Iwan menerangkan, suatu hari dia berkunjung ke kamar kos temannya. Sebuah tulisan yang menempel di lemari kamar kos temannya itu begitu mencolok. "Tulisannya: Ibu, saya pasti berhasil. Dari situ tuh muncul lagu Ibu," jelas Iwan.

Raja teringat lagu lain yang tercipta tidak sengaja di kampus, yakni Buku Ini Aku Pinjam dari album 1910. Raja ingat betul lagu itu tercipta setelah Iwan melihat anak SMA yang saling menunggu di depan kampus mereka. Anak SMA itu menunggu temannya yang hendak meminjamkan buku pelajaran kepadanya.

Di luar lagu-lagu tersebut, ungkap Raja, masih banyak lagu lain yang tercipta dari celetukan, obrolan, atau pengamatan Iwan selama di kampus.

Pada 1981 album Sarjana Muda pun rampung. Bukannya semakin luang, waktu Iwan justru semakin sedikit. Raja menerangkan, pada tahun itu Iwan mulai menghilang dari peredaran kampus. Padahal, nongkrong di kampus merupakan salah satu hobi Iwan.

Kala itu jadwalnya semakin padat saja. Albumnya yang begitu meledak membuatnya harus bepergian ke sana kemari. Sampai akhirnya kuliah pun dia tinggalkan.

Seolah tidak kapok kuliah sambil berkarir, Iwan memutuskan untuk kembali ke kampus setelah jadwal manggung agak longgar. Ketimbang meneruskan kuliahnya yang sempat terputus, dia lebih memilih mendaftar sebagai mahasiswa baru di angkatan 81.

Dia pun mau tidak mau kena pelonco lagi. Kejadian yang lama pun terulang. Lagi-lagi Iwan harus meninggalkan kampus karena sibuk merampungkan album. Kali ini album Opini.

Lama berkutat dengan karir musik ternyata tidak membuat Iwan menyerah pada keinginannya untuk meraih gelar sarjana. Sekali lagi dia mencoba peruntungan dengan mendaftar sebagai mahasiswa baru di kampus lamanya pada 1986. Pada tahun itu STP telah berubah nama menjadi IISIP (Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) Jakarta. Iwan yang dulu sudah terkenal makin tersohor saja. Namun, dia seolah enggan mengenakan atribut musisi saat di kampus.

Wahyu pernah iseng bertanya tentang musik kepada Iwan saat berada di kampus. Bukannya disambut dengan penuh semangat, Wahyu malah mendapat penolakan.

"Bang Iwan langsung kabur pas ditanya soal musik di kampus. Dia agak enggan membicarakan musik kalau sedang di kampus. Saya sih enggak tanya alasannya. Mungkin ya, dia ingin dianggap sama di kampus. Sebagai mahasiswa. Padahal, dia sudah sangat terkenal," cerita Wahyu.

Iwan juga tidak pernah merasa sebagai bintang saat bergaul dengan teman-teman kampus. Dia bahkan mau mengikuti program ospek meski itu merupakan kali ketiganya menjadi mahasiswa baru. Dengan rekan-rekan seangkatan pun dia terbilang akrab.

Wahyu ingat betul saat Iwan yang aktif di tim sepak bola kampus sengaja membawa nangka berukuran besar saat latihan digelar. Iwan sengaja membawa nangka untuk bisa dinikmati teman-temannya yang baru saja selesai berlatih sepak bola. Dia juga tidak berkeberatan untuk ikut berlatih bersama tim kendati punya jadwal yang cukup sibuk sebagai musisi.

"Dia ikut juga pertandingan sepak bola antarkampus di Kuningan waktu itu. Waktu ada tanding sepak bola di Bogor, dia juga ikut. Orang-orang yang tahu biasanya sengaja datang hanya untuk melihat Iwan secara langsung," jelasnya.

Wahyu melanjutkan, kala itu Iwan datang terlambat ke pertandingan. Saat dia datang, pertandingan dan para penonton sudah hampir bubar. Namun, keadaan berubah seketika. Mereka yang sudah hendak pergi meninggalkan lapangan mendadak kembali ke lapangan karena Iwan yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga.

Sepak bola memang menjadi passion Iwan lainnya. Sejak dulu hingga sekarang. Yon Moeis, teman seangkatan Iwan di angkatan 81 yang juga pengamat bola, mengatakan, jika sudah berbicara soal sepak bola, Iwan sulit dihentikan.

Jika dulu cukup aktif turun ke lapangan, kini Iwan lebih banyak jadi pengamat. Yon mengungkapkan, setiap bertemu dengan Iwan, sepak bola menjadi topik yang selalu hangat untuk diperbincangkan.

Sejak 2010 Iwan selalu mengeluhkan kondisi persepakbolaan Indonesia yang karut-marut. Sampai sekarang itu juga yang masih jadi bahasan Iwan. "Dia terus mengamati perkembangan sepak bola Indonesia. Dan dia prihatin melihat kondisinya yang seperti sekarang ini," ungkap Yon.

Populer sebagai bintang tidak membuat Iwan lupa diri. Teman-teman Iwan menilainya sebagai pribadi yang sederhana dan bersahabat. Dia memang sudah jadi bintang saat mulai kuliah. Namun, sikapnya betul-betul membumi. Wahyu merasakan sendiri. Suatu hari Iwan pernah mengajak teman-teman seangkatan main ke kosnya yang tidak jauh dari kampus di kawasan Lenteng Agung.

Di kamar kos Iwan mengeluarkan banyak foto miliknya. Dia lantas meminta kawan-kawannya itu memilih satu foto untuk dijadikan sampul album yang sedang dikerjakan.

"Itu kenangan yang saya ingat bersama Bang Iwan. Dia itu dekat sekali dengan kami. Meskipun secara usia bedanya cukup jauh. Dan dia sudah terkenal sekali, sudah punya beberapa album, tapi masih mau bergaul dengan teman-teman," ucap dia.

Pengalaman Raja beda lagi. Dia pernah mengantar Iwan manggung di IKIP. Saat itu Iwan sudah terkenal dan punya mobil. Tapi, dia tidak berkeberatan diantar Raja hanya dengan sepeda motor. Yang lebih mengagetkan, saat panitia hendak memberikan honor manggung, Iwan langsung menolak. Alasannya, saat itu dia hanya ingin berkarya dan menyebarkan karyanya.

Kesederhanaan Iwan juga dirasakan Yon. Dia menjelaskan, kendati sudah menjadi bintang dan begitu terkenal, Iwan masih tetap Iwan yang dulu.

"Sekali waktu pernah saya ajak ke pujasera di Kebon Sirih, di seberang gedung Dewan Pers. Dia tidak canggung dan masih mau makan di pinggir jalan seperti itu," ucap Yon sambil mengenang kejadian tersebut. (*/c9/sof)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kisah Polwan Pertama Keturunan Tionghoa jadi Intel, Menyamar jadi Tukang Pijat


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler