jpnn.com - Warga Kampung Tabalar Muara, Kecamatan Tabalar, Berau, Kaltim, setiap hari harus bertaruh nyawa untuk mendapatkan air bersih di sungai yang dihuni banyak buaya ganas. Tak sekadar menebar ancaman, buaya penghuni Sungai Tabalar Muara sudah beberapa kali menjadikan warga sebagai mangsanya.
MAULID HIDAYAT, Tabalar
BACA JUGA: Usai Pawang Ucap Mantra, 3 Ekor Buaya Bawa Jasad Korban ke Pinggir Sungai
Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Air juga sudah menjadi salah satu kebutuhan dasar masyarakat yang wajib dipenuhi pemerintah. Tapi air bersih bagi warga Kampung Tabalar Muara, Kecamatan Tabalar, Kabupaten Berau, sungguh mahal harganya. Karena hanya tersedia di sungai yang menjadi habitat buaya, yang mengalir di wilayah kampung mereka.
Di Sungai Tabalar Muara, warga setiap hari bergantian untuk mandi, mencuci pakaian, hingga buang air, yang tentu belum terjamin kesehatannya. Malah saat kemarau tiba, warga setempat terpaksa mengalirkan air sungai ke tempat penampungan mereka, untuk memenuhi kebutuhan air minum dan memasak.
BACA JUGA: Hendra dan Kadir Ditangkap Polisi
Karena saat musim hujan, warga setempat bisa mengandalkan air tadah hujan, untuk memenuhi kebutuhan air minum dan memasaknya.
Kampung Tabalar Muara, merupakan satu dari enam kampung yang masuk wilayah Kecamatan Tabalar. Warga kampung yang berbatasan langsung dengan wilayah Kecamatan Biatan itu, mayoritas bekerja sebagai nelayan.
BACA JUGA: Mengintip Persiapan Tim Panahan Kaltim Sambut PON 2020
Luas Kampung Tabalar Muara mencapai 2.044 hektare. Wilayahnya terbagi menjadi empat rukun tetangga (RT), yang dihuni sebanyak 222 kepala keluarga (KK), dengan jumlah penduduk sebanyak 779 jiwa.
BACA JUGA: Usai Pawang Ucap Mantra, 3 Ekor Buaya Bawa Jasad Korban ke Pinggir Sungai
Kampung Tabalar Muara berjarak sekitar 120 kilometer dari Kecamatan Tanjung Redeb, ibu kota Kabupaten Berau, dengan waktu tempuh sekitar 3 jam perjalanan darat menggunakan mobil. Berau Post (Jawa Pos Group) yang pekan lalu, Kamis (20/6) berkunjung ke Tabalar Muara, langsung disambut dengan kondisi jalan yang memprihatinkan saat memasuki wilayah kampung. Jalan tanah berdebu dan berlubang yang sudah menyambut dari gerbang kampung, harus ditempuh sepanjang 2 kilometer hingga sampai ke kantor pemerintahan kampung.
Kebetulan, Jalalludin (47), Kepala Kampung Tabalar Muara, sedang berada di ruang kerjanya saat Berau Post tiba siang itu.
Bertemu dengan pemimpin pemerintahan kampung, Berau Post langsung mengutarakan maksud kedatangan kepada Jalalludin. Jalalludin sendiri mengaku sudah selama 20 tahun menjadi warga Tabalar Muara. Sehingga dirinya sudah sangat paham mengenai kehidupan sosial masyarakatnya, termasuk soal keresahan warganya mengenai risiko saat mengambil air bersih di sungai.
Karena dari catatannya, sejak tahun 2012, sudah ada empat kasus warga diterkam buaya saat beraktivitas di sungai. Keempat warga tidak ada yang bisa diselamatkan, bahkan tiga korban jasadnya tak pernah ditemukan.
Namun baginya dan warganya, penghuni Sungai Tabalar Muara adalah nenek moyang mereka sendiri. Bahkan menyebut kata buaya sudah menjadi pantangan bagi warga setempat, karena bisa menjadi pertanda akan munculnya korban jiwa, yang disebabkan predator raksasa tersebut.
Bukan hanya pantangan menyebut kata buaya, warga Tabalar Muara juga meyakini beberapa hal yang jika dilanggar bisa membawa petaka. Seperti tak boleh sesumbar jika berada di sungai, tidak boleh mandi tanpa sehelai benag pun dan mencuci kelambu di sungai, termasuk menjadikan panci sebagai gayung saat mandi di sungai.
Karena dari keyakinan mereka, semua hal itu akan memicu kemarahan buaya yang menjadi penunggu Sungai Tabalar Muara.
“Itu pantangan yang selalu kami pegang teguh sejak dulu. Karena masyarakat sini percaya bahwa nenek (buaya, red) penunggu sungai adalah leluhur mereka. Makanya kami warga sini enggan untuk memburu mereka. Tetapi saat ini keberadaan mereka sudah cukup meresahkan,” katanya membuka percakapan dengan Berau Post.
“Jadi kami di sini menyebutnya (buaya) nenek atau tau ri salo (orang di sungai). Dan jumlahnya di sungai sini (Tabalar Muara) banyak. Yang paling besar, yang pernah menampakkan diri, panjangnya sekitar delapan meter,” sambungnya.
Di kampungnya memang belum tersentuh jaringan air bersih dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Segah, Berau. Juga tidak ada warga yang menggunakan sumur bor untuk mendapatkan air bersih. Hanya mengandalkan air sungai dan hujan saat musim penghujan tiba.
Kondisi itu yang memaksa warga harus mengambil risiko untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Karena sangat riskan jika banyak beraktivitas di sungai selebar sekitar 60 meter, yang dihuni banyak pemangsa.
Jalalludin juga masih ingat betul, bagaimana satu persatu warganya menjadi korban keganasan predator sungai. Seperti yang dialami Pendi (17) pada tahun 2012 silam.
Jalalludin bercerita, sekitar pukul 18.00 Wita saat itu, dirinya tengah mengambil air wudu di tepi sungai, untuk menunaikan salat Magrib. Saat tengah berwudu, Pendi melintas di depannya menggunakan perahu ketinting. “Bahkan korban saat itu sempat menegur saya,” kenangnya.
Namun setelah selesai menunaikan salat Magrib, dirinya mendapat kabar bahwa Pendi telah dimangsa buaya. Jalalludin pun langsung membuka tali perahu milik korban yang baru saja ditambatkan, dan langsung melakukan pencarian bersama warga lainnya.
Tapi hingga malam semakin larut, warga dan dirinya tidak menemukan tanda-tanda kemunculan korban, termasuk “sang nenek” yang menjadi pemangsa, enggan menampakkan diri ke permukaan sungai.
“Pencarian terus dilakukan, tapi korban tidak bisa ditemukan. Sampai semingguan dilakukan pencarian, tapi tidak ada hasil juga. Bahkan sampai detik ini (pekan lalu, Red), jasad Pendi belum juga ditemukan,” ungkapnya.
Berselang 3 tahun, tepatnya bulan Mei 2015, “sang nenek” kembali meminta korban. Yang menjadi korban kala itu seorang anak kecil berusia 10 tahun bernama Muhammad Tang. Saat kejadian, Muhammad Tang bersama teman-temannya tengah berenang di tepi sungai, sekitar pukul 17.30 Wita. Jelang Magrib, teman-teman korban sudah selesai berenang di tepi sungai.
Namun korban tetap asyik berenang. Bahkan saat diajak temannya untuk berhenti dan naik ke daratan, korban memang menurutinya. Namun sesampainya di daratan, korban kembali menceburkan diri ke sungai dan kembali berenang.
“Saat melompat ke sungai, terjadi pusaran arus yang cukup kuat. Korban seperti terbawa arus yang ternyata, ada warga yang kebetulan lewat, melihat korban dalam gigitan si nenek dan dibawa ke arah hulu,” terang Jalalludin.
Tidak butuh waktu lama bagi si nenek untuk kembali menghilangkan nyawa warga Tabalar Muara. Awal 2016 silam, seorang warga bernama Bandu (60), kembali menjadi mangsa buaya. Kala itu, ujar Jalalludin, Bandu yang tengah bersantai bersama anaknya di rumah, disuguhkan kopi dan dibelikan rokok oleh istrinya.
Namun belum sempat meminum kopi yang disuguhkan, hanya mengambil dan membakar sebatang rokok, Bandu beranjak menuju kebun yang hanya berjarak sekitar 250 meter dari rumahnya.
Saat itu, Bandu mengaku hanya ingin membuat api unggun di kebun, untuk menakut-nakuti babi yang menjadi hama bagi warga setempat. Ketika hendak balik ke rumahnya itulah, Bandu diduga diterkam buaya.
Karena, korban yang sebelumnya memang sering menginap di gubuk kayu yang berada di kebunnya, tak kunjung pulang hingga keesokan harinya. Bahkan ketika istrinya, Intang, datang untuk membawakan sarapan ke kebun, hanya ditemukan pakaian dan parang milik korban.
“Saat itu air sungai tengah pasang besar dan kebun korban itu melewati sungai. Kemungkinan korban mandi (di kebun, red), karena baju, celana pendek, serta parang korban, ditemukan di atas jamban,” katanya.
Karena panik, Intang langsung melaporkan hilangnya suaminya kepada warga setempat. Jalalludin bersama warga pun melakukan pencarian. Namun yang ditemukan hanya tanda-tanda yang mengarah jika Bandu telah jadi korban terkaman buaya.
“Nenek itu yang terkam. Buktinya, saat itu saya menunjukkan ke warga, kalau di bibir sungai terdapat bekas seretan dan jejak kaki sang nenek (buaya). Rumput di sepanjang bibir sungai juga rebah dan tanaman akar sebagian terangkat. Bandu pun hingga kini hilang tanpa kabar,” lanjutnya.
Ketika Bandu diketahui menghilang, kejadian mistis dialami menantu korban, Sidar (26). Sebab di malam harinya, Sidar tiba-tiba kerasukan roh halus yang mengaku bahwa dirinya adalah penunggu sungai. Jalalludin melanjutkan ceritanya, saat kerasukan Sidar terus berteriak dan berkata,
“Dia telah banyak berjanji padaku, akan memberikan sebagian hasil bumi. Empat hari lalu aku mau mengambilnya, namun aku kasihan dengan anak dan istrinya. Tetapi pada malam kemarin, dia (korban, red) seorang diri, jadi aku ambil dia,” tutur Jalalludin, menirukan perkataan Sidar saat kerasukan.
Jalalludin yang mengaku melihat langsung kejadian saat Sidar kerasukan, masih sering terbayang-bayang jika hendak ke sungai. Namun apa daya, tidak adanya sumber air bersih, tetap mengharuskannya dan warga lainnya beraktivitas di sungai yang melintangi kampungnya.
Yang masih segar dalam ingatan Jalalludin, kejadian terakhir pada Selasa, 7 Mei lalu, saat seorang anak berusia 8 tahun bernama Andito, kembali menjadi korban keganasan buaya di kampungnya.
Kejadiannya sekitar pukul 07.30 Wita. Ketika itu, korban disuruh orangtuanya untuk membuang sampah. Namun ketika melihat teman-temannya berenang di sungai, korban lantas menghampiri dan ikut bermain.
Jarak antara rumah korban dengan sungai, cukup dekat. Hanya sekitar 200 meter saja. Setelah asyik berenang, korban naik dan duduk di atas papan kayu berukuran sekitar 40 sentimeter yang berada di tepi sungai. Saat tengah bersantai di tepi sungai itulah, korban diterkam dan dibawa ke sungai oleh buaya.
Padahal, saat kejadian, di sepanjang sungai banyak warga beraktivitas. Ada yang tengah mencuci pakaian, mencuci motor, hingga mandi. Menurut Jalalludin, saat kejadian warga memang sempat mendengar suara seperti benda yang jatuh ke sungai.
Namun warga mengira itu hanya buah kelapa yang jatuh, sampai akhirnya ada yang melihat Andito tengah diseret buaya berukuran sekitar 4 meter ke tengah sungai.
“Warga yang melihat langsung menyalakan ketinting dan perahu penyedot pasir untuk mengejar. Namun tidak membuahkan hasil. Pencarian terus dilakukan hingga malam hari juga tidak ada hasil,” ungkapnya.
Orangtua korban yang tidak mau menyerah, lantas meminta tolong kepada keluarganya yang berada di Sulawesi Tengah, agar melakukan penerawangan terkait keberadaan jasad korban. Keluarga yang diminta melakukan penerawangan, ujar Jalalludin, memang memiliki indra keenam, sehingga bisa membantu melakukan pencarian, walau dari jarak yang sangat jauh.
Terbukti, setelah ayah korban melakukan ritual membuang telur ayam kampung ke sungai, seperti yang dianjurkan keluarganya dari Sulawesi Tengah, jasad Andito akhirnya ditemukan, sekitar pukul 14.00 Wita, esok harinya (8/5). Lokasi kemunculannya juga tak jauh dari tempat korban diterkam.
“Dari keempat korban, hanya korban terakhir ini yang berhasil kami temukan,” tuturnya.
BACA JUGA: Tengah Malam Bocah 7 Tahun Gedor Rumah Tetangga, ya Ampuuun
Andito sendiri, merupakan anak yang sangat periang. Itulah yang paling diingat Jamal (40), ayah Andito yang juga ditemui Berau Post di kediamannya, Jalan Matajang, RT 01, Kampung Tabalar Muara, Kecamatan Tabalar, pekan lalu.
Sambil menikmati secangkir kopi yang disuguhkan di teras rumah kayu sederhana, Jamal yang hari itu mengenakan kaos berwarna cokelat, tak kuasa menahan air matanya saat bercerita tentang putra kesayangannya.
Karena bagi Jamal, anak ketiga dari enam bersaudara itu, adalah anak yang sangat penyayang. Bahkan anaknya selalu berbagi makanan dengannya, dengan selalu menyisakan jajanan yang dibelinya, untuk disantap Jamal usai bekerja di ladang.
Ditemani sang istri, Jamal melanjutkan ceritanya sambil terus mengusap air matanya. Dikatakan, setelah mengetahui anaknya jadi korban terkaman buaya, Jamal langsung meminta istrinya menghubungi keluarganya di Sulawesi Tengah untuk meminta bantuan.
Melalui penerawangan jarak jauh, Jamal menyebut keluarganya memastikan anaknya akan ditemukan keesokan harinya, namun dengan wujud berbeda atau sudah meninggal dunia.
“Ada keluarga kami yang merupakan sandro (dukun) di kampung sana. Dikatakannya, buaya yang menerkam anak kami masih kalah kasta dengan nenek moyang kami yang berada di sungai itu. Makanya anak kami dikembalikan,” tuturnya.
Diceritakan Jamal, setelah melakukan ritual membuang telur ayam kampung usai mengetahui anaknya hilang di sungai, malam harinya Jamal bermimpi bertemu dengan anaknya. Namun seluruh tubuh anaknya sudah berwarna hitam. Saat ingin bertanya kepada anaknya mengapa kondisinya seperti itu, tiba-tiba buaya datang dan menyambarnya.
Bukan dirinya saja yang bermimpi. Sang istri Diana (32), juga diberi petunjuk melalui mimpi yang melihat tiga ekor buaya berwarna hitam di tengah sungai. “Istri saya juga mimpi melihat nenek di sungai dekat anak kami diterkam. Dalam mimpinya, sang nenek meminta maaf telah membuat anak kami meninggal,” cerita Jamal yang langsung dibenarkan istrinya.
Andito sendiri, terang Jamal, sebenarnya sudah memberikan isyarat akan kepergiannya. Karena sehari sebelum diterkam buaya, Andito sempat meminta untuk memijat pamannya. “Nanti saya (Andito) tidak bisa pijatin paman lagi. Namun pamannya hanya tertawa dan tidak memedulikan omongan Andito,” kenang Jamal.
Jamal sendiri juga sudah melihat isyarat yang diberikan anaknya. Namun itu tidak pernah disadarinya. Karena anak kelahiran Tabalar Muara pada 12 Januari 2011 itu, menunjukkan perubahan sikap dalam sepekan terakhir sebelum meninggal dunia.
“Biasanya dia (Andito) malas-malasan untuk salat dan mengaji. Tapi satu minggu itu, dia sangat rajin mengaji dan salat berjamaah. Dia juga menjadi rajin membantu ibunya. Tapi saya tidak tahu kalau itu merupakan tanda anak saya itu akan dipanggil oleh sang Khalik,” ucapnya.
Saat ditemukan, anak ketiga dari enam bersaudara itu, memang sudah meninggal dunia. Namun tanpa luka bekas gigitan di badannya. Luka hanya terdapat di bagian tengkorak kepala bagian belakang, yang diduga akibat benturan saat dibawa buaya menyusuri sungai.
“Sebenarnya ada semacam salam kepada nenek moyang kami di sungai ini. Karena setiap turun ke sungai, kami selalu menyebut namanya. Tetapi maaf kami tidak bisa memberi tahu namanya siapa, karena itu leluhur kami. Dia ada sepasang di sini dan sudah ribuan tahun umurnya. Tetapi sekarang saya sudah trauma mau turun ke sungai lagi. Saya selalu ingat anak saya. Kami sudah ikhlas, tetapi bayangan anak kami selalu hadir,” ujarnya lirih.
Jamal juga mengaku, warga di kampungnya memang punya tradisi larung atau menghanyutkan hasil bumi ke sungai, setiap Lebaran Idulfitri. Namun dirinya membantah jika itu disebut sebagai musyrik, karena tradisi itu sudah menjadi budaya warisan leluhur sebagai bentuk rasa syukur dan berbagi rezeki.
Sungai Tabalar Muara dengan lebar sekitar 60 meter dan kedalaman hingga 8 meter, memang menjadi satu-satunya akses warga untuk mendapatkan air guna kebutuhan sehari-hari.
Memang pada tahun 2010 lalu, di kampung tersebut sempat dibangun Pos Hidrologi dan mesin pompa untuk mengalirkan air sungai ke satu tempat penampungan. Sehingga warga setempat tak perlu lagi mengambil air dan beraktivitas di sungai. Tinggal mengambil atau mengalirkan air dari tempat penampungan yang disediakan kampung, langsung ke rumah-rumah mereka.
Namun hal itu hanya bertahan selama dua tahun. Pos Hidrologi dan mesin pompa yang merupakan bantuan dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri tersebut, mengalami kerusakan pada tahun 2012 silam. Namun tak kunjung mendapat perbaikan hingga saat ini.
Saat ini, ujar Jalalludin, Kepala Kampung Tabalar Muara, sudah ada warga yang membangun jaringan pipa untuk mengalirkan air sungai langsung ke rumah mereka, menggunakan mesin pompa. Namun hal itu kembali terbentur dengan keterbatasan sumber listrik di kampung tersebut. Karena sebagian warga Tabalar Muara, memang sudah memiliki generator set (genset) yang rata-rata hanya digunakan selama 6 jam per hari. Sejak pukul 18.00 hingga pukul 00.00 Wita.
“Karena kalau lebih lama, lebih banyak lagi BBM (bahan bakar minyak) yang harus dibeli. Jadi itu (genset) dipakai untuk menyalakan lampu saja, supaya kampung tidak terlalu gelap,” ungkapnya.
Namun baginya, sesuai aspirasi seluruh warganya, hal yang paling mendesak untuk diperhatikan pemerintah adalah membangun Instalasi Pengolahan Air (IPA) dan jaringan air bersih ke rumah-rumah warga.
“Saya selaku kepala kampung, sudah sering kali mengingatkan warga akan bahaya terlalu banyak beraktivitas di sungai. Namun mau seperti apa, cuma itu sumber air kami selain pemberian Tuhan dari langit (hujan, red),” tutupnya. (*/udi)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Suriadi Dijebloskan ke Sel Tahanan
Redaktur & Reporter : Soetomo