jpnn.com - Jusiah Ari Abdi sudah satu dekade tinggal bersama suku Anak Dalam. Selama itu pula dia mengaku belajar banyak dari adat dan budaya mereka. Misalnya, dalam cara mendidik anak.
-------------------
BACA JUGA: Crass! Darah Muncrat ke Dinding Gua
KORAN yang dibeli sang istri, Rosalina Sihotang, itu tergeletak di meja rumah. Jusiah Ari Abdi menyambarnya tanpa ada maksud mencari berita tertentu.
Satu per satu halaman dia buka sampai akhirnya tertumbuk ke sebuah iklan lowongan. Di sana tertulis bahwa Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi membutuhkan tenaga pendamping untuk ditempatkan bersama suku Anak Dalam di belantara Jambi.
BACA JUGA: Berawal dari Menyelamatkan Anjing, Kini Jadi Klub Profesional
”Saya langsung tertarik dengan lowongan itu,” kenang Abdi tentang peristiwa yang mengubah hidupnya satu dekade silam lalu tersebut kepada Jambi Independent (Jawa Pos Group).
Ketika itu hidup Abdi sebenarnya sudah lumayan mapan. Sarjana antropologi lulusan Universitas Sam Ratulangi, Manado, tersebut mengajar di Universitas Sriwijaya, Palembang. Meski statusnya masih honorer, pendapatannya mencukupi.
BACA JUGA: HEBAT! Dosen Memilih Hidup di Hutan Bersama Suku Anak Dalam
Tapi, iklan itu seperti memanggil jiwanya sebagai seorang antropolog. Dia segera berkonsultasi dengan sang istri. Rosalina ternyata mendukung penuh keinginannya tersebut. ”Saya kirim lamaran, lalu di terima. Berangkatlah saya ke Jambi,” katanya.
Hidupnya pun berubah sejak itu. Dari seorang dosen dengan jadwal pekerjaan tetap dan menuntutnya untuk selalu tampil rapi menjadi seorang nomad di tengah hutan.
Semuanya demi bisa mempelajari dari dekat suku Anak Dalam. Kebetulan, sejak di bangku kuliah, dia memiliki ketertarikan mendalam terhadap seluk beluk etnis di Indonesia.
Satu dekade hidup nomad di dalam hutan, pria 38 tahun itu pun menjadi sangat paham teknik bertahan di hutan. Selain tentu dia juga sangat memahami budaya dan adat istiadat suku Anak Dalam alias Orang Rimba.
Tapi, semua itu diraih dengan tidak mudah. Menurut Abdi, sempat terjadi penolakan ketika dirinya kali pertama masuk ke kelompok Orang Rimba di Kawasan Sungai Terab, TNBD (Taman Nasional Bukit Dua Belas).
Bahkan, tidak sedikit di antara mereka yang lari begitu berpa- pasan dengan Abdi. Apalagi, ketika itu dia belum menguasai bahasa mereka. Tapi, Abdi tak patah arang. Segala macam cara dia coba.
Akhirnya dia bertemu Mangku Humbalai, salah satu Orang Rimba dari Kelompok Sungai Terab. Lewat Mangku Humbalai, dia belajar bahasa Orang Rimba.
”Setiap ada satu kata saya tulis dan terjemahkan,” ceritanya.
Mereka selalu berpindah-pindah tempat tiap bulan. Akibatnya, Abdi tidak punya banyak waktu untuk berinteraksi dan terpaksa harus turut mengikuti ke mana mereka pergi.
Abdi butuh enam bulan agar Orang Rimba mau menerima dan memercayai sepenuhnya. Berdasar interaksi dari dekat itu, Abdi mengaku belajar banyak dari kebudayaan Orang Rimba. Misalnya, cara mereka mendidik anak. ”Orang Rimba tidak pernah memukul anak. Meski marah, itu hanya di ucapan. Tidak sampai main tangan,” ujarnya.
Orang Rimba juga sangat menjunjung tinggi kebersamaan. Meski ada semacam egoisme kelompok, secara umum, mereka sangat kompak. Andaikan ada teman meng- alami kecelakaan, Orang Rimba lainnya berbondong-bondong datang memberikan pertolongan.
Mereka juga sangat menjunjung tinggi hukum adat. ”Pertanyaannya tentu, mau nggak kita mencontoh mereka,” katanya.
Abdi mengungkapkan, tidak sedikit orang yang mencibir aktivitasnya. Dia yakin, tujuan mulia pasti membawa keberkahan dan berakhir dengan kebaikan. ”Yang jelas, kita jangan sampai melihat suatu etnis dari sudut pandang kita sendiri. Kalau Orang Rimba ingin memilih hidup seperti itu, ya biarkan saja.” (*/JPG/c10/ttg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jenazah Itu Mengeluarkan Air Mata
Redaktur : Tim Redaksi