jpnn.com - Profesi bidan desa sering disebut sebagai pelengkap. Namun faktanya, merekalah yang menjadi pionir dalam layanan kesehatan, menggantikan posisi dokter dan tenaga medis lainnya yang memang hanya bertugas di lokasi lumayan ramai.
Bagaimana kehidupan para bidan desa ini. Berikut ini sekelumit kehidupan bidan desa yang mengharukan.
BACA JUGA: Beginilah Keseruan Hari Pertama Wonderful Indonesia di Thailand
Mesya Mohamad, Jawa Pos National Network
REGINA Purnama Maulida (26) adalah salah seorang bidan desa yang sehari-hari bertugas di Desa Cipicung, Kecamatan Culamega, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
BACA JUGA: HEBAT...Rela Mengajar Tanpa Digaji, Sudah 11 Tahun
Empat tahun lamanya Regina berjuang menghadapi masalah kurang gizi, Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB). Juga survailens penyakit, melayani KAI KB, imunisasi, menolong persalinan, pusling, instruktur kelas ibu hamil, dan promosi kesehatan.
Kegiatan seabrek itu dilakukannya sendiri lantaran tidak ada tenaga kesehatan yang bisa membantunya.
BACA JUGA: Bambang Pamungkas Sering Bicara Sendiri di Depan Cermin
Hingga saat ini sudah 50-an kali Regina menolong persalinan di desa itu. Tantangan demi tantangan dia hadapi. Masyarakat di desa itu cukup kuat kepercayaan bahwa ibu melahirkan melalui paraji (dukun beranak).
Setiap kali menolong persalinan, Regina tidak mendapatkan uang layaknya tenaga kesehatan di wilayah perkotaan. Desa di mana dia mengabdi, rata-rata penduduknya kurang mampu.
Jasa bidan hanya dibayarkan dalam bentuk makanan, beras, gula, dan pembayaran antara Rp 20 ribu sampai Rp 50 ribu.
Selain itu, ketika pertolongan diberikan tenaga kesehatan, masyarakat mengira bakal dibawa ke rumah sakit. “Sebagai bidan desa, saya bertugas membina penduduk berjumlah tujuh ribuan jiwa dalam satu desa dengan sasaran utama yaitu ibu hamil 148 orang dalam setahun. Jadi sebulannya sebanyak 12-an orang yang menjadi target pelayanan kesehatan ibu,” ungkap Regina.
Banyak peristiwa dan pengalaman yang tidak bisa dilupakan Regina selama bertugas. Salah satunya yang sempat membuat Regina ketakutan adalah saat merujuk ibu melahirkan pada Oktober 2013.
Ketika itu pasien ibu melahirkan usia kehamilannya 38 minggu dalam kondisi kejang (eklamsia), tekanan darah mencapai 180/100 mm Hg, dan tidak sadarkan diri. Saat itu, akhirnya dilakukan rujukan ke PONED terdekat ke Desa Karangnunggal. Membawa ibu melahirkan dari rumahnya menuju ambulans menggunakan tandu berjalan kaki dengan waktu tempuh dua jam perjalanan melewati hutan belantara.
Dalam berjalan kaki membawa pasien dengan menggunakan tandu, pasien tersebut melahirkan dalam kondisi kegawatdaruratan. Alat pertolongan persalinan seadanya, seperti partus set dan infus set. Tidak ada tabung oksigen, dan mgso4.
Kejadian yang amat disayangkan, sekitar sepuluh menit perjalanan, terjadi kelahiran. Yang memprihatikan saat itu, bayi yang dilahirkan tidak terselamatkan, meninggal dunia di dalam kandungan.
“Saat itu pihak keluarga mendesak agar bayinya dibawa pulang untuk dikuburkan. Demikian juga ibu si bayi yang dalam kondisi lemah. Tapi saya menganjurkan pasien ibu agar tetap dibawa ke PONED," ujarnya.
Ketika itu, cerita Regina, sempat terjadi keributan kecil, karena keluarga menolak untuk dibawa ke PONED. Akhirnya diputuskan bersama untuk tetap melanjutkan perjalanan, karena ibu tersebut masih dalam kondisi kejang yang berulang-ulang, dan tidak sadarkan diri.
Di tengah perjalanan sekitar tiga puluh menit kemudian, tiba-tiba dihadang dan nyaris diseruduk tiga ekor babi hutan. Keluarga yang mengantarkan berlarian menyelamatkan diri, hingga hanya bidan desa Regina, pasien ibu yang ditandu, dan empat orang penandu yang tidak bisa lari ke mana-mana.
Di tengah ketakutan dan kepanikan, kebetulan seekor anjing lewat dan mengejar tiga ekor babi hutan itu.
Perjalanan kembali dilanjutkan dengan melewati jalan setapak dan licin. Melewati jalan rusak membuat bidan desa Regina terjatuh beberapa kali.
Pasien yang ditandu akhirnya selamat sampai dibawa ambulans ke PONED, dirujuk lagi ke rumah sakit Kota Tasikmalaya. Lama perjalanan rumaah ke lokasi PONED, Puskesmas Karangnunggal, Desa Karangnunggal, Kecamatan Karangnunggal itu mencapai dua jam
“Alhamdulillah pasien bisa diselamatkan masuk ICU," ujarnya.
Kisah luar biasa bertugas sebagai bidan desa PTT (Pusat), yang mengabdi di desa terpencil, dengan kondisi tidak ada listrik, dan jaringan (signal) hingga kesulitan komunikasi serta medan kerja yang sulit dijangkau.
Regina, satu dari puluhan ribu bidan desa yang saat ini berjuang menyelamatkan ibu melahirkan. Ia menjadi pelanjut semangat perjuangan RA Kartini khususnya di bidang kesehatan guna melayani masyarakat desa.
Karenanya, ia dan rekan-rekan seprofesinya tengah berjuang bersama FORBIDES PTT (Pusat) Indonesia untuk mendapatkan perlindungan negara dan hak kepastian kerja sebagai pegawai tetap negara.(esy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Oh Romantisnya, Robin Jemput Kekasih dengan Kereta Kuda
Redaktur : Tim Redaksi