Kisah Mengharukan Pengabdian Dua Bidan PTT

Selasa, 08 November 2016 – 00:06 WIB
Bidan Pegawai Tidak Tetap (PTT) di Kabupaten Dharmasraya saat menuju ke rumah warga yang memerlukan bantuan. Foto: ZULFIA ANITA/Padang Ekspres/JPNN.com

jpnn.com - SOSOK Devi Syahril dan Dea Lita Nilski bisa dibilang merupakan wanita tangguh.

Keduanya tetap bertahan melanjutkan pengabdiannya di daerah terpencil di Kabupaten Dharmasraya, Sumbar.

BACA JUGA: Penuh Drama Namun Berakhir Indah, Dua Tahun Lalu di Jakabaring..

Zulfia Anita- Dharmasraya

Berbagai suka duka mereka lalui. Mulai dijemput dini hari untuk menolong orang sakit, jatuh dari kendaraan saat menolong pasien, hingga mendapatkan pelecehan profesi.

BACA JUGA: Rombongan TNI AL Datang ke Pulau Enggano...Yauwaika

Namun, semua itu tak menyurutkan semangat bidan desa ini untuk mengabdi. Mereka tak patang arang, meskipun banyak rintangan.

Ya, tak banyak tenaga medis yang mau dan mampu memilih jalan seperti yang dilakoni dua bidan desa ini.

BACA JUGA: Syaifullah, Masih Mahasiswa Kantongi Rp 11 Juta Per Bulan

Rata-rata kebanyakan tenaga kesehatan lebih memilih daerah perkotaan untuk memberikan pelayanan kesehatan. Namun, tak begitu dengan  Devi Syahril  dan Dea Lita Nilski.

Mereka tetap mengabdi di daerah  pinggiran. Meskipun di daerah pengabdiannya tanpa listrik, tak ada signal telekomunikasi, infrastruktur  jalan yang rusak parah, serta masih tingginya kepercayaan masyarakat terhadap dukun anak.

Devi Syahril,29 , bertugas di Nagari Lubukkarak, Jorong Lubuktareh  Kecamatan IX Koto dan Dea Lita Nilski, 28, bertugas di  Dusun Lubukbesar,  Kecamatan Kotobesar.

Berbagai pengalaman suka dan duka sudah banyak mereka alami. Kendati begitu, dua bidan desa ini tak pernah mengeluh.

Bagi mereka, itulah wujud pengabdian mereka ke negara dengan memberikan pelayanan pada masyarakat.

Meskipun keduanya hanya tenaga Pegawai Tidak Tetap (PTT) di Kabupaten Dharmasraya.

Devi Syahril bercerita, sebagai tenaga kesehatan di daerah pinggiran, ia terus mengedukasi masyarakat untuk hidup bersih dan sehat.

Di antaranya dengan mengubah pelaku masyarakat dari yang biasanya suka buang air besar sembarangan (BABS) beralih buang air besar di jamban.

Demikian juga mulai dari mengubah perilaku masyarakat yang alergi ke bidan dan lebih menyukai dukun, beralih menyukai bidan untuk persalinan dan berobat.

"Ternyata mengubah perilaku masyarakat itu tidak semudah membalik telapak tangan. Buktinya hampir tiga tahun saya bertugas, hingga hari ini perilaku masyarakat yang BABS tetap saja tidak bisa dihilangkan. Disamping itu, sebahagiaan besar warga masih memakai jasa dukun untuk melahirkan. Dan sepertinya tradisi tersebut juga tidak bisa dihilangkan,” ucapnya.

Dikatakan, jika sebelumnya warga kurang percaya pada tenaga kesehatan, namun kini hal itu sudah mulai berkurang.

Sebagian warga sudah mulai mau berobat ke tenaga kesehatan. Tapi, hal itu merupakan alternaitf kedua, artinya pilihan pertama tetap pada dukun.

Pengalaman yang tidak pernah terlupakan adalah saat datang seorang warga yang minta pertolongan. Salah satu keluarganya sedang sakit.

Saat itu, jarum jam menunjukan pukul 02.00. Devi harus menolong warga tersebut.

Diantar suaminya, ia berangkat ke tempat pasien tersebut dan meninggalkan anak yang masih berumur 3,5 tahun sendirian di rumah.

"Handphone sengaja saya tinggalkan di dekat kuping anak. Saya dan suami memantau kondisi anak dari handphone tersebut,” ucapnya.

Devi mengaku sempat menangis harus meninggalkan anaknya yang masih balita di rumah sendirian dan di tengah malam.

Namun, tak ada pilihan lain yang dapat dilakukannya. Sementara, sebagai tenaga medis, tentu ia punya tanggung jawab menolong masyarakat yang sakit.  

Lokasi pasien yang dikunjungi Devi cukup jauh dan tanjakannya sangat tajam. Kendaraan Devi dan suaminya tak mampu mendaki.

Devi akhirnya harus berjalan kaki melewati pendakian yang terjal tersebut.

Begitupun dalam hal pembayaran, warga yang datang berobat tak langsung membayar jasanya dengan uang. Banyak warga yang berutang, namun ada juga yang membayar dengan beras.

“Persoalan  itu tidak penting bagi saya, yang paling penting sekali adalah memberikan layanan kesehatan yang maksimal kepada warga," tegas Devi.

Cerita yang sama juga diutarakan Dea Lita Nilski, bidan PTT yang masih lajang dan bertugas di Lubukbesar, Kecamatan Kotobesar.

Baginya menempuh medan yang sulit dalam memberikan layanan kepada warga bukanlah yang patut dipersoalkan.

"Saya ikhlas melaksanakan hal tersebut, walau banyak kendala di lapangan,” ujar alumni Stikes Dharmasraya ini.

Katanya, sebagian warga, tidak setuju dengan keberadaan bidan desa dan tetap memilih dukun  anak untuk memberikan pengobatan.

“Hari ini, mereka masih menjadikan dukun sebagai prioritas utama dalam mendapatkan layananan kesehatan. Bahkan kami  sering "tidak dianggap".Profesi kami kerap dilecehkan dan dibanding-bandingkan dengan dukun beranak. Warga menganggap dukun beranak lebih hebat dibandingkan bidan desa,” ucapnya.

Dea kembali melanjutkan ceritanya. Saat memberikan pelayanan kesehatan ke pasiennya, ia kerap terjatuh dari sepeda motor.

Sebab, untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan, ia harus melewati jalan yang rusak parah.

"Saya hanya ingin masyarakat hidup dengan derajat kesehatan yang baik,” ucapnya.

Sebutnya, saat berurusan ke ibukota Kabupaten Dharmasraya,  ia harus menempuh perjalanan sekitar 3,5 jam dengan sepeda motor dengan kondisi jalan yang berlobang-lobang, naik turun dan jalan yang masih tanah.

"Mau diapakan lagi itulah risiko profesi, semuanya harus dilalui," ucap Dea. (***/sam/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kisah Penjaga Makam Keramat yang Tak Digaji


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler