Minggu pagi lalu (6/2) menjadi hari memilukan yang tak akan pernah dilupakan NayatiDia adalah salah seorang saksi hidup peristiwa penyerangan ribuan orang terhadap jamaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten
BACA JUGA: Dulu Bahagia Pegang Senpi, Kini Pegang Cangkul
Pada tragedi itu, Nayati menyaksikan suaminya dikeroyok dan dua saudara kandungnya dibantai hingga tewas.===========================
AGUS WIRAWAN, Pandeglang
===========================
BOLEH jadi, amuk massa di Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten, pada Minggu lalu (6/2) merupakan klimaks kekesalan warga di sana
BACA JUGA: Bunaken Nyala 24 Jam, Pulau Lain Menyusul
Sebelum penyerangan, di rumah tersebut dihelat pertemuan yang dihadiri jamaah Ahmadiyah dari daerah lain
BACA JUGA: Kisah di Balik Kematian Mendadak Om Manajer Adji Massaid
Tetapi, toh pertemuan tetap dilaksanakanBahkan, perintah warga untuk bubar diabaikan jamaah Ahmadiyah di rumah tersebutSebenarnya kekesalan warga di sana terhadap Ahmadiyah sudah berlangsung lamaBahkan, itu terjadi sejak Suparman kecilDijelaskan Badriyah, ayah Suparman yang bernama Matori, 70, adalah warga asli desa itu"Dia adalah penganut Ahmadiyah sejak lama, sejak anak-anaknya masih kecil," cerita Badriyah yang rumahnya hanya berjarak tiga rumah dari rumah Suparman
Meski Matori dikenal sebagai penganut Ahmadiyah, warga tak pernah mengusik dia, apalagi mengganggu"Bagi kami, asal tidak mengumpulkan orang atau membuat pengajian sendiri, kami tidak akan mengganggu," kata Badriyah, yang diamini beberapa warga lainnya, saat mengobrol dengan Jawa Pos kemarin (8/2).
Ketika kemarin Jawa Pos mendatangi rumah Matori, suasananya sepi mamringSejak pembantaian berdarah yang merenggut empat nyawa jamaah Ahmadiyah itu, semua anggota keluarga Matori menghilang bak ditelan bumi"Saya pun hingga sekarang tidak tahu ke mana bapak saya pergiSaya juga tidak tahu ke mana suami saya berada sejak penyerangan itu," tutur Nayati
Perempuan 35 tahun itu adalah adik kandung SuparmanSehari-harinya dia tinggal di rumah Matori bersama suaminya, Udin, 25Rumah Matori hanya berjarak sekitar 10 meter dari rumah SuparmanUdin adalah suami ketiga NayatiDari tiga suami tersebut, Nayati dikaruniai empat anak
"Saya sudah mencari suami saya (Udin) ke mana-mana, tapi nggak ketemuKata polisi, saya disuruh ke rumah sakit SerangTapi, itu kan jauhButuh perjalanan setengah hariSementara saya nggak punya duit," ujar Nayati memelas
Ada kabar dari tetangganya bahwa suami Nayati telah meninggalTetapi, dia tidak percaya karena polisi menyatakan tidak menemukan jasad suaminya.
Hingga kini, dikabarkan bahwa empat jamaah Ahmadiyah tewas dalam tragedi berdarah tersebutDua orang di antara mereka adalah saudara kandung SuparmanSuparman adalah sulung di antara delapan bersaudaraDua yang tewas itu adalah Mulyadi (bungsu) dan Tarno (nomor dua)Korban tewas ketiga adalah Roni yang diduga jamaah Ahmadiyah asal JakartaKorban tewas keempat dilaporkan kemarin setelah dirujuk ke RS Pertamina JakartaNamanya Deden
Nayati berharap, suaminya masih hidup"Waktu kejadian saya sempat melihat dari jauh suami saya dipukuli, disabet celurit, hingga kena pipi dan mukanyaMasya Allah!!! Mengapa orang-orang yang ngaku Islam bisa sekeji itu," ujarnya lirih
Tidak hanya disayat-sayat dengan pedang, banyak juga jamaah Ahmadiyah yang ditimpuk dengan batu meskipun sudah terkapar di tanahSementara anggota Ahmadiyah lain yang lari tunggang langgang lewat belakang rumah terus dikejar hingga persawahan"Saya lihat ada yang ditombak," ujarnya, masih dengan nada lirih
Nayati yang tidak tega menyaksikan pembunuhan atas keluarga dan anggota jamaah Ahmadiyah lainnya itu lantas melarikan diri masuk ke rumah bapaknyaUntung, warga yang sedang marah tidak melanjutkan aksinya ke rumah bapaknya itu.
Nayati dan anggota keluarga Matori yang lain hanya bisa melihat kerusuhan di rumah Suparman dari balik kacaSetelah polisi datang dengan personel lebih banyak, Matori, istri, dan saudara-saudara Nayati yang lain meninggalkan rumahNayati saat itu tidak bisa pergi karena harus mencari anaknya yang paling kecil, Lina, 8.
Dia membantah bahwa anggota Ahmadiyah yang datang dari luar daerah pagi itu bersiap untuk perangSebab, dia tidak melihat mereka membawa senjata-senjata tajam seperti yang diungkapkan warga"Ada yang petentang-petenteng bawa golok itu adik saya, Yadi (Mulyadi)Dia memang mau ke sawah mengambil singkong buat tamu-tamu yang datang," ujarnya.
Kayu-kayu yang katanya untuk melawan warga, menurut Nayati, itu memang sudah ada di dapur rumah Suparman untuk bahan bakar kompor tanahDia menduga, ada pihak-pihak tertentu yang sengaja membenturkan jamaah Ahmadiyah dengan warga sekitar"Mereka itu juga yang membuat isu bahwa kami melawan warga," tuturnya.
Nayati mengatakan sangat mengetahui kejadian saat itu karena dirinya sempat melayani makan para tamuKetika warga mulai berkumpul di depan rumah Suparman, dialah yang pertama memberi tahu para tamu soal kemungkinan akan didatangi massa"Tapi, ada yang bilang nggak apa-apa, nggak mungkin mereka mau bunuh kitaBerdoa saja kepada Allah, tapi nyatanya apa?" ungkap Nayati dengan nada kesal.
Tetapi, Roni, salah seorang korban meninggal, sempat mengatakan pesan terakhirnya saat makan pagi ituNayati mendengar Roni mengungkapkan firasatnya bahwa akan terjadi sesuatu yang besar sebentar lagi"Dia bilang, perasaanya nggak enak, tiba-tiba (tubuhnya) gemeteran," ceritanya.
Menurut Nayati, para tamu itu memang sudah biasa datang ke rumah Suparman, kakaknya, untuk membayar semacam zakat 2,5 persen demi kepentingan agamaBesarannya tentu bergantung kepada pendapatan mereka"Kadang mereka juga datang membawa buku-buku agama buat diberikan ke orang-orang," tambahnya.
Mengenai Suparman, Nayati menuturkan bahwa dia merupakan kakak yang paling disegani adik-adiknyaSetelah lulus madrasah aliyah (MA), Suparman melanjutkan kuliah di Bogor"Nggak tahu ya nama kampusnya apaItu sekolah untuk ulamaLokasinya di Masjid MubarokDia cuma 3 tahun selesaiKalau yang tidak pinter, ya bisa 5?6 tahun," tandasnya.
Nayati menceritakan, selama kuliah Suparman dibiayai bapak angkatnya bernama Asmudin yang sekarang tinggal di MakassarKepergiannya ke Filipina adalah tugas dari jamaah Ahmadiyah"Semua biaya ditanggung AhmadiyahDi sana hanya belajar ngaji, salat yang baik, kemudian mengislamkan orang-orang kafir," katanyaSuparman pernah bercerita kepada Nayati bahwa dia sudah mengislamkan ratusan orang.
Di Filipina itulah, Suparman berkenalan dengan istrinya, Hainah, yang merupakan warga negara FilipinnaSejak dua tahun lalu, Suparman memboyong keluarganya ke IndonesiaTahun pertama, dia tinggal di JakartaKemudian, pada tahun kedua, dia mengontrak rumah di Bienangeun, Pandeglang"Nah, beli rumah yang dibakar itu baru enam bulan," ujarnyaRumah itu semula milik Wasmat yang dibeli Suparman seharga Rp 115 juta.
Lantas, dari mana uangnya" Nayati mengatakan, uang itu pemberian orang"Kata Suparman, alhamdulillah ada yang ngasih uang buat beli rumahNamanya Dokter Munawar, tinggal di BandungTapi, pesannya, rumah itu harus digunakan untuk ibadah yang benar, menyiarkan agama, dan dibangunkan masjid," ungkapnya.
Namun, rumah itu kini sudah tinggal puing belakaSuparman, istrinya, dan empat anaknya sudah tidak berada di rumah itu sejak sehari sebelum kejadianSetelah kejadian berdarah itu, Nayati sempat diperiksa pihak kepolisian seharian penuh"Saya tegaskan bahwa tidak ada yang berbeda antara kami dan wargaSaya salat menghadapt kiblatSaya membaca syahadatSaya berzakatTapi, kami memang tidak suka salat dengan warga lain karena sejak dulu kami dimusuhiJadi kami memilih salat berjamaah di rumah saja," tuturnya.
Kini Nayati tidak tahu lagi harus bagaimanaMaklum, persedian uangnya juga sudah habisSementara semua anggota keluarganya tidak tahu ada di manaPadi yang ditanamnya juga gagal panen karena kebanjiranBerdagang, tidak laku"Saya pernah berjualan obat-obat kecantikan, tapi nggak laku karena dimusuhi warga," terangnya.
Bahkan, dia mengatakan takut jika seminggu ke depan pihak kepolisian dan TNI yang berjaga-jaga di lokasi kejadian tidak lagi di tempat, dirinya bakal dibunuh oleh wargaMaklum, kini hanya tinggal dia seorang dan anaknya yang masih kecil keturunan keluarga Matori yang masih tinggal di desa itu"Mungkin saya dikeroyok warga seminggu lagiTapi, saya nggak tahu mau mengungsi di mana lagi karena sudah nggak punya siapa-siapa," jelasnya.(c4/kum)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Merekam Suasana Mencekam di Kawasan Kairo, Mesir
Redaktur : Tim Redaksi