jpnn.com - Setahun setelah tsunami menerjang Aceh pada 26 Desember 2004, Nuraini mendapat keluarga baru. Menjadi ibu asuh di SOS Children’s Villages yang menampung anak korban tsunami, perempuan berusia 36 tahun itu kini sudah memiliki ’’cucu’’.
Laporan Gunawan Sutanto, Jakarta
BACA JUGA: Para Siswa yang Masih Teguh Menekuni Kegiatan-Kegiatan Pramuka
SATU sore pada pengujung 2005, di rumahnya di Aceh Tengah, Nuraini menikmati alunan musik melalui radio sambil menyapu lantai. Keasyikannya menikmati lagu kemudian terganggu oleh satu iklan yang diselipkan dalam siaran itu.
Iklan tersebut adalah lowongan bekerja di lembaga sosial untuk membantu korban tsunami Aceh. Iklan yang berdurasi beberapa menit itu begitu menyita perhatian Nuraini. Hati kecilnya berbisik, inilah saatnya berbuat untuk sesama.
BACA JUGA: Melayani Waria meski Penuh Cibiran
’’Pikiran saya saat itu langsung teringat tsunami yang telah menewaskan banyak anggota keluarga saya,’’ kata Nuraini ketika hadir dalam peringatan 10 tahun tsunami Aceh di Jakarta, Minggu (21/12).
Bencana mahadahsyat pada 26 Desember 2004 itu selalu ada dalam benak Nuraini karena banyak anggota keluarganya yang tewas. Lebih dari 40 sanak keluarganya meninggal saat tsunami yang menyertai gempa 9,3 skala Richter tersebut menghancurkan Aceh.
BACA JUGA: Aktivitas Arifin Panigoro setelah Gagal Merevolusi Sepak Bola Indonesia
Sore itu juga, Nuraini meneguhkan hatinya untuk segera mencari SOS Children’s Villages. Itu adalah lembaga sosial yang menjadi pemasang iklan. Nuraini yang ketika itu berusia 27 tahun ingin bergabung menjadi ibu asuh di lembaga tersebut.
Dia pun lantas bergabung dengan keluarga barunya, anak-anak korban tsunami Aceh. ’’Saya mengikuti kegiatan di SOS sejak awal. Merasakan pindah-pindah kontrakan untuk rumah pengasuhan,’’ ungkapnya.
Meski saat itu sudah hampir setahun dari kejadian tsunami, belum banyak anak yang masuk ke rumah asuh SOS. Namun, dalam perjalanannya, ketika SOS makin populer, yang bergabung bukan hanya korban tsunami. Anak-anak malang yang ditelantarkan keluarganya juga bergabung.
Awalnya, Nuraini diserahi tangung jawab menjadi ibu asuh untuk seorang anak korban tsunami bernama Maria Ulfa. Anak perempuan itu bersekolah kelas 2 SMP. Kini Nuraini dipercaya menjadi ibu asuh bagi sembilan anak. Total ada sekitar 263 anak di SOS Children’s Villages.
Menjadi ibu asuh tentu saja tidak mudah. Apalagi yang diasuh adalah anak-anak yang menanggung trauma seperti anak korban tsunami. Mereka sangat sulit dekat dengan ibu asuh. ’’Namun, pelatihan yang diberikan SOS sangat membantu saya menjadi ibu buat anak-anak. Maria Ulfa, misalnya, dia selanjutnya tidak segan memanggil saya ibu,’’ papar Nuraini.
Jika anak sudah mau memanggil ibu, semua terasa lebih mudah. Untuk menghapus trauma, Niraini memberikan banyak kesibukan kepada Maria dkk sesuai dengan minat dan bakat masing-masing. ’’Mulai kesenian sampai olahraga. Kegiatan itu diselenggarakan di rumah pengasuhan setelah anak-anak pulang sekolah,’’ terangnya.
Para ibu asuh juga senantiasa memberikan pengertian bahwa setiap bencana pasti memiliki hikmah. ’’Biasanya saat kami ngobrol, saya sampaikan kepada mereka bahwa bencana merupakan takdir Allah. Di balik kejadian itu, Allah pasti telah mempersiapkan yang lebih baik untuk mereka,’’ terang perempuan kelahiran 11 November 1978 tersebut.
Dalam perbincangan dengan Jawa Pos, Nuraini mengungkapkan suka duka selama sembilan tahun menjadi ibu asuh di SOS Children’s Villages. ’’Dukanya sih sama seperti ibu kebanyakan, yakni ketika anaknya nakal,’’ ucapnya.
Dia punya cerita tentang Indra, anak asuh yang dititipkan ke SOS Children’s Villages karena menjadi korban perceraian ayah dan ibunya. ’’Saya sering dipanggil sekolah Indra karena dia sering berkelahi,’’ ungkapnya.
Menghadapi Indra, Nuraini punya jurus khusus. Dia lebih perhatian. Hal itu dilakukan untuk menyampaikan pesan bahwa mengalah tidak selalu buruk. Mengalah bisa membuat seseorang menjadi pemenang di kemudian hari. Jurus itu sukses membuat Indra tidak lagi hobi berkelahi.
Ketika anak asuh mulai beranjak dewasa, Nuraini berusaha menjadikan mereka sebagai sahabat. Tujuannya, anak-anak itu tidak malu untuk curhat. ’’Ya, sering saya pancing mereka untuk curhat soal perasaan mereka terhadap lawan jenisnya. Ketika mereka mulai suka dandan, biasanya anak itu mulai tertarik untuk berpacaran,’’ ujar Nuraini.
Dia mencontohkan ketika menjadi teman curhat bagi anak asuhnya yang bernama Monalisa Ariska. Pelajar kelas 3 SMA itu juga salah seorang korban tsunami Aceh. ’’Saya pancing dia, apakah sudah punya pacar atau belum. Ternyata, dia mengaku tidak ingin pacaran dulu sampai lulus SMA,’’ jelasnya.
Nuraini bangga dengan Monalisa. Dia termasuk siswa berprestasi di SOS Children’s Villages karena berhasil masuk sekolah favorit di Banda Aceh, yakni SMA Negeri 1.
Nuraini juga bangga dengan semangat belajar Nova Sintia. Remaja kelahiran 1995 itu pun merupakan korban tsunami. Dia tidak mau buru-buru memutuskan menikah sebelum menyelesaikan studinya. Saat ini, Nova menempuh kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Psikologi, Banda Aceh.
’’Tapi, saya juga senang dan terharu ketika anak asuh saya menikah dan mandiri. Misalnya, Maria Ulfa,’’ ujarnya.
Meski telah berkeluarga, Maria tetap menganggap Nuraini sebagai ibu kandung. Tiap Lebaran, dia mengunjungi Nuraini dengan membawa anaknya. ’’Saya serasa sudah punya cucu,’’ katanya.
Nuraini datang ke Jakarta bersama salah seorang anak asuhnya, Mistahul Jannah. Anak korban tsunami tersebut juga termasuk yang berprestasi. Dia langganan juara kompetisi taekwondo. ’’Taekwondo termasuk kegiatan rutin di village (SOS Children’s Villages),’’ ujar Mistahul.
Kisah Mistahul sebagai survivor tsunami juga mengharukan. Dia masih ingat kejadian yang memisahkan dirinya dari ibundanya selamanya itu. Kejadian tersebut tepat seminggu setelah ulang tahunnya yang kedelapan. ’’Bukan hanya ibu, tiga saudara saya juga jadi korban,’’ papar bungsu enam bersaudara itu.
Mistahul juga sempat beberapa tahun terpisah dari ayahnya sebelum akhirnya bertemu kembali. ’’Sebelum kejadian, saya sebenarnya akan bermain masak-masakan dengan teman di kampung,’’ ungkapnya.
Saat itu, Mistahul baru selesai mandi dan hendak ke luar rumah. Tiba-tiba, gempa berkekuatan besar mengguncang kampungnya. ’’Ibu sempat menyuruh saya masuk rumah,’’ kenangnya. Tidak berselang lama, air laut datang. Jarak tempuh rumah ABG 18 tahun itu dengan pantai memang hanya 5 menit.
Mis –sapaan Mistahul Jannah– sempat tinggal berpindah-pindah dari satu pengungsian ke pengungsian lain. Akhirnya, sebulan setelah kejadian, dia ditemukan kakek dan neneknya. ’’Saya sempat diasuh kakek dan nenek dua tahun sebelum akhirnya tinggal di villages,’’ ujarnya.
Awalnya, Mistahul merasa kikuk berada di rumah tersebut. Apalagi harus tinggal dengan orang yang tidak memiliki hubungan biologis dengan dirinya. ’’Namun, semangat para pengasuh membuat saya betah tinggal di asrama. Saya juga bisa hidup dengan teman-teman yang memiliki latar belakang yang sama,’’ katanya.
Kini Mistahul lebih sering tinggal di asrama atlet. Sebab, dia kerap mengikuti kejuaraan taekwondo untuk mewakili Aceh. ABG kelas 3 SMA tersebut ingin melanjutkan kuliah pendidikan keguruan di Jakarta. Dia bercita-cita mengajar di desa-desa terpencil di Aceh. (*/c5/ang)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Gubuk Hebat Tempat Kumpul Ortu Penderita Cerebral Palsy
Redaktur : Tim Redaksi