jpnn.com - Indonesia pernah memiliki presiden bernama Soeharto. Tokoh yang kondang dengan panggilan Pak Harto itu memimpin Indonesia selama periode 12 Maret 1967 hingga 21 Mei 1998.
“…. saya dilahirkan pada tanggal 8 Juni tahun 1921, di rumah orang tua saya yang sederhana, di Desa Kemusuk, dusun terpencil di daerah Argomulyo, Godean, sebelah barat Kota Yogyakarta,” ujar Pak Harto dalam autobiografinya yang berjudul ‘Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya’ terbitan Citra Lamtoro Gung Persada (1989).
BACA JUGA: Bermula dari Bukit Soeharto, Kini Ada 2 Patung Pak Harto di Ponorogo
Soeharto merupakan putra pasangan Kertosudiro dan Sukirah. Kertosudiro adalah ulu-ulu atau pamong desa yang punya tugas khusus mengurusi pengairan di desa.
Sebabai ulu-ulu, Kertosudiro punya tanah garapan yang bukan miliknya, tetapi semacam fasilitas jabatan. Adapun Sukirah adalah ibu rumah tangga biasa.
BACA JUGA: Kegeraman Pak Harto di Lubang Buaya, lalu Beda Paham dengan Bung Karno
Dalam buku yang ditulis G Dwipayana dan Ramadhan KH itu juga didedahkan soal hubungan kedua orang tua Pak Harto tidak harmonis. Keluarganya broken home.
“…hubungan orang tua saya kurang serasi hingga akhirnya setelah saya dilahirkan, mereka bercerai.”
BACA JUGA: Analisis Prof Salim Said tentang Dugaan Pak Harto Terlibat Gestapu
Namun, Bu Sukirah sakit-sakitan. Belum genap berusia 40 hari sejak dilahirkan, Soeharto diasuh oleh Mbah Kromodiryo.
“Ibu saya sakit sehingga tidak bisa menyusui,” tutur Pak Harto.
Mbah Kromo pula yang menatah Soeharto. Mbah Kromo kerap menaikkan Soeharto kecil di atas kerbau dan membawanya ke sawah untuk menggaru.
Ketika Soeharto berusia empat tahun, Bu Sukirah mengambilnya dari asuhan Mbah Kromo. Ibunya sudah menikah lagi dengan pria bernama Atmoprawiro.
“Saya diambil kembali oleh Ibu Sukirah dan tinggal bersama dengan Pak Atmoprawiro, ayah tiri saya,” kisahnya.
Buku itu mengisahkan masa kecil Soeharto begitu menderita. Dia berpindah-pindah tempat tinggal dan orang yang mengasuhnya pun berganti-ganti.
Walakin, suratan mengantar Soeharto menjadi orang besar. Saat sudah menjadi Presiden Kedua RI, Pak Harto justru diterpa isu kurang sedap.
Pada Oktober 1974, sebuah majalah memberitakan hal yang bukan-bukan tentang silsilah Pak Harto. Hal itu membuat tokoh berjuluk Bapak Pembangunan tersebut merasa perlu mengklarifikasinya.
Pak Harto pun menyuruh G Dwipayana membuat bantahan soal pemberitaan majalah tersebut.
Namun, suami Siti Hartinah itu juga memberikan penjelasan langsung di depan wartawan di kantornya di Bina Graha, Jakarta Pusat.
"Saya bukan seseorang dari keturunan ningrat," ucapnya waktu itu.
Dalam persamuhan tersebut, Pak Harto menghadirkan orang-orang yang mengetahui silsilahnya di hadapan para wartawan nasional dan luar negeri.
Kala itu, Pak Harto betul-betul khawatir dengan pemberitaan soal silsilahnya yang dimuat sebuah majalah hiburan tersebut.
“Saya percaya bahwa setidak-tidaknya berita tersebut bisa menimbulkan pertanyaan-pertanyaan dalam masyarakat dan membingungkan. Sebenarnya presiden yang sekarang itu keturunan dari mana? Kalau itu sudah menimbulkan pembicaraan, timbul pro dan kontra,” tutur Pak Harto.
Penguasa Orde Baru itu mengkhawatirkan pemberitaan tersebut akan membelah masyarakat yang berpegang pada pendapat masing-masing. Efeknya bisa pada stabilitas nasional.
“Ini kesempatan yang baik untuk pihak yang melakukan subversi dalam melakukan gerpolnya,” ujar mantan Panglima Kostrad itu.
Dia tidak mau ada kesan di masyarakat yang merisak martabat Bu Sukirah. Pak Harto pun mengaku pada saat itu terpaksa membuka rahasia pribadinya.
“Karena itu, silsilah saya harus dijelaskan. Sekalipun terpaksa rahasia pribadi dibuka, demi kepentingan penngabdian saya kepada negara dan bangsa, maka saya ceritakan semua itu dan saya sedikit pun juga tidak merasa menyesal menceritakannya,” ucapnya.(jpnn.com)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bung Karno, Silsilah dan Pertanda Alam atas Kelahirannya
Redaktur : Antoni
Reporter : Tim Redaksi