Kisah Para Pemain Timnas Pelajar U-13 yang Telantar di Filipina

Minggu, 08 November 2015 – 05:19 WIB
Timnas Pelajar U-13 Juara Pinas Cup 2015 di Filipina. Foto: Sidiq Maulana Tualeka/Jawa Pos

SKUAT Timnas U-13 tak bisa menginap di hotel karena dana akomodasi habis untuk membayar denda imigrasi. Namun, bisa tetap juara di tengah berbagai keterbatasan berkat spirit tinggi dan skill yang menonjol.
--------------------
Sidik Maulana Tualeka, Jakarta
--------------------
SORE itu, Achmad Zein Nuralif bersolek betul. Rambutnya dibasahi secolek gel agar bisa dibentuk ala mohawk. Tubuhnya dibalut baju bertulisan Timnas U-13 Indonesia yang dipadu dengan skinny jeans.

Alif sengaja tampil seganteng-gantengnya karena sore itu dirinya dan 11 rekan setimnya di timnas pelajar U-13 akan balik ke tanah air. Mereka sudah tak sabar meninggalkan Manila, Filipina, untuk memamerkan trofi Pinas Cup 2015.

BACA JUGA: Moncong Senjata Sudah Mengarah, Batal Ditembak karena Bisa Berbahasa Belanda

Itulah trofi yang dimenangi Alif dkk setelah bertungkul lumus sejak 28 Oktober hingga sukses di final dua hari berselang. ’’Campur aduk senangnya waktu itu. Bangga karena bisa juara sama gembira bisa segera ketemu keluarga di rumah,’’ kenang Alif tentang persiapannya balik ke Jakarta pada Minggu sore (1/11) itu.

Tapi, semua bayangan indah tersebut buyar seketika setelah mereka tiba di Ninoy Aquino International Airport, Manila. Ketua Delegasi Indonesia Gatut Hari Suparjanto mengumumkan bahwa mereka batal terbang ke Jakarta sore itu. Sebab, pesawat yang sedianya dinaiki sudah terbang 15 menit sebelum mereka tiba di bandara.

BACA JUGA: Kisah Si Cantik yang Memilih Pensiun Dini Sebagai Pembalap Formula 1

Alif masih ingat, begitu mendengar kabar itu, seluruh pemain langsung saling berpelukan. Tidak sedikit anak-anak yang rata-rata kelahiran 2002 tersebut yang menitikkan air mata. Maklum, mereka baru kali pertama itu ke luar negeri.

’’Yang ada di pikiran kami saat itu, terus kami harus bergantung kepada siapa di Filipina?’’ ujar arek Suroboyo tersebut polos saat ditemui bersama rekan-rekan setimnya di Taman Mini Indonesia Indah, Jumat (6/11).

BACA JUGA: Mengintip Mimik Tak Terduga dari Balik Ruang Rapat Istana Presiden

Pemain lain, Katon Adi Pangestu, juga heran dan kesal mengapa dirinya serta 11 pemain lain tak bisa pulang hari itu juga. ’’Kalau batal terbang, kan mestinya bisa cari penerbangan lain,’’ ungkap Katon.

Kekesalan yang diungkapkan Katon itu wajar. Sebab, alasan tak bisa pulang karena terlambat tiba di bandara memang konyol. Anak-anak yang telah mengharumkan nama Indonesia itu akhirnya baru bisa pulang empat hari kemudian (5/11) setelah Kemenpora membiayai kepulangan mereka.

Kegagalan pulang tersebut tentu saja juga mengejutkan orang tua ke-12 pemain. Bagi mereka, anak-anak mereka telah ditelantarkan. Meski Kampiun Indonesia dan pelatih Aef Barlian menyatakan mereka baik-baik saja di Manila.

Yang lebih menyesakkan para orang tua, rata-rata mereka sudah menyiapkan sambutan istimewa. Ada yang telah memasak makanan kesukaan si buah hati. Ada pula yang telah menyiapkan tasyakuran serta pengajian.

Yang semakin merisaukan para pemain dan orang tua mereka, Gatut yang juga pemilik Kampiun Indonesia, event organizer yang memberangkatkan total 16 pemain timnas U-13 ke Pinas Cup 2015, ternyata memilih pulang. Dia mendarat di Jakarta keesokannya (2/11) bersama empat pemain, yakni Gilang Prayoga, Denis Fahrezi, Aldi Awaludin, dan Wahyu Dwi Hariyanto.

Achmad Yari, ayah Alif, menduga, empat pemain itu bisa pulang karena orang tua mereka membayar biaya tambahan untuk pemulangan tim sebesar Rp 2,9 juta yang diminta Gatut.

Yari dan orang tua 11 pemain lain menolak permintaan tersebut. Mereka menganggap permintaan itu aneh. Sebab, sepatutnya semua biaya setiap tim yang membawa nama negara ditanggung negara.

Yang membuat orang tua 12 pemain itu lebih marah, saat melaporkan telantarnya anak-anak mereka di Manila ke Kemenpora, diketahui bahwa surat dari Tim Transisi yang pernah ditunjukkan Gatut ternyata bodong.

’’Dari data administrasi, kami tidak pernah mengeluarkan surat rekomendasi seperti itu,’’ tegas Cheppy T. Wartono, salah seorang anggota Tim Transisi yang dibentuk Kemenpora setelah PSSI dibekukan pada 17 April lalu

Orang tua risau, apalagi anak-anak mereka di Manila. Sebab, gagal pulang berarti mereka harus kembali tinggal di rumah seorang warga negara Indonesia bernama Nita yang menikah dengan pria Filipina.

Perempuan yang diketahui berasal dari Blitar, Jawa Timur, tersebut masih punya hubungan darah dengan Gatut. Dia memiliki dua rumah sederhana di Distrik Santa Rosa Laguna, sekitar 30 kilometer dari pusat Kota Manila.

Rumah pertama adalah rumah induk satu lantai dengan dua kamar yang didiami Nita dan keluarga. Rumah satu lagi berlantai dua dengan bentuk seperti rumah toko (ruko) sempit. Tanpa kamar dan cuma memiliki satu kamar mandi serta satu dapur.

Di rumah kedua itulah Alif dkk tinggal sejak mendarat di Manila pada 28 Oktober lalu. Ya, kendati berstatus timnas, Alif dkk ternyata tak diinapkan di hotel. Itu terkait dengan insiden saat tiba di Manila sekitar pukul 05.00 waktu setempat. Rombongan tim yang ditangani pelatih Aef Barlian tersebut ditahan imigrasi Filipina.

Sebab, berdasar aturan, anak-anak di bawah umur wajib mendapat pendampingan orang tua. Untuk bisa keluar, ofisial tim akhirnya harus membayar tebusan Rp 17 juta sebagai denda. Belakangan diketahui bahwa dana untuk denda tersebut diambilkan dari biaya akomodasi untuk penginapan di hotel.

Jadilah ke-16 pemain berdesakan di rumah tanpa kamar tadi. Mereka tidur beralas matras. Saat siang, mereka juga harus berjuang melawan panasnya ruangan yang hanya difasilitasi sebuah kipas angin rusak tersebut.

Padahal, cuaca Manila sedang panas-panasnya saat itu. Katon akhirnya berinisiatif memperbaiki kipas angin yang sudah uzur tersebut. ’’Kabel dari mesin ke baling-baling ternyata ada yang lepas. Saya sambungkan kembali dan kipas angin bisa mutar lagi. Kalau tidak ada kipas angin itu, mungkin kami tiap malam harus tidur telanjang (saking panasnya),’’ tutur Katon yang dibenarkan Ikmal Syahban, Ahmad Fathoni, dan para pemain lain.

Untung, Nita ramah menyambut tamu-tamunya. Tak pernah ada masalah untuk urusan isi perut. ’’Kadang kami dimasakin rendang, kadang makan dengan lauk telor dan mi goreng. Porsinya juga bebas. Itu juga yang bikin kami nggak mau pindah ke KBRI,’’ ungkap Fathoni.

Segala keterbatasan itu tak sampai menyurutkan semangat mereka. Padahal, pada hari pertama turnamen saja, ofisial tim harus kelabakan melobi panitia buat mengundurkan pertandingan.

Sebab, Alif dkk baru bisa keluar dari bandara sekitar pukul 07.00 waktu setempat, sedangkan laga pertama digelar dua jam kemudian. Panitia akhirnya bersedia mengundurkan jadwal menjadi pukul 14.00 WIB.

’’Selain karena tingginya semangat anak-anak, kami bisa juara karena secara skill anak-anak lebih menonjol ketimbang pemain lain,’’ kata Aef yang semasa bermain pernah membela Assyabaab Salim Group Galatama.

Tapi, spirit membubung itu toh terempas juga ketika mereka gagal pulang pada 1 November dan harus kembali ke rumah Nita. Seingat Alif, dua hari pertama setelah gagal pulang merupakan hari-hari tersulit.

Dia dan rekan-rekan rata-rata hanya bisa mengurung diri di dalam rumah sambil berkomunikasi dengan orang tua. ’’Ada yang telepon ngasih kabar tentang kondisi di sana kepada orang tuanya di Indonesia. Ada juga yang hanya bisa SMS (short message service) karena pulsanya terbatas,” kata putra pasangan Achmad Yari dan Eko Endang Suhartatik itu.

Kondisi mental mereka kian terjun bebas setelah hanya mendengar jawaban ’’tunggu saja’’ setiap bertanya kepada ofisial yang turut gagal pulang. Aef, asisten ketua delegasi Sandra Dwi Kusuma Dwi, dan manajer Irpan Taufik memang turut tertahan di Manila.

’’Mau bermain di pekarangan rumah saja sangat susah. Rumah yang kami tinggali banyak anjing yang bermain di halaman,’’ ujar Alif.

Memasuki hari ketiga, Alif berinisiatif mengajak rekan-rekannya berkunjung ke salah satu mal terbesar di Manila. Mereka menumpang angkutan umum selama 15 menit dari tempat menginap.

’’Tapi, hanya jalan-jalan biar nggak stres di rumah. Sebab, bagaimana mau belanja, semua sama-sama tidak pegang uang saku,’’ tegas anak kedua di antara tiga bersaudara itu.

Memang, setelah juara, mereka hanya diberi medali berwarna emas dengan sebuah piala berbentuk cangkir di atasnya. Untung, perjuangan orang tua mereka dengan mengadu ke Kemenpora didengar. Kamis tengah malam (5/11), mereka akhirnya mendarat di Jakarta.

Meski sempat kaget ketika tahu bahwa tim mereka tidak dibentuk secara resmi oleh institusi berwenang, para pemain sama sekali tak kapok. ’’Kami ingin berlatih lebih keras agar bisa masuk timnas yang asli,’’ ujar Fathoni yang diamini seluruh rekannya. (*/c5/ttg)

BACA ARTIKEL LAINNYA... TNI dan Tentara Malaysia Akrab Banget di Sini, Bisa Sama-sama Sedih


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler