Moncong Senjata Sudah Mengarah, Batal Ditembak karena Bisa Berbahasa Belanda

Jumat, 06 November 2015 – 00:01 WIB
Bernard Wilhem Lapian. Foto: ist/Natalia Laurens/JPNN

jpnn.com - LOUISA Magdelana Gandhi Lapian tertawa saat ditanya gelar pahlawan ayahnya, sang pejuang Bernard Wilhem Lapian. Bernard baru saja mendapatkan gelar itu dari pemerintah yang diserahkan Presiden Joko Widodo pada Louisa sebagai ahli waris di Istana Negara, Jakarta, Kamis (5/11).

Mengapa wanita berusia 80 tahun itu tertawa saat ditanya soal gelar itu. Terharu, Louisa  teringat perkataan ayahnya yang selalu bercanda setiap kali mendapat penghargaan dari pemerintah.

BACA JUGA: Kisah Si Cantik yang Memilih Pensiun Dini Sebagai Pembalap Formula 1

“Beliau sering dapat penghargaan. Dia katakan penghargaan ini untuk teman-teman seperjuangan. Jadi bukan untuk anaknya. Karena anaknya cuma makan-makan ha..ha..ha.. Kalau dalam bahasa Manado beliau katakan 'ei ini bukan for ngana ya' Dia selalu tekankan itu. Penghargaan itu untuk semua teman-temannya,” ujar Louisa tersenyum.

Louisa menuturkan, Bernard berjuang untuk kemerdekaan bukan dengan senjata bambu runcing dan berperang seperti pahlawan lainnya. Semasa bekerja di Batavia, pria asal Kawangkoan Minahasa Sulawesi Utara itu adalah seorang jurnalis di surat kabar Pangkal Kemadjoean.

BACA JUGA: Mengintip Mimik Tak Terduga dari Balik Ruang Rapat Istana Presiden

Surat kabar itu menunjukkan sikap nasionalis untuk membebaskan warga Indonesia dari kolonialisme. Pada tahun 1924-1928 Bernard mendirikan surat kabar Fadjar Kemadjoean.

Ayah enam anak itu juga mendirikan surat kabar Semangat Hidoep di kampung halamannya. Isi surat kabar itu mengobarkan perlawanan terhadap propaganda kolonial yang mengajak masyarakat Minahasa loyal pada Belanda.

BACA JUGA: TNI dan Tentara Malaysia Akrab Banget di Sini, Bisa Sama-sama Sedih

Louisa berusaha mengingat-ingat lagi perjuangan ayahnya kala itu. Ia mengaku, ayahnya juga berjuang lewat agama. Sebagai penganut Kristen yang sangat religius, Bernard mendirikan gereja nasionalis yang pertama di kampung halamannya dan menjadi anggota Dewan Minahasa.

Saat itu diperjuangkan pembangunan fasilitas publik, infrastruktur dan rumah sakit untuk masyarakat. Ia kemudian diangkat menjadi Sekretaris Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM).

“Yang paling dikenang itu dia religius ya. Beliau katakan kalau Belanda masuk Indonesia melalui agama, kita akan usir penjajah melalui agama juga. Melalui firman. Itu yang terkenang dan sampai sekarang saya pegang,” tutur profesor hukum di Universitas Indonesia tersebut.

Berjuang dengan cara religius, kata Louisa, ayahnya kemudian belajar bahasa Belanda. Berkat bahasa itu, Bernard pun bebas dari tembakan penjajah yang sudah diarahkan padanya.

“Dia pakai Alkitab. Dia enggak mau tuh ada bunuh-bunuh. Dia pernah hampir ditembak tapi karena bisa bahasa Belanda, saat itu dia berdoa pakai bahasa itu. Orang Belanda yang mau tembak langsung berhenti, karena mengira dia dari Belanda juga. Jadi dia itu dekat dengan Tuhan dan Alkitab,” kata Louisa dengan mata berkaca-kaca.

Semasa pendudukan Jepang, Bernard pernah menjadi Gunco atau Kepala Distrik. Pada 145 silam, ia menjadi Wali Kota Manado dan 14 Februari 1946 mengibarkan bendera merah putih. Pengibaran itu tersiar melalui sejumlah radio asing yang kemudian diketahui seluruh dunia.

Bernard kemudian diangkat menjadi gubernur Sulawesi kedua. Ia juga mendeklarasikan bahwa Sulawesi Utara adalah bagian dari NKRI dan bukan provinsi ke 12 negeri Belanda. Karena menolak mengembalikan kekuasaan pada NICA, Bernard sempat dijebloskan ke Penjara Teling Manado, penjara Cipinang, Jakarta dan penjara Sukamiskin, Bandung.

Pada 20 Desember 1949, Bernard kembali menghirup udara segar setelah dibebaskan. Ia kembali beraktivitas di dunia politik untuk menyelesaikan sejumlah perlawanan di dalam negeri. Sampai akhir hayatnya, Bernard aktif dalam kegiatan gereja sebagai ketua pucuk pimpinan gereja KGPM. Ayahnya, kata Louisa, juga selalu bersenandung lagu gereja di sela-sela bekerja. Ia mengingatkan anak-anaknya untuk selalu rindu pada Tuhan.

“Dia katakan harus punya sifat Tuhan, yaitu mengasihi. Beliau juga berpesan kami harus mandiri dan memiliki pendirian dalam berjuang,” tandas Louisa. (flo/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... SEREM! Di Istana Merdeka Banyak Hantu, Mulai Noni Belanda Hingga Perempuan Keluar Sumur


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler