PASANGAN suami istri, Laksmi dan Onny, tergolong manusia yang punya ketabahan ekstra. Sang putra, Muhammad Alief Surya Raka, menderita atopic. Penyakit itu membuat sekujur tubuhnya melepuh. Tiap tiga bulan mereka harus pergi ke Singapura untuk kontrol sekaligus membeli krim.
------------------
Laporan Muniroh, Surabaya
------------------
BOLA itu menggelinding di lantai sebuah rumah di kawasan Mulyosari Tengah. Muhammad Alief Surya Raka, nama bocah pemilik bola tersebut, mengejarnya dengan gembira. Dia bergerak aktif, tak beda dengan bocah lain.
Sepintas, bocah kelahiran 26 April 2008 itu terlihat normal. Namun, jika dilihat dari dekat, tampak ruam-ruam di tubuhnya. Terutama di bagian dahi dan leher. Pada saat-saat tertentu, ruam itu bisa menghebat.
BACA JUGA: Hidup di KRI Banjarmasin dalam Pelayaran Menuju Milan
Tubuh bocah tersebut akan dipenuhi bintik-bintik merah hingga mengeluarkan nanah. Hidung Raka juga sering mimisan. Sudah tak terhitung berapa kali dia masuk rumah sakit. Bahkan, pada kondisi-kondisi tertentu, Raka harus dirawat di Singapura.
Raka menderita penyakit langka yang dikenal dengan atopic akut. Pengobatan jalan terus. Terlambat sedikit saja, bisa fatal akibatnya. Pada situasi biasa seperti ini, Raka tidak terlalu menderita.
BACA JUGA: Jika Keluarga "Terlalu Banyak" yang Muslim, Satu Diminta Jadi Nasrani dan Sebaliknya
”Gatal, sakit,” jawabnya ketika ditanya bagaimana rasanya ruam di leher dan dahi itu. Kemudian, dia beringsut mendekat dan mencium ibundanya, Laksmi Hapsari Soebagio.
Menurut Laksmi, penyakit tersebut muncul sejak Raka berusia enam bulan. Ketika itu, pipinya memerah. Bahkan, sampai mengelupas. Laksmi langsung membawa putranya ke dokter. Saat itu diagnosisnya alergi bedak. Gejalanya memang mirip alergi. Rasanya gatal dan ada bintik. Masalahnya, setelah berobat, tidak ada perubahan berarti.
BACA JUGA: Reaktor Nuklir itu seperti Pabrik Minyak Goreng
”Muka, tangan, dada, dan telinga masih merah. Dokter berpikir itu penyakit biasa. Jadi, kami bingung. Sampai ada yang mengira itu lepra,” katanya.
Laksmi berkeliling ke belasan dokter. Diagnosis tetap alergi. Kemudian dia bertemu dengan sepupunya yang juga berprofesi sebagai dokter. Melihat kondisi itu, sepupunya curiga Raka terkena atopic. Kemudian Raka dibawa ke rumah sakit untuk cek medis lengkap dan ternyata benar.
Perjuangan baru dimulai sejak itu. ”Saya berkeliling. Mulai Surabaya, Jakarta, hingga Singapura. Cocoknya baru di Singapura,” papar Laksmi.
Maksud Laksmi dengan cocok adalah terapinya. Sejak diterapi di Singapura, kondisi Raka stabil. Tidak kumat. Juga, soal harga obatnya. Menurut dia, sistem medis di Indonesia belum berpihak kepada penderita atopic. ”Bukannya sombong berobat ke luar negeri, tapi karena justru lebih murah,” ucap perempuan 35 tahun tersebut.
Dia mencontohkan Protopic, salep yang dioleskan untuk mengatasi gatal dan sakit di ruam penderita atopic. Selama ini Laksmi membelinya di apotek di Surabaya. Harga satu tube dibanderol Rp 400 ribu. Sementara itu, menurut informasi yang didapatnya, di Malaysia harganya Rp 150 ribu dan di Jepang hanya Rp 40 ribu.
Selain mahal, belum banyak apotek di Indonesia yang menyediakan obat itu. ”Kalau lagi parah, satu tube bisa habis dalam dua hari saja,” keluhnya.
Setiap tiga bulan mereka harus pergi ke Singapura untuk kontrol dan menebus sejumlah krim serta obat. Setelah Lebaran ini pun, mereka harus berangkat lagi. Meski begitu, kata Laksmi, ada seorang dokter Surabaya yang mumpuni menangani atopic. Dia adalah Prof Dr Indropo Agusni SpKK (K). Dokter itulah yang menjadi jujukan jika ruam Raka mendadak kambuh.
Atopic tergolong penyakit kulit yang langka. Penderitanya akan mengalami ruam (inflammation of skin) yang terasa gatal dan perih. Semakin digaruk, semakin gatal. Penyebab penyakit itu belum diketahui pasti. Tapi, diduga gabungan dari genetis, lingkungan, dan sistem imun yang tak bekerja dengan baik.
Yang membuat berat, penyakit tersebut tidak bisa disembuhkan. Terapi yang dilakukan bertujuan menurunkan gejalanya saja. Penderita harus rajin menjalani terapi dan minum obat sepanjang hidup (kecuali kalau obatnya sudah ditemukan). Penyakit itu tidak menular.
Untuk mempertahankan kestabilan kondisinya, Raka harus minum obat teratur. Sehari minimal tiga butir kapsul. Cara meminumnya pun tidak langsung telan. Tapi, ditaburkan dalam mulut. Jangan bayangkan rasanya. Pahit dan bau menyengat. Belum lagi salep yang harus dioleskan ke tubuh. Rasanya perih hingga membuat Raka kerap menangis. Jika racikannya kurang tepat, rasanya seperti tusukan duri.
Efek samping pun ada. Raka sering mimisan. Misalnya, saat ditemui pekan lalu, Laksmi dengan lembut mengelap hidungnya. Warna putih lembaran tisu itu berubah merah. Namun, Raka tidak mengeluh. ”Untung, Raka punya keinginan kuat untuk sembuh. Tahan sakit,” ucapnya.
Merawat anak atopic memang tidak mudah. Kesulitannya tidak sedikit. Laksmi menyebutkan, kulit Raka pernah merah sepanjang tahun. Tidak pernah hilang bintiknya. Biasanya ada pemicu sebelum muncul. Misalnya, stres, terserang flu, atau lupa mengoleskan krim. Saat kesakitan, Raka sering menangis sehingga tidak bisa tidur malam. Baru setelah minum obat dengan kandungan penenang, Raka baru bisa terlelap.
Tidak hanya itu, bocah berusia tujuh tahun tersebut tidak bisa menggunakan alat mandi sembarangan. Sampo dan sabun dibuat khusus. Mandi air hangat pun tidak bisa. Kalau memaksa, kulitnya bisa terluka. ”Rasanya nelangsa sekali,” ungkap istri Onny Eko Yunianto itu.
Meski sakit, Laksmi berprinsip anak tunggalnya tersebut harus tetap merasakan masa kecil yang bahagia. Karena itu, dia memastikan lingkungan sekolahnya mengerti penyakit tersebut. Dengan begitu, Raka tidak merasa terkucilkan. Kalau tidak, bocah itu akan mengalami tekanan sosial. Dia bisa diolok-olok orang lain yang tidak tahu tentang penyakit itu.
Ada yang menghindar lantaran disangka menular. Banyak juga yang menunjukkan wajah jijik saat melihat kondisi kulit Raka. ”Dia sempat tidak mau bersekolah. Ada wali murid baru yang mengejek. Dia malu,” ujarnya.
Perempuan alumnus farmasi Ubaya tersebut menyatakan telah menyampaikan keadaan Raka kepada guru dan teman sekolah. Dia meminta tenaga pengajar memperlakukan Raka seperti anak lain agar tidak merasa berbeda. Dia juga berharap pengertian guru agar Raka bisa duduk agak dekat dengan air conditioner (AC) supaya kulitnya tidak terlalu kering.
”Kami orang tuanya tidak mau dia kehilangan cerita masa kecil. Main apa pun bisa. Saya sampai punya usaha persewaan mainan karena dia,” ujarnya.
Kendati harus ekstra perhatian, tenaga, dan biaya, Laksmi mengaku tetap menganggap hal paling penting sekaligus paling indah dalam hidupnya.
Apalagi, Laksmi telah menunggu lima tahun sebelum memiliki Raka. Laksmi menikah dengan Onny pada 12 Oktober 2003. Dia bersyukur memiliki suami yang sabar. Sang suami yang sering ke Samarinda untuk bekerja selalu pulang tiap bulan agar bisa merawat Raka. ”Ini nikmat Allah. Kami juga bangga dengan dia. Dia strong berjuang,” ungkapnya.
Laksmi menambahkan, Raka mengetahui dirinya sakit. Karena itu, dia tidak rewel. Bahkan, dia ikut mencari obat. Suatu ketika, Raka menonton program Si Unyil. Di situ menayangkan bekicot yang katanya bisa menghilangkan gatal.
Dengan semangat, dia meminta sang ibu membelikan bekicot. ”Ada keluarga mengirim keripik bekicot, dia mau makan. Kalau mimisan di sekolah, dia sudah tahu sendiri harus bagaimana,” ucapnya.
Dengan segala usaha dan cinta kepada Raka, Laksmi tak pernah lupa berdoa agar Raka bisa sembuh total. ”Kami bersyukur apa pun kondisinya. Semoga ada keajaiban. Alhamdulillah, yang menyemangati banyak,” ungkapnya. (*/c7/ayi)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Megawati tak Bisa Tidur jika tak Dekat dengan Ayah
Redaktur : Tim Redaksi