Kisah Pengungsi Rohingnya Menjalani Ramadan di Penampungan Medan

Makan Sahur dan Berbuka Menunggu Katering

Jumat, 26 Juni 2015 – 05:16 WIB
Ilustrasi pengungsi Rohingnya. Foto: dok/Sumut Pos-JPNN

jpnn.com - LANTUNAN ayat-ayat suci Alquran terdengar dari sekelompok pria dan wanita dari setiap sudut kamar. Sebagian lagi tampak berdzikir mengucap lafadz Laila ha illallah. Beberapa pemuda memilih bercengkrama dan bercerita di halaman sambil berteduh di bawah pohon dari teriknya panas matahari.

Begitulah kira-kira gambaran suasana salah satu tempat pengungsian suku Rohingya, Myanmar, di Hotel Beraspati Jalan Jamin Ginting, Medan, Kamis (24/6) siang sekira pukul 12.15 WIB. Saat itu, wartawan Sumut Pos mencoba melihat lebih dekat aktivitas pengungsi muslim Rohingya di bulan Ramadan.

BACA JUGA: Watch Indonesia!, LSM Berlin yang Konsisten Pelototi Indonesia

SUMUT POS, MEDAN

Usai memarkirkan kendaraan dan berjalan menuju salah satu kamar pria, seorang pemuda yang tampak berdiri dan memperhatikan langsung menyapa. "Assalamualaikum," ucap pemuda yang mengenakan sarung dan kaos oblong. Pemuda ini kemudian menyodorkan tangan untuk bersalaman.

BACA JUGA: Bayaran tak Pernah Telat, Tarkam Dianggap Lebih Profesional

Setelah salam terjawab, pria itu terdiam dan hanya memandangi saja. Rupa-rupanya tak fasih berbahasa Indonesia maupun Inggris. Dia kemudian memanggil temannya, yang berada di dalam kamar. "Darasu, Darasu," teriaknya yang dilanjutkan dengan percakapan berbahasa Myanmar.

Tak lama, teman pemuda itu datang menghampiri Sumut Pos hingga akhirnya saling berkenalan. Muhamad Darasu (22) namanya. Meski tak mahir, namun Darasu sedikit bisa berbahasa Indonesia.

BACA JUGA: Merasakan Suasana Ramadan di Negeri Aquino (2-Habis)

Darasu menuturkan, ia bersama pengungsian lainnya di Hotel Beraspati sudah tinggal hampir dua bulan lamanya. "Kami di sini jumlahnya ada 118 orang, 110 laki-laki dan 8 wanita. Ada yang dari Myanmar dan juga Bangladesh," tuturnya.

Diutarakannya, pada bulan Ramadan para pengungsi berusaha khusuk menjalankan ibadah puasa. Untuk makan sahur dan berbuka, menunggu katering yang biasa datang mengantar. "Sebelum bulan Ramadan, di sini makan sehari tiga kali. Ketika puasa sehari dua kali, sahur dan berbuka. Kalau tidak puasa kami terkadang memasak sendiri. Namun, ketika puasa kami menunggu makanan diantar. Tapi, terkadang kami juga memasak sendiri seadanya karena tidak ada dapur umum," ungkap Darasu.

Menurutnya, makanan yang ada di Indonesia sangat enak dan nikmat. "Semua jenis makanan sudah kami rasakan, daging sapi, kambing, ayam, telur, ikan, sayuran dan buah-buahan. Kalau di Indonesia makanannya serba enak dibanding di Myanmar," sebutnya.

Ia mengungkapkan, keseharian aktivitas para pengungsi lebih kepada khusuk menjalankan ibadah di bulan Ramadan. "Setelah sahur, kami sholat Subuh dan mengaji. Lalu mencuci pakaian dan bersih-bersih halaman. Siangnya mengaji lagi dan sholat Zuhur. Kalau melaksanakan sholat, ya terkadang di pengungsian atau masjid terdekat. Untuk tarawih melaksanakan di halaman pengungsian dengan alas tikar dan terkadang di masjid juga ada," ungkapnya.

Darasu melanjutkan, dalam satu minggu sekali selama Ramadan para pengungsi diberikan pendidikan agama oleh seorang ustad. "Kami juga dikasih ceramah (tausiah) oleh ustad sekali seminggu. Ustad itu mengajarkan pendidikan tentang agama kepada kami, Deni nama ustadnya. Dia datang setiap hari Kamis siang jam 2 (14.00 WIB)," ucapnya.

Sementara itu, Mas'ud (22) mengatakan, kebiasaan masyarakat muslim di Medan dalam menjalankan ibadah Ramadan hampir sama dengan kebiasaan yang dilakukan muslim Rohingya saat masih tinggal di kampung halaman mereka di Myanmar.

Mas'ud dan pengungsi lainnya merasa senang lantaran diterima oleh pemerintah dan warga di Indonesia. Namun, para pengungsi tetap mengharapkan segera diberangkatkan ke negara tujuan.

"Kami sangat senang tinggal di Indonesia karena toleransi beragamanya tinggi. Umat non-muslim saja yang ada di sekitar sini menghormati bulan suci Ramadan," tutur Mas'ud.

Ia menuturkan, selama di pengungsian banyak bantuan yang datang berupa makanan, pakaian, perlengkapan tidur, mandi dan lainnya. "Alhamdulillah masyarakat Indonesia sangat ramah dan saling mencintai sesama manusia. Itu yang membuat kami sayang Indonesia. Kami pengungsi di sini saja dilayani layaknya seperti penduduk asli," sebut Masud.

Lebih lanjut dikatakannya, ia dan pengungsi lainnya tidak memiliki dokumen identitas apapun, kecuali kartu UNHCR. "Selama di Indonesia, kami dilarang bekerja. Akan tetapi, kami memperoleh bantuan setiap bulannya dari IOM (International Organisation for Migration)," jelas Mas'ud.

Disinggung kemungkinan kembali ke Myanmar, Mas'ud mengaku bisa dilakukan tetapi dengan syarat. "Harus ada jaminan 100 persen aman. Kami tidak mau dibantai seperti saudara-saudara kami yang telah meninggal. Kami mau masa depan kami lebih baik," tukasnya. (ris)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Merasakan Suasana Ramadan di Negeri Aquino (1)


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler