Merasakan Suasana Ramadan di Negeri Aquino (1)

Bertemu Takmir Blue Mosque yang Sekretaris Pembebasan Moro

Rabu, 24 Juni 2015 – 05:05 WIB
Agus Mustofa di depan ribuan makam tentara Amerika yang gugur dalam Perang Dunia II di American Cemetery & Memorial di kawasan Taguig City, Manila, Sabtu (20/6). Foto: Agus Mustofa For Jawa Pos

jpnn.com - Pada 19–21 Juni lalu penulis buku seri tasawuf modern Agus Mustofa diundang secara khusus oleh Kedutaan Besar RI di Manila, Filipina, untuk memberikan pengajian. Berikut catatan perjalanan mantan wartawan Jawa Pos itu dari Negeri Aquino.

Laporan Agus Mustofa, Manila, Filipina

BACA JUGA: Perjuangan Alfin Tuasalamony Untuk Sembuh dari Cedera

SINGAPORE Airlines tujuan Manila (19/6) yang saya tumpangi transit 5 jam di Singapura. Artinya, saya masih butuh waktu sekitar 4 jam lagi untuk sampai di Manila, Filipina. Tak ada pilihan, karena penerbangan lain yang direncanakan oleh KBRI Manila untuk saya ternyata tak menyisakan tempat duduk. Entah kenapa, penerbangan menuju Manila hari itu begitu penuh. Bahkan, pesawat jenis Boeing 777-200 double jet yang saya tumpangi pun sesak oleh penumpang.

Sekitar pukul 11 malam pesawat berkode SQ918 itu mendarat di Ninoy Aquino International Airport, Manila. Di antara kerumunan penjemput terlihat staf KBRI Fuad Helmi beserta dua mahasiswa yang mengacungkan selembar karton bertulisan nama saya.

BACA JUGA: Perjalanan Pulang KRI Banjarmasin dari World Expo Milan 2015

’’Maaf Pak Agus, terpaksa transit lama di Singapura. Kami tidak bisa memperoleh jadwal yang lebih baik dari SQ karena waktu pemesanan yang sedemikian sempit,’’ ujar staf KBRI asal Medan itu membuka pembicaraan.

Udara Manila menjelang tengah malam terasa hangat. Pada Juni ini, belahan bumi utara memang sedang musim panas. Kami mampir di sebuah rumah makan Indonesia untuk sekadar membasahi tenggorokan yang terasa haus karena puasa di cuaca panas. Sekalian, membeli makanan untuk sahur. Menunya khas Indonesia, resto itu buka semalaman untuk melayani umat Islam makan sahur.

BACA JUGA: Interpreter Andalan Pemkot Surabaya Farah Andita Ramdhani

Kami sampai di KBRI dini hari. Pada musim panas seperti saat ini, puasa di Manila sedikit lebih panjang daripada di Indonesia. Waktu subuh sekitar pukul 04.00 dan Magrib pukul 18.30. Semakin ke utara, semakin panjang siangnya. Tepat 21 Juni, matahari sedang berada di titik balik paling utara kawasan ekuator, di lintang 23,5 derajat. Dengan demikian, di kawasan yang jauh lebih ke utara lagi sedang terjadi malam-malam yang terang karena dihadiri matahari.

Sabtu pagi (20/6) saya diajak Fuad untuk berkeliling Metro Manila guna mengunjungi tempat-tempat bersejarah dan sejumlah masjid yang menjadi pusat dakwah Islam di negara yang lebih dari 80 persen warganya beragama Katolik tersebut. Dari Distrik Makati yang menjadi pusat bisnis Metro Manila, kami meluncur ke American Cemetery & Memorial di kawasan Taguig City.

Di situlah dimakamkan dan diabadikan nama ribuan tentara Amerika korban Perang Dunia II, baik yang jasadnya sudah ditemukan maupun yang hilang tak tentu rimba. Lokasinya berada di kompleks apartemen dan perumahan elite seluas 60 hektare. Rumput dan pepohonannya sangat terawat, jauh lebih bagus daripada beberapa lapangan golf yang kami lewati.

Sebagian besar tentara yang dimakamkan di sana beragama Kristen. Ditandai dengan nisan berbentuk salib. Berjajar rapi di padang rumput yang berbukit-bukit. Di antaranya juga terlihat nisan berbentuk bintang David yang menunjukkan di dalamnya terkubur tentara beragama Yahudi.

Tak jauh dari situ, terpampang ribuan nama di pilar-pilar lebar disertai diorama dan peta Perang Dunia yang memakan banyak korban itu. Meskipun tidak ramai, American Cemetery & Memorial tersebut menjadi salah satu objek wisata menarik bagi wisatawan mancanegara.

Dari Taguig City, kami menuju Manila City melewati Kedutaan Amerika Serikat. Lokasinya yang luas persis berada di tepi pantai, terlihat kapal-kapal besar. Konon, lokasi itu dipilih supaya tentara Amerika Serikat mudah mengakses kedutaannya dari arah laut. Maklum, Filipina adalah negara yang pernah dijajah AS (1898–1946) dan diberi kemerdekaan setelah dikuasai 48 tahun.

Sebelumnya Filipina dijajah Spanyol (1521–1898). Dan, jauh sebelum itu, negara kepulauan yang berhadapan dengan Samudra Pasifik tersebut terdiri atas kerajaan-kerajaan kecil dan kesultanan Islam (900–1521). Di antaranya adalah Kerajaan Tondo, Kerajaan Cebu, Kerajaan Manila, Kerajaan Butuan, Kesultanan Maguindanao, dan Kesultanan Sulu. Mereka kemudian dikalahkan Spanyol yang menjajahnya lebih dari tiga setengah abad.

Pengaruh pendudukan yang sedemikian lama itu terlihat dari keberhasilan mereka mengubah gaya hidup warga Filipina serta mengubah agama mayoritas yang semula didominasi Islam menjadi Katolik hingga sekarang. Itu mirip dengan yang terjadi di Cordoba, Spanyol.

Yang menarik, kemerdekaan yang diakui negara bukanlah kemerdekaan yang diberi Amerika pada 1946, melainkan kemerdekaan dari penjajahan Spanyol 12 Juni 1898. Dengan begitu, beberapa hari yang lalu masyarakat Filipina baru saja merayakan kemerdekaannya yang ke-117. Sedangkan 4 Juli 1946 hanya diakui sebagai Philippines-American Friendship Day alias Hari Persahabatan Filipina-AS belaka.

Di Taguig City, kami juga berkunjung ke pusat dakwah Islam. Di antaranya adalah Blue Mosque di kawasan Mindanao Ave, Maharlika Village. Di pintu gerbangnya terdapat papan bertulisan: Blue Mosque and Cultural Center. Bukan hanya masjid dalam arti sebagai tempat ibadah salat, tapi juga sebagai pusat kegiatan budaya Islami.

Kami disambut seorang laki-laki yang ramah bernama Jadjurie H. Arasa. Dia adalah administrator alias ketua takmir Blue Mosque. Lelaki berperawakan sedang itu berasal dari Pulau Mindanao, Filipina Selatan, yang memang dominan penduduk muslim.

’’Umat Islam di Filipina sekitar 20 juta, termasuk warga Mindanao. Sedangkan di kawasan Metro Manila jumlahnya sekitar 3,5 juta,’’ paparnya. Sebagai gambaran, penduduk Filipina saat ini sekitar 105 juta, 12 juta di antaranya tinggal di Metro Manila.

Lelaki yang beristri perempuan Kinabalu, Malaysia, itu menerima kami di ruang kerjanya yang sejuk. Dia mengaku beberapa kali datang ke Indonesia sejak zaman Presiden Soeharto sampai Presiden SBY. Termasuk bertemu dengan Gus Dur dan Amien Rais yang memberikan dukungan kepada umat Islam Filipina dalam memperjuangkan hak-haknya.

’’Pak Yusril Ihza Mahendra (pengacara, mantan Menkum HAM, Red) juga pernah ke sini,’’ ungkapnya sambil menunjuk AC yang mendinginkan ruang kerjanya sebagai bantuan Yusril yang beristri perempuan Filipina.

Jadjurie adalah sekretaris organisasi pembebasan Islam Moro MNLF (Moro Islamic Liberation Front) yang memperjuangkan otonomi daerah bagi warga Mindanao yang dominan muslim. Salah satu tugas utama Jadjurie adalah menggalang dukungan internasional agar mereka memperoleh kebebasan sebagai daerah otonomi yang bisa mengelola kepentingan umat Islam secara lebih leluasa.

Ada banyak kalangan internasional yang telah mengunjungi Blue Mosque. Dari album fotonya, lelaki energik itu menunjukkan sejumlah tokoh yang berfoto bersama dirinya. Di antaranya, para duta besar, pejabat Kemenlu, dan pejabat pemerintahan dari berbagai negara seperti AS, Inggris, Turki, Kuwait, Mesir, Uni Emirat Arab, Iran, Arab Saudi, Malaysia, Indonesia, dan Brunei Darussalam. Mereka memberikan perhatian lebih baik atas upaya Blue Mosque dalam menyampaikan syiar Islam Filipina secara moderat lewat jalur budaya dan diplomasi. (*/bersambung/c10/ari)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Tinggalkan Visi Sepak Bola Indonesia, Thailand Tatap Asia dan Dunia


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler