Setelah mengalami pelecehan rasisme selama tahun-tahun di Australia, Angelica Ojinnaka menghabiskan sebagian dari masa kerjanya dengan menyembunyikan sebagian dari identitasnya.
"Saya banyak mendapat penghinaan rasial, disuruh mengubah kulit saya dengan berbagai cara," jelasnya.
BACA JUGA: Anies di Australia
Saat berbincang dengan ABC, ia sengaja menghindari kata-kata yang pernah dilontarkan kepadanya atau merinci kekerasan yang ia alami karena trauma.
Angelica yang berusia 25 tahun lahir di Australia dari orangtua yang berasal dari Nigeria.
BACA JUGA: Begini Cara Grant Thornton Indonesia Merayakan Hari Perempuan Internasional
Ia mengatakan setelah pengalaman sekolah yang menyakitkan itu, dia kemudian mencoba untuk tidak berperilaku seperti stereotip "Afrika", dan tampil "lebih seperti orang kulit putih."
Misalnya, ia mencoba untuk meluruskan rambutnya atau mengubah cara ia berbicara.
BACA JUGA: Populasi Serangga Dunia Menurun, Apa Dampaknya Bagi Perkebunan?
"Saya harus kurang 'Afrika' untuk menyesuaikan diri, sudah lama saya takut dengan identitas saya sendiri"
Banyak warga yang bukan kulit putih melakukan hal ini, yang disebut 'code switching', yakni upaya seseorang, baik secara sadar atau tidak sadar, menyesuaikan bahasa, perilaku, dan atau penampilannya, agar sesuai dengan budaya yang dominan.
Menurut laporan terbaru dari Diversity Council Australia (DCA), hal itu biasa terjadi di tempat kerja di Australia.
DCA melakukan survei kepada hampir 400 "perempuan yang terpinggirkan secara budaya dan ras", yang didefinisikan sebagai perempuan berkulit hitam, coklat, Asia, atau kelompok non-kulit putih lainnya dan terpinggirkan karena ras mereka.
Survei, yang dilakukan antara Oktober dan November tahun lalu, menemukan sebagian besar dari mereka melakukan 'code switching' karena mereka takut akan diabaikan oleh manajer mereka di pekerjaan dan promosi, jika tidak melakukannya.
Mereka mengatakan ada "model kepemimpinan yang digunakan untuk menilai bakat dalam perusahaan Australia yang bias terhadap, apa yang disebut DCS, sebagai gaya kepemimpinan Barat atau 'Anglo' yang lebih maskulin yang mengedepankan ekstraversi dan promosi diri".
Laporan tersebut mengatakan ini "memiliki efek yang secara tidak sengaja mengecualikan perempuan dari latar belakang budaya lain untuk dipertimbangkan mendapat peran senior [atau jabatan lebih tinggi]".
Sebanyak 83 persen dari mereka yang disurvei mengalami tekanan untuk bertindak, berpenampilan, dan terdengar seperti pemimpin mereka (yang kemungkinan besar adalah pria kulit putih) dan 69 persen melaporkan harus "bersikap seperti orang kulit putih" agar dianggap sesuai. Sementara 66 persen peserta survei mengatakan untuk bisa maju harus "berperilaku seperti orang kulit putih".'Penyesuaian agar bisa seperti orang kulit putih'
Turkan Aksoy adalah bagian dari kelompok 'focus group' yang digunakan Diversity Council sebagai bagian dari surveinya.
Dia berusia tujuh tahun ketika keluarganya pindah ke Australia dari Turki dan ingat bagaimana 'code switching' di awal karirnya.
"Saya benar-benar melakukan banyak code switching, yang terkadang saya sebut sebagai 'penyesuaian agar bisa seperti orang kulit putih'," kata Turkan, yang pernah ikut program TV 'Big Brother'.
"Beberapa hal yang akan saya lakukan, misalnya, memperbaiki aksen saya, meminimalkan aksen saya yang kuat."
"Saya juga akan mewarnai rambut saya, terkadang memakai lensa kontak. Saya akan memutihkan kulit saya, berpakaian dengan gaya Barat. Ini semua demi menyesuaikan diri dan menjadi bagian dari masyrakat Australia."
Tetapi dampak yang ia rasakan malah merasa lebih "terkucil dan dikucilkan".Menjadi 'bunglon' supaya bisa diterima
Rozalina Sarkezians juga menjadi bagian dari kelompok 'focus group' dalam survei.
Ia sudah bekerja di industri kesehatan selama 25 tahun, meski sekarang punya usaha sendiri.
Rozalina mengatakan pernah mengalami tekanan untuk menyesuaikan diri dengan norma budaya barat dalam pekerjaan sebelumnya.
"Saya merasa harus menjadi seperti bunglon dan mengubah diri saya agar sesuai dengan budaya [dominan kulit putih] ini," katanya.
"Untuk mengubah diri, saya datang ke acara minum-minum [alkohol] yang sebenarnya tidak cocok dengan diri saya, hanya untuk menyesuaikan diri dengan budaya tertentu dan menyesuaikan diri dengan cara tertentu sehingga saya bisa mendapat promosi dalam pekerjaan."
Sebagian besar perempuan yang disurvei oleh DCA mengatakan mereka merasa lebih sulit untuk maju dalam karier mereka karena latar belakang budaya atau agama mereka.
Survei DCA menemukan 85 persen dari mereka merasa kadang-kadang, sering atau sangat sering, harus bekerja dua kali lebih keras daripada pekerja perempuan yang berkulit putih untuk bisa mendapatkan perlakuan atau evaluasi yang sama.
Dan 65 persen merasa mereka diabaikan atau tidak dianggap serius oleh manajer mereka karena menjadi perempuan dari latar belakang yang berbeda.
Juga ditemukan 69 persen migran perempuan yang disurvei percaya untuk menjadi migran telah membatasi pilihan karir mereka di Australia.Tetap ada seksisme dan rasisme di tempat kerja
Laporan DCA juga menanyakan para perempuan apakah mereka pernah mengalami rasisme dan seksisme di tempat kerja selama dua tahun terakhir.
Ditemukan 61 persen perempuan mengalami rasisme di tempat kerja dalam dua tahun terakhir, sementara 48 persen pernah mengalami seksisme di tempat kerja selama periode yang sama.
Survei DCA mengikuti audit Women on Boards tahun 2022, yang dilakukan terhadap dewa direksi dari 232 organisasi bukan perusahaan di lima sektor.
Ditemukan di saat perempuan mewakili 46 persen dewan direksi di seluruh sektor, mereka yang berasal dari latar belakang budaya beragam (didefinisikan dalam laporan itu sebagai perempuan "non-Anglo Celtic") hanya menyumbang 5,7 persen dari jumlah direksi.Bagaimana membuat tempat kerja bisa lebih inklusif
Tekanan 'code switch' ini dapat melemahkan upaya keberagaman di tempat kerja, menurut peneliti DCA dan rekan penulis laporan Virginia Mapedzahama.
"Ini tidak akan mengatasi hambatan sistemik ... yang kemudian mencegah mereka untuk menjadi pemimpin, karena apa yang mereka lakukan adalah menyesuaikan perilaku mereka agar sesuai, tapi bukan menghilangkan hambatannya," ujar Virginia.
Meskipun sulit bagi pemberi kerja untuk mengetahui apakah seorang karyawan melakukan 'code switching' atau tidak, Virginia mengatakan mereka perlu menyadari jika hal ini terjadi, kemudian bisa mengambil langkah untuk memastikan para pekerjanya tidak mengecualikan orang dari kategori tertentu untuk mendapat peluang kerja.
"Apa yang kami dorong kepada pemberi kerja adalah untuk benar-benar melakukan audit rasial untuk melihat beberapa hambatan yang mungkin ada, katakanlah dalam sistem perekrutannya, atau dalam sistem promosinya, atau dalam sistem memberikan penghargaan dalam organisasinya," katanya.
Ia juga mengatakan bahwa tempat kerja sudah menerapkan kebijakan untuk mencapai keragaman gender yang lebih besar, tapi hanya menguntungkan perempuan berkulit putih atau Anglo-Celtic.
"Kelompok perempuan tertentu yang cenderung mendapat manfaat dari wacana [keragaman gender] itu... dan mereka cenderung berkulit putih, kelas menengah, heteroseksual, perempuan bertubuh sehat [bukan difabel], jadi perlu ada diskusi yang lebih luas," katanya.
Prototipe seorang pemimpin sering didefinisikan sebagai "karakteristik yang diasosiasikan secara normal dengan laki-laki kelas menengah kulit putih", dan hal ini juga perlu ditantang, dan mencari perempuan-perempuan dari beragam budaya untuk bisa menjadi mentor.
"Ini semua tentang siapa yang Anda kenal, di jaringan apa Anda berada, dengan siapa Anda bergaul di tempat kerja ... sehingga kemudian mengecualikan kelompok khusus yang kita lihat ini," katanya.
"Perlu ditanamkan dalam DNA organisasi itu sendiri, bahwa perempuan dari latar belakang ras yang terpinggirkan bisa memiliki akses ke hal-hal, seperti sponsor ... [seseorang untuk] mengadvokasi mengatasnamakan Anda untuk bisa mendapat promosi."
Artikel ini dirangkum dan diproduksi oleh Erwin Renaldi dari laporan ABC News
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pindah Pabrik, Toblerone Hilangkan Nuansa Swiss dari Kemasannya