Kisah Petani Cabai saat Harga Melonjak, Tajiirrr

Kamis, 12 Januari 2017 – 00:07 WIB
Alexander Mengeanak. Foto: Timek/JPNN.com

jpnn.com - Alexander Mengeanak, petani cabai asal desa Tesa Bela, Kecamatan Pantai Baru, Kabupaten Rote Ndao, NTT, kini meraup keuntungan ketika harga cabai melambung.

ISAK TOTU, Ba'a

BACA JUGA: YLKI Anggap Kenaikan Harga Cabai Fenomena Tak Rasional

Dalam sebuah diskusi ringan dengan Timor Express (Jawa Pos Group) di kediamannya di Pantai Baru, kemarin, Alexander mengisahkan, dia memulai usahanya pada tahun 1991.

"Sejak saat itu saya menekuni usaha bercocok tanam cabai merah. Awalnya bibit yang saya dapatkan cuma dari orang lain,"ujarnya.

BACA JUGA: Pasokan Cabai Mulai Lancar, Harga Turun

Baginya, bertani cabai tidak mudah. Butuh ketekunan dan kesabaran dikarenakan cabai mudah diserang hama dan harganya pun tidak stabil, sering pasang surut.

"Jadi kalau harga naik ya kita senang, tapi kalau harga turun, penghasilan kita pun ikut menurun," tambahnya.

BACA JUGA: Wow! Di Sini Cabai Dijual Murah

Alexander Mengeanak memiliki lahan cabai seluas 4 hektare, dan selama ini dia dibantu oleh 6 orang pekerja yang merupakan saudaranya.

Baginya, bertanam cabai hanyalah pekerjaan sampingan. Karena, mereka fokus dengan tanaman padi di sawah.

"Setelah padi dipanen baru kami menanam cabai di lahan tersebut. Jadi, cabai bukanlah tanaman andalan kami. Ini karena harganya yang tidak stabil. Jika ada hama dan harganya merosot, kami rugi,"ujarnya.

Namun kerugiannya selama ini, terbalasakan ketika harga cabai melambung tinggi seperti sekarang ini. Dia tidak bisa membayangkan, harga cabai tiba-tiba melonjak.

Rata-rata keuntungan yang diperolehnya sebulan mencapai Rp 80 juta. Namun jika turun, maka keuntungannya hanya berkisar Rp 20 juta saja.

Dia cerita, sering panen seminggu sekali. Saat harga melambung, sekali panen meraup Rp 20 juta. Jadi seminggu 20 x 4 = Rp 80 juta, keuntungan bersih. Kalau harganya turun bisa Rp 5 juta sekali panen. Jadi 5 x 4 = Rp 20 juta.

Dia lalu mengkalkulasikan, jika harganya terus melonjak, maka dalam satu musim, dia bisa memanen Rp 480 juta.

"Itu biasanya berlangsung enam bulan. Kalau harganya turun, saya hanya bisa dapat Rp 80 juta per musim saja," ungkap Alexander.

Ketika diajak berdiskusi lebih jauh mengenai apa pemanfaatan dari keuntungan yang diraupnya, dia menegaskan, "Saya memanfaatkannya untuk pendidikan anak-anak saya."

Alexander menikahi Matsaida Lusi pada tahun 1981, dan dari pernikahan itu lahirlah tiga orang putri. Ketiganya kini berhasil mengenyam pendidikan tinggi berkat bercocok tanam cabai yang ditekuninya.

Putri pertamanya bernama Naomi Mengeanak. Dia adalah magister Administrasi Publik tamatan Undana Kupang.

Putri keduanya Rut Mengeanak, juga magister Tehnik Informatika tamatan Unika Atmajaya Yogyakarta.

Sementara putri bungsunya Apriani Mengeanak mengenyam pendidikan S1 Tehnik Sipil di Unwira Kupang.

Diakui, masih banyak petani cabai yang membutuhkan sentuhan pemerintah. Karena itu dia meminta kepada pemerintah daerah agar memberikan perhatian berupa bantuan modal agar mereka pun bisa merasakan sukses yang dia rasakan.

Masyarakat masih butuh bantuan berupa pompa air dan traktor. "Saya juga meminta pemerintah agar tetap mengontrol harga cabai supaya stabil,"pungkasnya. (***/boy)

 

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Harga Cabai Tertinggi dalam 43 Tahun Terakhir


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler