Kisah Preman Tobat, Pernah Dilempar ke Laut, Lolos Operasi Petrus

Selasa, 12 Mei 2015 – 06:00 WIB
Ketua DPD Gaza Indonesia H Aas Dani Hasbuna (kiri) dalam sebuah acara bersama Sekda Kabupaten Tasikmalaya H Abdul Kodir (berkopiah). Foto : UJANG NANDAR / RADAR TASIKMALAYA/JPNN

jpnn.com - AAS Dani Hasbuna atau akrab Kang Aas sudah puluhan tahun nyemplung di dunia keras premanisme Tasik, Bandung, Sumatera, Bali, dan wilayah lainnya di Indonesia.

Pria kelahiran Tasikmalaya 1958 itu sudah nongkrong di Terminal Gunung Pereng, Tasikmalaya sejak kelas dua SD, setelah meletusanya Gerakan 30 September atau terkenal G30 S/PKI,  karena ingin memperoleh banyak uang dan makanan yang enak.  

BACA JUGA: Ini Lowongan Kerja, Begitu Diterima Dikasih Rp 50 Juta, Dikuliahkan

Saat itu dia membayangkan menjadi sopir itu banyak duit.  "Makanya sejak itu saya mulai main-main ke terminal di Gunung Pereng," ungkapnya kepada Radar Tasikmalaya (Grup JPNN) saat ditemui di Rumah Sakit TMC, Kota Tasikmalaya kemarin.

Sejak saat itu, Aas mulai badung. Dia kerap tidur di terminal semalaman. Kerap bergaul di terminal, membuat Aas remaja sudah bisa mengendarai mobil.

BACA JUGA: Santri Tidur Lelap, Delapan Bilik Ludes Terbakar

Pergaulan terminal pun membuatnya berjiwa keras. Aas pernah pergi ke Pangandaran. Dia berjalan kaki dari Tasik ke kawasan pantai di selatan Jawa Barat itu. Jarak Tasik-Pangandaran 100 kilometer lebih.

Ia juga pernah naik di atas bus dari Padayungan menuju Jakarta. Tujuannya, Aas ingin menghadiri Jakarta Fair. "Saya ingat waktu itu ketika SMP tahun 70-an," ujar pria yang kini menjadi salah satu tokoh masyarakat Tasikmalaya ini.

BACA JUGA: Kemdagri Proses Pengaktifan Kembali Sekda Sumut

Karena sering main, pendidikan Aas terbengkalai. Ia pun berbeda paham dengan kedua orang tuanya. Ia pun kabur alias berkelana ke Bandung. Aas benar-benar hidup terlantar di Kota Kembang itu, karena tanpa membawa bekal apapun dari Tasik.

"Waktu itu saya langsung berpikiran untuk mendapatkan uang dan memilih untuk ikut dengan orang-orang dewasa. Kerja di Kebon Kalapa di Cicadas, Kosambi," katanya.

Setelah itu, ia pindah ke Jakarta. Tujuannya masih sama: berkelana. Kehidupan di Ibu Kota pun tidak mengubah apa-apa, bahkan ia mengalami masa-masa memungut makanan sisa orang lain.

Setelah tiga tahun hidup di Jakarta, Aas kembali ke Bandung. Dia meneruskan sekolah kesetaraan. Namun kehidupanya tetap brutal. Dia sering bertarung dan masuk geng. Hari-harinya dipakai diribut berebut wilayah dan jatah. "Kapasitas kita diukur dari bagaiman cara kita bertarung," ungkapnya.

Ia masuk ke dalam sebuah geng di Bandung, seperti di daerah Cicadas, Geger Kalong, Cimahi dan Setia Budi serta Buah Batu.

Aas kembali ke Jakarta sekitar tahun 1979. Ketika itu ia mulai bergaul dengan beberapa nama seperti Mat Calling, Edo Menpor dan Maman Rela. Dengan kelompok tersebut Aas pun memiliki grup bernama Prems.

Setelah itu Aas mulai bermain ke daerah Pantura. Di sana ia dan teman-temannya bertarung habis-habisan memperebutkan jatah jalur angkutan dengan preman setempat. Dia masih mengingat ketika gengnya bertarung dengan sebuah geng asal Pantura.

Ketika itu mereka bertarung menggunakan golok dan dan batu."Saat itu kami kalah. Golok saya sudah jatuh, kemudian mata kiri saya dihantam menggunakan batu hingga bagian kulit kelopak sobek," kenangnya.

Ia bersama teman-temanya pun kabur ke kebun jati di Cikampek. Di sanalah ia merasakan kepedihan yang luar biasa karena saat terluka tidak mendapatkan pertolongan medis. Aas dan kelompoknya menginap di hutan tersebut selama tiga hari. Teman-temanya terpaksa menggunakan air kencing untuk membersihkan luka Aas.

Saling bacok dan saling tebas di Pantura menjadi santapan sehari hari Aas di kurun waktu 1980-an. Namun dia tak pernah mengalami luka serius saat berhadapan dengan anggota geng lainya.

Aas pernah lima kali ditangkap aparat. Dia pun pernah diceburkan ke laut ketika akan menyebrang ke Palembang."Kena razia waktu itu, temen saya ada yang didor kakinya, tapi saya langsung diceburin ke laut dari atas kapal Feri," ujarnya.

Ketika dilempar ke laut, Aas langsung tak sadarkan diri. Ia terapung di lautan. Beruntung seorang nelayan berhasil menyelamatkannya.

Lantas dia gabung  teman-teman barunya asal Pulau Sumatera. "Makanya saya ikut geng bajak laut," jelasnya.

Sepak terjangnya mulai dikenal di kalangan preman. Namun sebagai manusia, dia ingin berubah. Dia sudah capek dan jenuh dengan apa yang digelutinya saat itu. Aas pun memutuskan pulang ke Tasikmalaya pada tahun 1983 atau tepatnya setelah Gunung Galunggung meletus.

Namun ketika pulang, Aas mendapatkan kejutan. Dia ditangkap aparat. Bahkan Aas masuk dalam target Operasi Petrus (Penembakan Misterius). Namun akhirnya ia pun dibebaskan karena tidak ada bukti yang kuat keterlibatanya dalam dunia preman.

"Seminggu saya ditahan. Namun pas malam Jumat saya ingat waktu itu, langsung dilepaskan," kenangnya.

Setelah kejadian tersebut, ia pun berikrar berhenti dari dunia premanitas. Apalagi Aas juga melihat kedua orang tuanya mendambakannya menjadi orang baik dan sukses. "Saya udah capek," ujarnya.

Pada tahun 1987, Aas menikah. Kini dia memiliki tujuh anak. Ia menjadi sopir hingga tahun 1996 tepatnya sebelum krisis moneter mencuat. Tepat pada kerusuhan tahun 1996 Tasikmalaya sangat tidak kondusif, preman-preman merajalela dan kekerasan ada di mana-mana.

Sejak saat itu Aas didesak para ulama untuk menyatukan para preman agar tidak ribut dengan para santri. "Sejak saat itu berdirlah LSM GAZA (Gabungan Anak Jalanan)," ungkapnya.

Sejak saat itu GAZA memberdayakan anak-anak jalanan untuk bersekolah walaupun harus belajar di bawah kolong jembatan."Saya juga ada CSR (Corporate Social Responsibility) sedikit-sedikit," Aas yang kini memiliki beberapa usaha.  (den/sam/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sudah Punya e-KTP, WNA Tetap Terancam Deportasi


Redaktur : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler