Kisah Spiritual: Menjaga Hakikat Roh

Oleh: Prof Dr H Ishomuddin MSi

Selasa, 29 Mei 2018 – 12:15 WIB
Prof Dr H Ishomuddin MSi

jpnn.com, MALANG - Minggu pertama di bulan Ramadan tahun 2018 ini terasa berbeda daripada minggu pertama tahun 2017 lalu. Untuk kepentingan misi akademik minggu pertama bulan Ramadan tahun lalu, saya berada di Vietnam. Vietnam merupakan negara komunis sehingga tidak terasa getaran indahnya bulan suci Ramadan.

Saya betul-betul merasa kehilangan satu minggu momentum bulan yang hadirnya ditunggu-tunggu oleh setiap muslim. Saya betul-betul sedih tidak mendapatkan suasana Ramadan yang sangat membahagiakan.

BACA JUGA: Kisah Spiritual: Merasa Berutang sebelum Ziarah Kubur

Nampaknya ”kenikmatan” Ramadan tidak dapat dirasakan tanpa didukung suasana kehidupan islami masyarakat yang menyambutnya. Perjumpaan ”spiritual” Ramadan baru terasa ketika memasuki minggu kedua, setelah saya transit di Kuala Lumpur, Malaysia, dalam perjalanan menuju Surabaya.

Bagi kebanyakan umat Islam, Ramadan adalah bulan yang penuh dengan keistimewaan. Biasanya disebut dengan bulan suci, bulan Mubarak, bulan Nuzul Quran, dan sebagainya. Secara tekstual kesan yang diperkenalkan Alquran dan hadis dengan istilah-istilah tersebut telah menggiring kita umat Islam mendudukkan diri berbeda dibanding bulan-bulan biasa selain Ramadan. Dari dimensi waktu, bulan Ramadan adalah fardu zaman.

BACA JUGA: Kisah Spiritual: Hidup Penuh Misteri

Mengapa disebut fardu zaman? Sebab, satu tahun satu zaman, diwajibkan berpuasa. Puasa itu bulan umatnya Muhammad, ”Rajabu syahrullah, wa sya’bani syahri, wa ramadhana syahru ummati” Nyatalah bahwa bulan Ramadan bulannya yang puasa, bukan bulannya bulan pembukaan.

Bukan bulannya bulan ketinggian, dan bukan bulannya bulan mulia. Akan tetapi orang-orang yang berpuasa mengikuti syariat Nabi Muhammad SAW. Itulah yang dibakar hawa nafsunya. Maka, bersihlah-sucilah hatinya. Mereka itulah yang mulia. Mereka itulah yang ditinggikan oleh Allah SWT.

BACA JUGA: Kisah Spiritual: Bertindak Lokal, Berpikir Global

”Dia yang menjadikan kamu, di antara kamu (bukan di antara kamu-kamu, tetapi di dalam diri kamu masing-masing), ada yang kafir dan ada yang mukmin. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (QS. 64 ayat 2).

Dengan berbagai fasilitas yang diberikan oleh Allah pada bulan Ramadan, maka setiap kita berusaha menyatukan dua dimensi. Antara fisik dan nonfisik, antara jasmani dan rohani.

Menyatunya kedua hal tersebut dalam bulan Ramadan secara intensif melalui kegiatan-kegiatan seperti berpuasa, salat Tarawih, salat Tasbih, bersedekah, berinfak, dan berzakat dapat mengembalikan jati diri manusia sebagai makhluk yang diciptakan dari dua unsur. Yakni, roh dan jasmani.

Mengendalikan dan mempertahankan diri dalam kesucian roh dari Allah yang ”mukmin” terhadap serangan-serangan hawa nafsu dan perbuatan yang tidak baik yang datangnya dari setan, harus selalu dilakukan.

Hakikat manusia adalah perpaduan antara roh dan jasmani. ”Aku sempurnakan kejadian manusia, Aku tiupkan roh, Aku berikan pendengaran, penglihatan, dan hati. Namun sedikit sekali manusia berterima kasih (QS. 23 ayat 9).

Dengan demikian, dapatlah kita mengerti dan memahami, yang merasakan mati itu datang dari Allah dan akan kembali kepada Allah, itulah rohaniahnya. Rohaniah itu kembali kepada Allah, maka yang tinggal itu adalah jasmaniah. Dikatakan ”jasmaniah” bila masih ada empat roh yang (Roh Raihan, Rahmani, Jasmani, dan Idafi).

Apabila tidak ada keempat roh tersebut, disebut ”jasad(iyah)”. Dikatakan Rohaniah, bila manusia masih memiliki rohaniah. Bila rohaniah itu sudah tiada, maka disebut ”wa inna ilaihi rajiun”. Pada kondisi itulah, kita dapat mengenai salat jenazah.

Pada masa kecil saya, atau umumnya anak-anak sebaya dengan saya, kehadiran bulan Ramadan yang ditunggu-tunggu lepas dari pikiran pemenuhan kebutuhan rohaniah. Kegembiraan memasuki Ramandan adalah menunggu hadirnya hari raya dengan pakaian serbabaru, berkumpulnya semua anggota keluarga, berekreasi bersama keluarga, dan lain sebagainya. Itulah kesenangan yang lebih berdimensi jasmani.

Hadis yang dirawikan oleh Jalaluddin as-Suyuthi dalam Kitab Tibb menyebutkan ”Allah menciptakan manusia dari empat unsur yaitu: Angin, air, tanah, dan api. Empat anasir inilah yang disebut roh dari Tuhan. Jadi, Allah menjadikan manusia dari empat anasir: Angin, air, tanah, api (Roh Raihan, Rahmani, Jasmani, dan Idafi).

Keempat roh ini disebut jiwa. Jadi, yang mati itu jiwa, yang merasai mati rohaniah pada kita. Roh punya rasa atau nikmat atau zat. Karena itulah dia dapat merasakan ada yang mati, ketika dia harus kembali kepada Allah.

Mengapa roh yang terdapat dalam diri manusia itu harus dijaga? Karena roh yang sudah menyertai jasmani bersifat terbatas dan dapat tergoda oleh perbuatan setan. Sifat manusia jika merujuk pada unsur angin adalah angin (raihan) itu pantang kelintasan.

Menggambarkan sifat manusia yang ingin menembus segala sesuatu (mendapatkannya) meski dengan cara-cara apa pun.

Unsur kedua, air (rahmani) pantang kerendahan. Yaitu, sifat manusia yang ingin terus tinggi (kedudukan, status, kekayaan, dan sebagainya). Unsur ketiga adalah tanah (jasmani) pantang membatasi.

Sifat ini adalah manusia ingin selalu mendapatkan segala-galanya dalam hidup ini. Dan unsur keempat adalah api, pantang mengalah. Sifat manusia selalu ingin menang. Cara mengendalikan unsur yang empat dari roh tersebut adalah selalu mengingat Allah (salat) setiap saat dan sembahyang lima waktu.

Dengan demikian, setelah disempurnakan kejadian manusia dengan meniupkan roh, barulah manusia menyadari bahwa sifat-sifat yang telah diterangkan di atas, terasa adanya (a’in atau nyata). Oleh karena itulah, manusia tidak akan pernah memperoleh pengetahuan, guna mengetahui dan menyelesaikan perilaku manusia dengan berbagai sifat di atas. (***)


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler