Kisah Spiritual: Ikhlas Pasti Berbuah Positif

Oleh: Prof Dr H Agus Sholahuddin MS

Kamis, 21 Juni 2018 – 18:05 WIB
Prof Dr H Agus Sholahuddin MS. Foto for Radar Malang/JPNN.com

jpnn.com, MALANG - Bulan Ramadan merupakan bulan yang dinanti. Sejatinya umat muslim merugi jika tak melaksanakan ibadah puasa.

Di samping puasa memang salah satu perintah Allah SWT yang tertuang pada surat Al Baqarah ayat 183, puasa sesungguhnya juga memberikan manfaat yang baik bagi tubuh. Kalau kita yakin, tentu banyak hikmah yang akan kita peroleh.

BACA JUGA: Kisah Spiritual: La Tansa, Cucu

Dalam sebuah hadis Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa puasa adalah sebuah perisai. Ini tentunya menjadi hal luar biasa, untuk tameng sekaligus penyelamat.

Sebenarnya puasa adalah ibadah yang membuat nikmat manusia. Membuat nyaman, sehat, enak, dan sebagainya.

BACA JUGA: Kisah Spiritual: Abu Nawas dan Ceramah Abdul Somad

Syaratnya adalah bagaimana kita menerima perintah tersebut dengan tulus, ikhlas, pasrah berdasar kesadaran dari diri kita. Insya Allah kita bisa nyaman, nikmat, dan asyik. Sebab, kita benar-benar menikmati itu dengan tulus.

Seseorang yang hatinya ikhlas, tulus, dan pasrah maka akan otomatis keluar sebuah harmoni yang positif. Hal ini memang sudah disetel Yang Maha Kuasa.

BACA JUGA: Hikmah Ramadan: Istikamah Belajar Ikhlas

Jika Allah menyebutnya dengan rahmat, pada ilmu kedokteran, hal ini disebut hormon endorphin. Hormon ini adalah zat yang membuat perasaan tenang, ceria, semangat, serta optimistis. Jika dibandingkan dengan morfin, endorphin ini jauh lebih kuat. Itulah yang bisa membuat ibadah kita lebih khusyuk.

Sebenarnya mulai pagi hingga sore, manusia itu doyan makan. Namun jika kita menikmati Ramadan, tentu kita akan diberi kekuatan dan melewatinya dengan cepat hingga kita seakan merasa kehilangan bahwa Ramadan telah terlewat.

Tak perlu menunggu waktu Magrib, azan Magrib berkumandang. Ramadan baru dimulai, ternyata sudah Ramadan malam ke-23. Barang siapa yang merasakan ini, maka dia sesungguhnya sudah sempurna.

Puasa harus dilakukan tanpa terpaksa. Awalnya itu harus dari hati terlebih dahulu. Di mana kuncinya adalah tulus ikhlas. Allah melalui surat Ibrahim ayat 7 berfirman,

”Jika kalian bersyukur pasti akan Aku tambah nikmatKu padamu.”

Ketika perang Badar berlangsung, ketika itu umat muslim sedang puasa Ramadan. Namun, ketika itu umat muslim justru menang. Hal itu tercipta karena semangat.

Namun, jika seseorang melakukan itu karena tekanan dari saudara, orang tua, maupun mertua, tentu ibadah puasa bakal terasa berat. Jika dalam ilmu kedokteran, hal ini akan memicu hormon cortisol.

Ini merupakan hormon kesengsaraan, orang yang mengeluh, terpaksa, sambatan, banyak membandingkan adalah merupakan penyakit hati. Penyakit hati ini nantinya bisa merembet ke penyakit fisik, di mana akan membuat sengsara jasmani dan spiritual.

Jika sudah seperti ini, artinya perisai atau tameng tersebut sudah jebol. Hidup ini hanya sebentar, jangan dibuat sengsara, kesusahan, dan ratapan.

Kehidupan ini biar indah. Karena itu, dalam 10 hari terakhir ini, marilah kita berusaha bangun di malam hari, beribadah, melakukan salat malam, dan memanjatkan doa-doa, mungkin hingga meneteskan air mata dari perasaan yang tulus ikhlas.

Prof Dr H Agus Sholahuddin MS
Ketua Program Studi S-3 Ilmu Sosial Universitas Merdeka (Unmer) Malang

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kisah Spiritual: Yang Rindu dan Dirindukan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler