Kisah Spiritual: La Tansa, Cucu

Oleh: Prof Dr Samsul Wahidin

Rabu, 13 Juni 2018 – 20:40 WIB
Prof Dr Samsul Wahidin. Foto For Radar Malang/JPNN.com

jpnn.com, MALANG - Biasanya istilah la tansa (bahasa Arab) itu digunakan untuk memberi nama kedai, tempat fotokopi, atau yang lain. Pokoknya tempat usaha. Dalam Alquran, la tansa itu artinya adalah jangan lupa. Atau jangan melupakan (terhadap urusan tertentu), khususnya urusan dunia.

Urusan dunia kualifikasinya adalah la tansa atau jangan lupa. Ibarat dititipi sesuatu ketika belanja ke pasar, maka kualifikasi titipan itu juga la tansa.

BACA JUGA: Kisah Spiritual: Abu Nawas dan Ceramah Abdul Somad

Jadi, kalau benar-benar tansa (lupa) maka tidak jadi masalah, karena itu bukan urusan pokok.

Demikian dunia yang kita tempati ibaratnya hanya beberapa kejap ini, sifatnya juga la tansa dibandingkan dengan akhirat yang kekal. Jadi, urusan pokoknya adalah akhirat, sementara kalau dunia hanya la tansa: Jangan lupa.

BACA JUGA: Hikmah Ramadan: Istikamah Belajar Ikhlas

Cucu pertama saya perempuan sudah kelas I SD. Dari luar pulau, kedua orang tuanya tugas di Malang, makanya dia ikut bergabung di rumah.

Sungguh sebuah kebahagiaan yang tidak bisa diukur, mengingat selama ini rumah hanya berdua yang menempati. Sekarang jadi ramai, seolah terbayar rasa rindu selama berada di luar pulau.

BACA JUGA: Kisah Spiritual: Yang Rindu dan Dirindukan

Meskipun masih kelas satu di Arrohmah, dia sudah diajari berpuasa. Motivasi terkuat datang dari gurunya dan tentu saja dari ibu dan bapaknya.

Setiap sahur dia dibangunkan dan sampai hari ke sepuluh, masih terlihat ogah-ogahan.

Namun, akhirnya dengan iming-iming sangu dan mainan, serta akan diajak rekreasi dia mau makan sahur. Tentu saja terkadang dengan bercucuran air mata karena setengah dipaksa.

Dari hari ke sepuluh sampai kedua puluh tampaknya sudah mulai biasa. Saya amati, memang godaannya berat, pada tengah hari sering merengek minta berbuka, kemudian puasanya nyambung hingga Magrib.

Tetapi dengan bujuk rayu atau iming-iming tadi ternyata berlangsung puasanya sampai Magrib. Tanpa bolong.

Saya jadi teringat masa kecil dulu, seusia cucu saya itu. Oleh karena di desa, sahurnya apa yang ada. Kadang hanya ketela, atau nasi sedikit dengan lauk seadanya. Tetapi senantiasa ditekadkan oleh orang tua yang sudah almarhum, bahwa puasa itu harus dilatih, bahkan setengah dipaksa.

Kata orang tua, yang saya ingat dan kemudian saya tularkan kepada cucu adalah bahwa di dalam belajar berpuasa itu senantiasa penuh godaan. Itulah sebabnya dia masuk rukun Islam ketiga.

Artinya memang berat. Namun demikian, jika tidak dipelajari mulai dini, tentu akan berat terus dan pada akhirnya akan menganggap remeh pelaksanaan puasa.

Saya ingat betul untuk memulai memuaskan anak seusia cucu ini memang berat. Orang tua harus telaten. Benar-benar sabar dan telaten untuk membimbing putra-putrinya.

Kalau tidak, maka akan mengawali puasanya menjadi sulit. Untuk bertanggung jawab terhadap diri sendiri agar berpuasa secara konsisten tidak mudah.

Oleh karena itu la tansa. Jangan lupa memulai memuasakan anak-anak sedini mungkin. Di dalam prosesnya kadang akan muncul berbagai godaan seperti keinginan untuk berbuka di tengah hari, kepingin mokel dengan berbagai alasan, dan lain-lain.

Namun, hal itu bisa dicegah dengan berbagai hiburan yang tidak menjurus kepada keinginan untuk makan atau memecah puasanya.

Jadi, mendidik anak-anak untuk berpuasa merupakan kewajiban dan untuk itu la tansa, jangan lupa. Jangan dianggap tidak penting untuk memberikan pelajaran dengan melaksanakan puasa.

Insya Allah jika puasa dikonsistensikan kepada anak-anak sejak dini pasti membekas dalam jiwanya. Pastikan mereka menjadi generasi yang cerdas di kemudian hari jika masih dini sudah berpuasa. (***)

 

Prof Dr Samsul Wahidin
Guru besar Universitas Merdeka (Unmer) Malang

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kisah Spiritual: 1 Syawal tanpa Sandal


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler