jpnn.com, MALANG - Dalam beberapa hari lagi, bulan Ramadan akan beranjak pergi meninggalkan kita. Sungguh bulan yang sangat mulia, yang untuk menyambutnya, Rasulullah mengajarkan kita mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya melalui doa,
”Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban; dan jumpakanlah kami dengan bulan Ramadan.”
BACA JUGA: Kisah Spiritual: Berguru Kepada Pak Mat
Ramadan mengajari kita untuk istikamah belajar ikhlas, pasrah, dan menjadikan Allah satu-satunya alasan ketaatan. Pelajaran ikhlas dari bulan Ramadan secara jelas berangkat dari firman Allah bahwa setiap amalan kebaikan anak Adam dapat dilipatgandakan dan akan kembali kepadanya,
”Kecuali puasa, karena sesungguhnya ia adalah milik-Ku dan Aku yang akan mengganjarnya karena ia telah meninggalkan syahwat dan makanannya karena Aku” (HR Bukhari dan Muslim).
BACA JUGA: Puasa dan Pendidikan Keluarga
Sudah lazim dibahas bahwa puasa adalah rahasia antara seorang hamba dengan Rabb-nya, karena berpuasa dapat diibaratkan bagai berada dalam tempat kosong yang sunyi, yang memungkinkan seorang hamba melakukan hal yang membatalkan puasanya.
Tetapi secara ikhlas dia meninggalkan yang membatalkan itu semata-mata karena ketaatan pada Rabb-nya tanpa diketahui manusia lain.
BACA JUGA: Menahan Diri dari Nafsu Melukai
Walau merupakan ibadah rahasia, kebersamaan dalam beribadah dan hadiah pahala yang berlimpah selama bulan Ramadan membuat amalan ibadah untuk meningkatkan kualitas hubungan manusia dengan Khalik dan sesama manusia terasa lebih ”mudah” dilakukan.
Prof A. Effendi Kadarisman (Jawa Pos, Radar Malang, 3 Juni 2018), merasakan bahwa selama Ramadan, serasa ada arahan indah dari langit, karena frekuensi amalan saleh cenderung meningkat, baik itu berupa salat berjamaah, tadarus, maupun sedekah. Bagaimana dengan bulan-bulan di luar Ramadan?
Dengan kata lain, tugas berat yang ada di hadapan saya pasca Ramadan adalah menjaga keistikamahan ibadah di luar bulan mulia ini. Inilah intisari pelajaran puasa Ramadan yang saya rasakan secara pribadi.
Menjaga keikhlasan dan kepasrahan yang total kepada Illahi bukanlah hal yang mudah. Terutama karena secara sunnatullah kita memiliki kalbu yang sering berbolak-balik. Pada keadaan tertentu berbuat ikhlas dan pasrah terasa mudah, sedang pada keadaan yang lain terasa berat sekali.
Selain itu, kondisi dan situasi tempat kita bekerja dan berinteraksi sehari-hari tidak jarang menyeret kita pada keadaan terlalu bergantung pada logika dan hitungan matematika dunia.
Sebagai contoh, pada suatu masa di tahun 2000-an di ujung bulan, atau di ”tanggal tua”, kita para PNS biasa menyebutnya, suami saya berpesan sebelum saya berangkat ke UM, ”Dik, nanti kalau dapat rezeki, tolong beli makanan untuk pak satpam ya.”
Kontan saya menjawab, ”Lha kan PNS sudah jelas, gajiannya nanti tanggal 1.” Bagaimana mungkin dalam kondisi tanggal tua saya diajak ikhlas beramal? Logika nalar saya sulit membayangkan turunnya rezeki berupa ”uang cash” di tanggal tua seperti itu.
Namun, suami mengingatkan untuk pasrah dan ikhlas. ”Kan kalau dapat rezeki. Mau dapat rezeki apa tidak?”.
Karena sehari-hari saya mengajar di Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, bahasa yang menurut ahli retorika Robert Kaplan memiliki logika lurus, straightforward, rasanya mustahil hari itu saya akan dapat cash (astaghfirullah, saya lupa dengan janji Allah bahwa selalu ada ”rezeki dari pintu yang tidak engkau sangka-sangka”).
Dan ternyata sesampainya di kampus Universitas Negeri Malang (UM), belum sempat saya masuk ke kantor saya, tanpa diduga dan dinyana, ada kolega dari jurusan lain yang memanggil saya untuk mampir ke kantor beliau dan menyampaikan amplop berisi uang sebagai bentuk penghargaan atas jerih payah saya membantu jurusan beliau pada saat mengalihbahasakan usulan hibah dua tahun sebelumnya.
Subhanallah! Kurang dari sejam saya menggunakan hitungan logika matematika, Allah membuktikan firman-Nya, ”Aku bergantung pada prasangka hamba-Ku.”
Belajar menjaga rasa ikhlas dan pasrah secara istikamah dapat diasah melalui perasaan rendah dan hina di hadapan Allah, ”Ya Allah jadikan kami melihat diri kami ini kecil di hadapan Engkau.”
Berlatih di bulan Ramadan, dan meneruskan di bulan-bulan yang lain. Dengan cara pandang seperti ini, maka hal-hal yang bersifat duniawi seperti harta, pangkat, dan jabatan tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kebesaran Allah yang Maha Memiliki.
Mampukah saya secara ikhlas melakukan investasi akhirat lebih banyak dari investasi dunia?
Mampukah saya memasrahkan masa depan pada Allah yang Maha Kaya, bukan pada penumpukan deposito yang membuat berbuat amal menjadi sangat kalkulatif?
Beranikah saya pasrah kepada Illahi jika terpaksa harus berutang untuk ”mengejar momen” sedekah dan jariah dengan keyakinan yang total bahwa Gusti Allah yang akan ”membayar dan melunasinya”?
Ah, rasanya keikhlasan dan kepasrahan juga merupakan karunia Allah; maka yang perlu saya lakukan adalah secara istikamah mengawalnya dengan banyak berdoa,
”Ya Allah, jadikanlah seluruh amalanku hanya karena ikhlas mengharap wajahmu.”
Bimbinglah hamba untuk ikhlas dan pasrah jika harus menghadapi kesenjangan antara harapan sebagai keinginan manusiawi dengan kenyataan sebagai ketetapan-Mu pada saat menjalani kehidupan dalam berbagai peran.
Sebagai anak yang menghadapi orang tua, sebagai istri dan ibu yang menghadapi keluarga kecil, sebagai bagian dari keluarga besar, atau sebagai dosen yang sehari-hari harus menghadapi mahasiswa baik S-1, S-2, maupun S-3, dengan berbagai dinamikanya.
Bimbinglah hamba selama sebelas bulan ke depan, sampai bertemu lagi dengan Bulan Yang Memudahkan ini. Laa haula wala quwwata illa billah. (c2/abm)
Prof Dr Utami Widiati
Guru Besar Bahasa Inggris Universitas Negeri Malang (UM)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ramadan Proses Recharger Spiritualitas
Redaktur : Tim Redaksi