jpnn.com - Kalau tidak ada Susi Pudjiastuti, mungkin Bupati Wakatobi Hugua sudah menjadi menteri kelautan dan perikanan. Dari tangan dingin pria asal Pulau Tomia inilah, Wakatobi menjadi sangat terkenal di dunia.
Semua dimulai dari bandara. Sebelum ada bandara, kabupaten hasil pemekaran dari Buton sejak 18 Desember 2003 itu begitu terpencil. Begitu dilantik sebagai bupati pertama pada 2006 (terpilih dalam Pilkada 2005), yang terlintas dalam pikiran Hugua adalah membangun bandara. Kalau ada bandara, akses menuju Wakatobi terbuka.
BACA JUGA: Traveling and Teaching: Lebih Mudah Persentasi di Depan Klien
Tidak mudah mewujudkannya. Hugua harus menghadapi 143 kali unjuk rasa. ”Bandara itu ibarat pintu depan. Kalau pelabuhan pintu belakang. Bagaimana mau menerima tamu kalau tidak punya pintu depan,” kata Hugua saat diwawancarai Jawa Pos November 2014 di Patuno Resort, Pulau Wangi-Wangi.
Bandara Matohara dibangun pada 2007 dan beroperasi mulai 2009. Pesawat pertama yang mendarat adalah Susi Air. Setelah itu, barulah Wing Air yang memiliki rute tetap dari Kendari. Untuk 2–3 tahun pertama, Pemkab Wakatobi harus menyubsidi maskapai yang mau mendaratkan pesawatnya ke kabupaten yang wilayahnya lebih banyak lautan daripada daratan itu.
BACA JUGA: Traveling and Teaching: Siswa Berpakaian Hitam, Siswi Kenakan Kebaya
Dengan dibukanya bandara, Hugua lebih mudah ”menjual” wisata Wakatobi ke luar negeri. Dia sangat rajin mengikuti pameran dan mempromosikan wisata di berbagai negara. Potensi wisata Wakatobi memang pantas untuk dijual. Bisa dibilang inilah surga para diver.
Empat pulau utama, yakni Wangi–Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko, memiliki pantai yang indah dengan pasir putih serta air yang jernih dan tenang. Ada banyak spot menyelam di Wakatobi. Para penyelam dijanjikan melihat 942 jenis ikan dan 750 jenis coral di antara 850 jenis yang ada di bumi. Bandingkan dengan Caribien, Amerika Latin, yang hanya memiliki 50 jenis coral atau Laut Merah, Mesir, yang hanya punya 300 jenis coral.
BACA JUGA: Diplomat Jepang yang Cantik Itu Bermarga Marpaung
Tidak hanya keindahan laut, Wakatobi juga menjadi pusat suku Bajo, suku yang tinggal di atas laut. Wisatawan bisa tinggal di perkampungan Bajo untuk merasakan kehidupan mereka.
Dalam tujuh tahun, jumlah wisatawan di Wakatobi melonjak. Kalau pada 2007 hanya 1.500 orang per tahun, pada 2014 jumlahnya mencapai 15 ribu orang. Rencananya, Januari 2015, Garuda membuka rute baru dari Denpasar. Tentu itu mendatangkan lebih banyak wisatawan ke Wakatobi.
Ada satu program yang sangat sukses, yakni Sail Wakatobi–Belitong pada 2011. Kegiatan wisata bahari Juli–Agustus 2011 tersebut ternyata mendatangkan investasi yang sangat besar. ”Nilainya mencapai Rp 1,6 triliun. Saya tidak menyangka,” kata suami Ratna Sari Lada itu.
Untuk menjaga aset wisata di Wakatobi, bupati kelahiran Tomia, 31 Desember 1961, tersebut mengundang lembaga-lembaga internasional agar melakukan penelitian dan perlindungan bagi biosfer di Wakatobi. Hasilnya, taman nasional laut Wakatobi diakui UNESCO sebagai cagar biosfer dunia.
Hugua juga mengumpulkan para nelayan di Wakatobi dan membuat perjanjian zona penangkapan ikan. Itu dilakukan untuk melindungi ikan-ikan langka seperti Napoleon. Agar kebijakannya mulus, Hugua selalu melibatkan tokoh adat. Bahkan, tokoh suku Bajo pun dijadikan pejabat di pemkab.
”Saya selalu berusaha menyatukan tokoh adat dengan pemerintah. Itu saya rasa kunci keberhasilan pemerintahan,” ujar ayah Ayu Berliner Hugua, Deden Sydney Hugua, dan Aira Dublin Hugua itu.
Saat ini ada dua proyek besar yang menunggu untuk diresmikan Presiden Joko Widodo. Dua proyek tersebut adalah PLTU dan International School for Marine and Protected Area Management. Sekolah itu direncanakan untuk jenjang S-1, S-2, dan S-3.
”Pada periode pertama program saya menjadikan Wakatobi sebagai pusat segi tiga karang dunia. Itu sudah berhasil. Pada periode kedua saya ingin jadikan Wakatobi sebagai pusat peradaban. Sekolah internasional kelautan salah satunya,” kata alumnus Universitas Halu Oleo Kendari itu. (c7/tom)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Lucu Dengar Orang Indonesia Ketawa di Bioskop, di Jepang Bagaimana?
Redaktur : Tim Redaksi