Traveling and Teaching: Lebih Mudah Persentasi di Depan Klien

Kamis, 05 Februari 2015 – 01:17 WIB
Traveling and Teaching: Lebih Mudah Persentasi di Depan Klien. Foto Zalzilatul Hikmia/Jawa Pos/JPNN.com

Awalnya, pertemuan guru dari kota dengan para siswa dari desa terpencil itu terlihat kaku. Para siswa hanya diam, sedangkan si guru juga sulit mencairkan suasana. Misalnya, yang dialami Christian Adi Nugraha yang mengajar kelas 4. [Lihat:Traveling and Teaching: Siswa Berpakaian Hitam, Siswi Kenakan Kebaya]

Ian –sapaan Christian– yang sehari-hari bekerja di sebuah bank swasta tidak bisa menyembunyikan kegugupannya. Maklum, baru kali itu dia berdiri di depan kelas sebagai guru anak-anak SD.

BACA JUGA: Traveling and Teaching: Siswa Berpakaian Hitam, Siswi Kenakan Kebaya

’’Ayo dong, semangat,’’ ujar pemuda 23 tahun tersebut mengajak murid-muridnya agar suasana mencair.

Ian menyatakan, lebih sulit mengajar murid SD daripada presentasi di depan klien. ’’Tapi, setelah anak-anak terlihat tersenyum dan semangat, rasa canggung gue langsung hilang. Gue juga jadi lancar mengajar,’’ ungkapnya.

BACA JUGA: Diplomat Jepang yang Cantik Itu Bermarga Marpaung

Hal yang sama dirasakan Prani Pramudita, 31. PNS di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu pun menyatakan deg-degan sebelum bertugas. Pengalamannya mengunjungi sekolah-sekolah di berbagai pelosok Indonesia bersama Mendikbud diakui jauh berbeda dengan pengalaman mengajar di SD tersebut.

’’Biasanya paling ngajari guru atau sosialisasi ke dinas kalau ada program baru. Kalau ini kan langsung bersentuhan dengan para siswa. Rasanya luar biasa. Ini pengalaman yang menyenangkan,’’ urainya.

BACA JUGA: Lucu Dengar Orang Indonesia Ketawa di Bioskop, di Jepang Bagaimana?

Lain halnya dengan pengalaman Rika dalam mengikuti program traveling and teaching Komunitas 1000_Guru. Perempuan berkerudung itu tampil percaya diri saat mengajar siswa kelas 7 (kelas 1 SMP).

Maklum, dia memang guru di salah satu sekolah internasional di Jakarta Selatan. Dia juga pernah dua kali mengikuti program tersebut. Dia kerap menjadikan pengalamannya sebagai bahan ajar untuk murid-muridnya.

’’Kebetulan, saya senang bertemu anak-anak. Apalagi mereka masih lugu-lugu, polos,’’ ujarnya.

Belajar-mengajar pagi itu diakhiri dengan pembuatan pohon impian. Para siswa diminta menulis impian-impiannya, kemudian ditempelkan di gambar pohon yang telah dibuat. Tim pengajar berharap impian anak-anak itu akan terus dibaca dan menjadi motivasi untuk meraih impian.

’’Nanti kita tempel di dinding di kelas untuk hiasan. Mudah-mudahan anak-anak mau membacanya setiap waktu biar jadi motivasi untuk meraih cita-cita mereka,’’ ujar Rika.

Menurut Koordinator 1000_Guru Jemi Ngadiono, program traveling and teaching itu sebenarnya merupakan aksi ’’balas dendam’’ dirinya yang kurang beruntung saat sekolah. Dia kemudian berpikir untuk menciptakan cara belajar yang berbeda. Yakni, menyerap ilmu dari siapa pun. Dia percaya, setiap orang memiliki pengalaman atau ilmu yang bisa ditularkan kepada orang lain. Dari situlah dia kemudian mendirikan Komunitas 1000_Guru pada 22 Agustus 2002.

Pria kelahiran Lampung, 30 tahun lalu, tersebut memang tidak seberuntung teman-temannya yang lain. Orang tuanya yang hanya petani kecil membuat Jemi mengalami kesulitan saat bersekolah. Dia sering menjadi objek tertawaan teman-temannya ketika SD. Misalnya, lantaran tidak punya sepatu yang layak, dia ke sekolah memakai sepatu sepak bola yang sudah jebol di bagian depannya. Tapi, Jemi cuek dan tetap bersemangat belajar.

’’Saya dari keluarga kurang mampu. Tak ada biaya. Padahal, saya punya empat saudara yang juga harus bersekolah,’’ kenang pria lulusan D-3 broadcasting tersebut.

Meski begitu, sejarah hidup itu tidak pernah dia sesali. Dia percaya, itu adalah jalan Tuhan yang mendorong dirinya untuk mendirikan Komunitas 1000_Guru sehingga bisa membuat kegiatan yang membantu murid-murid tidak mampu di pelosok.

’’Meski kecil, diharapkan memberi manfaat,’’ kata anak pasangan Jamari (almarhum) dan Suwarti itu.

Komunitas 1000_Guru telah menjelajah ke berbagai daerah di Indonesia. Mulai Lampung, Makassar, Jawa Barat, Gunungkidul (DIJ), hingga Nusa Tenggara Barat. Kegiatan mereka akan disesuaikan dengan lokasi yang didatangi.

’’Porsi aktivitasnya akan dibagi. Bila setelah disurvei ternyata tempat wisatanya sedikit, porsi ngajarnya 60 persen dan jalan-jalannya 40 persen. Begitu pula sebaliknya. Yang penting, peserta bisa menikmati dan mendapat pengalaman traveling yang berbeda,’’ ungkapnya. (ari/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kisah Ibu Tua Berupaya Sembuhkan Dua Putranya dari Jerat Narkoba


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler