jpnn.com - Pada 21 Mei 1998, Indonesia mengalami suksesi kepemimpinan nasional. Presiden Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun memutuskan lengser, lalu digantikan oleh BJ Habibie.
Awalnya pemilik nama lengkap Bacharuddin Jusuf Habibie itu menjadi wakil presiden pendamping Soeharto. Pada 11 Maret 1998, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melantik Soeharto dan BJ Habibie sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI periode 1998-2003.
BACA JUGA: Belasungkawa Xanana untuk Kepergian Habibie Sang Sahabat Sejati
Namun, reformasi memaksa Pak Harto turun dari kursi kepresidenan. Habibie yang baru menjadi wakil presiden selama dua bulan lebih beberapa hari langsung menjadi Presiden RI.
Sebelum menjadi wakil presiden, Habibie merupakan teknokrat. Tokoh kelahiran Parepare, Sulawesi Selatan, pada 25 Juni 1936 itu adalah sosok pilihan Presiden Soeharto untuk jabatan Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) RI sejak 1978 hingga 1998.
BACA JUGA: 20 Tahun Reformasi, Kang Hasan Puji Jasa BJ Habibie
Jauh sebelum menjadi teknokrat, Habibie telah dikenal sebagai sosok mentereng di Jerman. Lantas, mengapa sosok yang dikenal jenius itu mau pulang ke Indonesia?
Ada peran Ibnu Sutowo sebagai tokoh yang menemukan Habibie. Ibnu adalah direktur utama Pertamina periode 1968-1976.
BACA JUGA: Arifin Panigoro Meninggal Dunia, Moeldoko Kenang Perjuangan Almarhum Saat Soeharto Lengser
Dalam biografi Ibnu Sutowo berjudul Saatnya Saya Bercerita, tokoh militer cum pengusaha itu mengaku sebagai orang yang menemukan Habibie.
Ibnu mendengar nama Habibie dari dr. Sanger. “Waktu itu disebutkan ia (Habibie, red) bekerja pada Messerschmidt-Bolkow-Blohm di Hamburg,” tutur Ibnu dalam biografinya yang ditulis Ramadhan KH tersebut.
Menurut Ibnu, sebelumnya dirinya tidak pernah berjumpa dengan Habibie. Namun, Ibnu pernah mendengar kakek Habibie.
Orang tua Ibnu tinggal berdekatan dengan kakek Habibie di Ungaran, Semarang, Jawa Tengah.
Syahdan, Ibnu mengunjungi Jerman Barat pada Desember 1973. Saat itu dia menemui Duta Besar RI untuk Jerman Barat Achmad Tirtosudiro.
Ibnu dan Tirtosudiro pun bertemu di Bonn yang saat itu sebagai ibu kota Jerman Barat.
“Waktu bicara-bicara, Dubes Tirtosudiro menyebut nama Habibie dan menerangkan kepandaiannya,” kisah Sutowo.
Dari penuturan Tirtosudiro pula Ibnu mengetahui bahwa sebenarnya Habibie ingin melamar bekerja di Indonesia.
Namun, yang menjadi pertanyaan saat itu ialah siapa di Indonesia yang mampu menampung Habibie yang sudah bekerja dengan gaji begitu besar di MBB.
“Itu jadi pertanyaan Dubes Tirtosudiro,” cerita Ibnu.
Begitu mendengar hal itu, Ibnu langsung minta dipertemukan dengan Habibie. Akhirnya Tirtosudiro mengatur pertemuan kedua tokoh itu di Hilton Hotel, Dusseldorf.
Sehari kemudian, pada pukul sembilan pagi, Habibie mengetuk pintu kamar tempat Ibnu menginap.
“Saya masih pakai piyama waktu itu,” ujar Ibnu.
Setelah bersalaman, Ibnu Sutowo langsung menegur Habibie yang bekerja di Jerman saat Indonesia sedang membangun.
“Ayo ikut,” ajakan Ibnu Sutowo kepada Habibie.
Menurut Ibnu, pada saat itu Habibie belum mengenalnya. Hal itu membuat Ibnu menganggap tokoh yang dikenal cerdas tersebut sebagai sosok aneh.
“Itu keterlaluan. Ia orang ganjil,” ujar Ibnu mengenang perjumpaan pertamanya dengan sosok yang dikenal dengan panggilan Rudy itu.
Saat pertemuan kedua tokoh itu mau usai, Ibnu mengatakan bahwa dirinya akan bertemu dengan Willy Brandt yang saat itu sebagai kanselir Jerman Barat.
Ibnu menduga saat itu Habibie tidak menyangka lawan bicaranya bisa menemui Willy Brandt. Tentu bukan sosok sembarangan jika bisa bertemu pemimpin Jerman Barat pada waktu itu.
Setelah menemui Willy Brandt, Ibnu Sutowo kembali bertemu Habibie. Pada pertemuan kedua itu juga ada Ambasador Tirtosudiro dan dr. Sanger.
Saat itu Ibnu Sutowo langsung menawarkan posisi di Tanah Air kepada Habibie.
“Saya harapkan Pak Tirto dan Sanger bisa mengatur supaya Rudy bisa kembali ke Indonesia dengan secepatnya,” ucap Sutowo.
Sepulang darri Jerman Barat, Ibnu Sutowo membuat divisi baru di Pertamina. Divisi itu khusus membidangi teknologi.
Selanjutnya, Ibnu Sutowo menemui Presiden Soeharto untuk membicarakan rencananya tentang Habibie.
“Pak Harto manggut-manggut, menyepakati apa yang sudah saya usahakan berkenaan dengan Habibie,” cerita Ibnu Sutowo.
Pada 26 Januari 1974, Habibie pulang ke Indonesia. Dia lantas menemui Ibnu Sutowo.
Saat itu Ibnu Sutowo juga sudah melaporkan kepulangan Habibie kepada Pak Harto.
“Selamat datang,” kata Ibnu Sutowo. "Pak Harto mau menerima you sore nanti pukul tujuh.”
Akhirnya Habibie punya pekerjaan baru di Indonesia. Dia memimpin Advanced Technology Division Pertamina.
“Selesailah perkerjaan saya berkanaan dengan Habibie,” ujar Ibnu Sutowo.
Dalam buku yang sama, Habibie menceritakan kenangannya tentang perjumpaan pertama dengan Ibnu Sutowo. Seingat Habibie, dia langsung dimaki-maki oleh Ibnu Sutowo meski belum kenal.
Saat Habibie belum berbicara, Ibnu Sutowo sudah mencerocos soal Pertamina, pembangunan, dan perminyakan.
“Dipandang dari sudut moral, kata-kata Pak Ibnu itu tajam dan memang shocking, tetapi semua seratus persen tepat dan kebijakannya tepat dan tegas,’” tutur Habibie.(jpnn.com)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jokowi, Pak Harto, dan ASEAN
Redaktur : Antoni
Reporter : Tim Redaksi