jpnn.com - Pasti tidak banyak biksuni yang memiliki gelar doktor (PhD). Thitacarini merupakan kombinasi dua hal yang sedikit itu.
HENDRA EKA
BACA JUGA: Guru - guru di Wilayah Perbatasan, Sungguh Luar Biasa
SUDAH beberapa minggu ini Thitacarini kembali ke Indonesia. Biasanya, hari-harinya dihabiskan dengan belajar di Universitas Kelaniya, Sri Lanka. Thitacarini kembali ke Indonesia karena sejumlah kegiatan.
Salah satunya, menjadi panitia inti konferensi umat Buddha se-Asia pada 15–17 September di gedung Prasadha Jinarakkhita., Jakarta. Tempat itu memang spesial bagi Thitacarini. Di sanalah dia menetap sementara selama berada di Jakarta.
BACA JUGA: Tentang Video Resepsi Pernikahan Malik - Winda yang Viral
Jawa Pos menemui Thitacarini di gedung tersebut. Saat itu tampak sembilan piring kecil berwarna merah yang berisi lauk-pauk dan buah-buahan segar. Siap disajikan untuk makan siang sang biksuni.
Ada sajian nasi, bihun goreng, terong, kentang balado, telur dadar, sayur buncis, sayur sawi putih, nanas, dan semangka. Serbavegetarian. Tak ketinggalan, dua botol minuman sari kedelai dan lou han kuo (teh herbal) menemani makan siangnya.
BACA JUGA: Beternak Hamster, Omzet Bisa Puluhan Juta Rupiah per Bulan
Sebelum makan, Thitacarini bersama lima perempuan yang menyajikan makanan tersebut berdoa bersama. Thitacarini duduk di kursi, sedangkan lima perempuan lain lesehan di sekitar kursi sambil berdoa sejenak.
Makanan tersebut merupakan sumbangan dari dana umat Buddha yang berkunjung ke gedung Prasadha Jinarakkhita. (PJ). ”Makanan ini semua sumbangan umat, sarapan dan makan siang saya semuanya berasal dari dana umat,” ujarnya.
Thitacarini terlahir dengan nama asli Julia Surya 32 tahun lalu di Bengkalis, Riau. Dia dibesarkan oleh keluarga sederhana yang menganut aliran kepercayaan. ”Di daerah saya itu mayoritas Chinese. Mereka itu (menganut, Red) kepercayaan, tapi mengaku Buddhis,” kata perempuan berkacamata tersebut.
Ayahnya seorang pedagang barang elektronik, sedangkan ibunya adalah ibu rumah tangga yang pernah berkecimpung di bidang salon kecantikan di Bengkalis.
Pada 2005 keluarga Thitacarini mendapat cobaan. Kakek yang sangat dia sayangi meninggal dunia. Selama tujuh hari setelah meninggalnya sang kakek, keluarga Thitacarini mengadakan doa bersama yang dipimpin seorang biksu. Sejak itulah Thitacarini bersama keluarga semakin tekun mendalami ilmu agama Buddha.
Setelah menamatkan SMA di Bengkalis, dia melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Agama Buddha (STIAB) Smaratungga di Ampel, Boyolali, Jawa Tengah. Saat itu pula dia menjadi samaneri (calon biksuni). Namanya resmi berganti dari Julia Surya menjadi Thitacarini yang berarti keteguhan dalam menjalani kehidupan.
Tepat pada tahun keempat, Thitacarini menyelesaikan studinya. Dia menyandang predikat cum laude sarjana agama Buddha dengan indeks prestasi 3,87. Tak perlu waktu lama, samaneri Thitacarini meneruskan kuliah S-2 di Universitas Kelaniya, Sri Lanka.
Dia mendapat dukungan beasiswa dari umat Buddha Singapura, Majelis Buddhayana Indonesia, dan Perempuan Buddhis Indonesia. Thitacarini yang tidak memiliki kenalan siapa-siapa di Sri Lanka dipertemukan dengan sesama samaneri dari Hongkong, Visuddhicari, yang juga akan ditahbiskan sebagai biksuni.
Untuk menjadi biksuni, seseorang harus memiliki akses untuk menemui perwakilan otoritas atau sangha biksuni setempat. Biksuni harus ditahbiskan oleh seorang biksuni (tidak boleh biksu). Sangha Agung Indonesia (Sagin) saat itu belum memiliki seorang pun biksuni yang ditahbiskan dengan tradisi therawada. Karena itu, belum ada yang bisa memimpin prosesi upasampada atau menahbiskan seorang samaneri menjadi biksuni.
Akhirnya, karma baik memayungi langkah Thitacarini. Penantian lama untuk menjadi biksuni tiba. Pada 12 Mei 2012 di Dekanduwala Dharma Center, Sri Lanka, Thitacarini bersama seniornya Dhammacarini dan Visuddhicari ditahbiskan menjadi biksuni. Saat itu usia Thitacarini masih 26 tahun.
Perasaan bangga dan gembira dirasakan Thitacarini. Cita-citanya tercapai. Bak kisah bahagia Tenzin Gyatso, Dalai Lama ke-14 yang baru bisa memasuki wilayahnya setelah lebih dari lima dekade. ”Saya sangat bahagia karena cita-cita saya untuk menjalani kehidupan sebagai seorang biksuni bisa tercapai,” ujar Thitacarini.
Thitacarini tercatat sebagai biksuni pertama dari tradisi theravada Sangha Agung Indonesia. Mengutip situs dhammawheel.com, hanya ada sekitar 1.000 biksuni di seluruh dunia, angka yang sangat sedikit jika dibandingkan dengan biksu yang berjumlah lebih dari 500.000 orang.
Di Indonesia ada tiga kelompok biksuni. Yakni, kelompok Sangha Agung Indonesia, Persaudaraan Bhikkhuni Theravada Indonesia, dan biksuni independen yang tidak terafiliasi dengan organisasi mana pun. Sepengetahuan Thitacarini, saat ini hanya ada 13 biksuni di Indonesia. Itu sekitar 1 persen saja dari jumlah biksuni di seluruh dunia.
Setelah penahbisan, semangat belajar Thitacarini semakin menggebu-gebu. Tak perlu waktu lama untuk dia menyelesaikan studi S-2. Cukup dua tahun hingga akhirnya dia berhasil meraih gelar master of arts (MA).
Tidak hanya tepat waktu, Thitacarini juga menjadi satu-satunya mahasiswa dalam sejarah universitas Buddhis tertua di dunia itu yang berhasil meraih medali perak (summa cum laude) diploma S-2 dan medali emas (summa cum laude) master S-2 secara berturut-turut.
”Kebetulan, ketika diploma dan master di Sri Lanka, saya menjadi satu-satunya mahasiswa yang berturut-turut meraih medali perak dan emas,” jelas Thitacarini.
Berbeda dengan kuliah S-2 di Indonesia, di Sri Lanka beberapa mahasiswa diwajibkan mengikuti diploma S-2 sebelum benar-benar beranjak mengambil gelar master. Lulusan terbaik diploma S-2 diganjar medali perak, adapun master S-2 mendapat medali emas.
Setelah tamat S-2, Thitacarini melanjutkan perjalanan hidupnya ke Myanmar. Di sana dia memperdalam ilmu meditasi selama setahun. Setelah itu, dia kembali bergelut dengan buku-buku. Dia mengambil jenjang pendidikan yang lebih tinggi di kampus yang sama.
Kini, dengan dukungan sang guru Nyanasuryanadi dan Kementerian Agama yang mengeluarkan program 100 doktor, dia menjadi biksuni kandidat doktor pertama di Indonesia. Sekali ujian lagi, Thitacarini akan resmi menyandang gelar PhD.
Thitacarini sebenarnya tidak membutuhkan gelar-gelar akademis itu. Namun, untuk membantu pendidikan agama Buddha di Indonesia, dia rela berjuang dan menghabiskan waktunya untuk terus belajar.
”Jujur saja, untuk latihan ke-bhikkhuni-an, kita nggak butuh sekolah akademis setinggi itu (S-3, Red). Tapi, kalau kita lihat di lapangan, pendidikan Buddhis sangat tertinggal jauh,” kata Thitacarini.
Thitacarini berharap level kesetaraan pendidikan ilmu Buddha di Indonesia bisa sama dengan agama lain dan tidak perlu jauh-jauh ke luar negeri untuk belajar. ”Saya berharap suatu saat ada universitas Buddhis yang besar seperti punya saudara-saudara kita dari agama lain,” ujar koordinator penelitian dan pengembangan Sangha Agung Indonesia itu.
Jumat lalu (23/11) langit mendung Jakarta mengiringi Thitacarini menjemput impiannya. Dari Bandara Soekarno-Hatta, dia terbang menuju Kolombo, Sri Lanka, untuk menuntaskan sidang akhir disertasinya. (*/c11/oni)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kisah Enci Ika, Guru Honorer Mengajar di Tiga Sekolah
Redaktur & Reporter : Soetomo