Kisah Tujuh Dokter Muda Bertugas Melayani Masyarakat di Desa Terpencil

Perjuangan Bawa Ibu Hamil Seberangi Laut

Selasa, 29 April 2014 – 14:27 WIB

jpnn.com - Menjelang pelaksanaan Millenium Development Goals (MDGs) yang tinggal setahun lagi, tujuh dokter muda memilih bertugas di daerah-daerah terpencil. Pengalaman mereka melayani masyarakat di pelosok itu patut diapresiasi. Tak sedikit yang mengharukan.

DODY BAYU PRASETYO, Jakarta

BACA JUGA: Usia 26 Tahun Sudah Berpenghasilan Rp 9 Miliar Lebih

---

TUJUH dokter muda tersebut adalah Gustin F. Muhayani yang bertugas di Mentawai, Sumatera Barat; Ardi Fredi (Ka­rawang, Jawa Barat), Maria Nainggolan (Tosari, Pasuruan), Reastuty (Berau, Kalimantan Timur), Rahmi Hermades (Lindu, Sulawesi Tengah), Iim Karimah (Ogotua, Sulawesi Tengah), dan Sri Putri Nesia (Ende, Nusa Tenggara Timur). Mereka adalah alumni dari berbagai perguruan tinggi dan tergabung dalam kelompok Pencerah Nusantara angkatan II.

BACA JUGA: Raska, Tukang Tambal Ban yang Terpilih sebagai Anggota DPRD Subang

Pencerah Nusantara adalah sebuah gerakan sosial berbasis kesehatan dan kemitraan lintas sektor yang diinisiasi Kantor Utusan Khusus Presiden RI (KUKPRI) untuk MDGs. Gerakan ini menjadi salah satu terobosan dalam usaha mencapai target MDGs melalui kesehatan masyarakat sebagai daya ungkit strategisnya.

Di lokasi penugasan masing-masing, mereka tidak bekerja sendiri. Mereka dibantu empat hingga lima tenaga medis yang juga direkrut Pencerah Nusantara tahun lalu. Total ada 34 tenaga medis yang rata-rata baru lulus setahun-dua tahun dari perguruan tinggi

BACA JUGA: Ke Jakarta, Cesar Millan Berbagi Pengalaman Pelihara Anjing

Tidak hanya dokter, di antara mereka juga terdapat bidan, perawat, dan pemerhati kesehatan. Mereka bertugas di puskesmas atau rumah sakit setempat. Selain memberikan pelayanan medis kepada masyarakat, mereka melakukan sosialisasi dan penyuluhan soal kesehatan kepada warga.

Rabu lalu (23/4) mereka berkesempatan pulang ke Jakarta dan berbagi pengalaman selama enam bulan bertugas di kawasan-kawasan terpencil tersebut. Sekilas yang mereka lakukan tidak jauh berbeda dengan dokter PTT (pegawai tidak tetap) yang juga bertugas di daerah terpencil di seluruh Indonesia. Namun, selain melibatkan profesi yang beragam, kebanyakan dari mereka pernah bekerja di rumah sakit atau perusahaan sebelum memutuskan terjun ke lokasi penugasan. Mereka juga dipersiapkan khusus untuk menghadapi MDGs di bidang kesehatan.

Konsekuensinya tidak sedikit. Di antara mereka sampai ada yang harus keluar dari pekerjaan tetapnya sebagai tenaga medis di rumah sakit atau perusahaan. Itu dilakukan hanya agar dapat mengabdi daerah pelosok. Di samping itu, mereka mesti bergelut dengan susahnya mendapatkan pelayanan publik dan jaringan sinyal di daerah terpencil.

Ada juga yang menutup praktik dokter di rumahnya untuk mengikuti program blusukan ini. Seperti yang dilakukan Ardi Fredi. Dokter yang ditugaskan di Kecamatan Pakisjaya, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, tersebut rela mengundurkan diri sebagai dokter jaga di sebuah rumah sakit di Pontianak.

Bukan hanya itu. Dokter lulusan Universitas Kristen Krida Wacana (Ukrida) Jakarta tersebut juga harus menutup tempat praktik dokter miliknya. "Saya memang sering ditanya kenapa memilih susah di lokasi terpencil ketimbang pekerjaan yang sudah ada. Bagi saya ada hal yang tidak bisa didapat dengan materi, yaitu pengabdian kepada masyarakat di daerah terpencil," kata dokter umum asal Pontianak tersebut.

Memang, langkah Ardi relatif tidak mengalami "hambatan" dari keluarga. "Kedua orang tua saya sudah meninggal, jadi saya bisa memutuskan sendiri. Memang masih ada adik, tapi dia mendukung yang saya ambil," ujarnya.

Ardi menceritakan, masyarakat di lokasi penempatannya di Karawang sangat kurang memperhatikan kesehatan air, seperti sanitasi. Kebanyakan warga di sekitar lokasi tempat tugasnya lebih suka buang air besar dan kecil di empang atau di kali yang kotor. "Padahal, sudah dibuatkan fasilitas toilet, tapi nggak tahu kenapa warga lebih suka di empang."

Hingga setengah tahun masa tugasnya di sana, Ardi mengakui tidak mudah mengubah kebiasaan warga agar mau pindah mengunakan toilet di rumah atau WC umum untuk buang hajat. "Saya pernah lewat di pipa saluran pembuangan. Di atas saya tiba-tiba ada itu (kotoran manusia) terbang," kenangnya.

Lain lagi kisah Gustin F. Muhayani yang ditugaskan di Dusun Sikakap Tengah, Kecamatan Sikakap, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Dokter umum jebolan Universitas Brawijaya, Malang, pada 2012 tersebut tidak pernah membayangkan akan ditempatkan di lokasi dengan medan yang sulit seperti di Sikakap.

Gustin juga memilih keluar dari salah satu rumah sakit swasta di Mataram, NTB, agar bisa mengikuti program Pencerah Nusantara ini. Selama bertugas di Puskesmas Desa Malakopa, Mentawai, dia pernah menangani kasus perempuan yang akan melahirkan dengan posisi janin sungsang. Karena itu, kelahiran bayi perlu penanganan dokter ahli dan rumah sakit yang memiliki peralatan medis yang memadai.

Dia mengatakan, satu-satunya rumah sakit terdekat dengan Desa Malakopa adalah RSUD Pulau Sipora, Mentawai. "Untuk mencapai ke RSUD tersebut harus melewati laut selama sembilan jam dengan kapal kayu dan lautnya dalam kondisi tenang. Tapi, kalau pakai perahu motor mesin 80 PK, bisa 3 sampai 4 jam," terang dokter kelahiran Lombok, 16 Agustus 1988, tersebut.

Namun, Gustin dan rekan-rekannya tidak bisa serta-merta membawa wanita hamil itu ke RSUD karena harus mendapatkan persetujuan dokter di Puskesmas Desa Sikakap. Jauhnya 40 kilometer dari Malakopa, lebih dekat ke RSUD Sipora. "Padahal, itu saya rasa tidak perlu. Tapi, kata bidan yang menangani saat itu, kalau mau ke RSUD, harus dapat persetujuan dari Puskesmas Sikakap. Akhirnya mau tidak mau ibu itu kami antar dulu ke Sikakap sebelum ke RSUD," keluhnya.

Sampai di Puskesmas Sikakap, problem berikutnya adalah tidak ada kapal motor yang bisa membawa mereka ke RSUD Pulau Sipora. "Kami harus mencari dan melobi warga yang punya perahu motor agar bersedia membawa kami ke RSUD. Itu pun tidak mudah. Maklum, harga kapal itu sangat mahal, sekitar Rp 60 juta," tutur Gustin.

Di tengah kebingungan untuk menyelamatkan nyawa sang ibu dan bayinya tersebut, tiba-tiba seorang pastor gereja Katolik di Sikakap bersedia meminjamkan perahu motornya. "Kami memanggilnya Romo Pei," ucap Gustin yang aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan semasa kuliah.

Perjuangan Gustin dan rekan-rekannya serta warga desa yang membantu mereka menyelamatkan ibu dan bayinya akhirnya berbuah manis. Ibu dan si bayi lahir dengan selamat dan sehat di RSUD Pulau Sipora. "Bahkan, bayinya ternyata kembar dua. Itu baru kami ketahui saat si ibu diperiksa di Puskesmas Desa Sikakap," ujarnya riang.

Dokter muda itu mengatakan, kegigihannya melayani kesehatan masyarakat di daerah terpencil tersebut hanya bermodalkan niat dan semangat agar bisa menjadi inspirasi. "Bukan semata-mata ingin mengubah Indonesia menjadi lebih baik," tandas dia. (*/c2/ari)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kecintaan pada Kentang yang Membuahkan Emas


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler