jpnn.com - MEMANASNYA suhu politik diharapkan tidak berkepanjangan. Sebab, setidaknya dalam jangka pendek, amat berpengaruh terhadap perekonomian. Investor dikhawatirkan secara terus menerus melakukan aksi jual di pasar modal akibat sentimen negatif perpolitikan di tanah air.
Dan jangan pula menganggap remeh demam yang terjadi di pasar modal. Meskipun hanya segelintir pihak yang terlibat langsung di pasar finansial, dampaknya ke sektor riil bakal sangat nyata.
BACA JUGA: Pertamina Remajakan Terminal BBM
Terlebih, perbankan yang merupakan jantung perekonomian, berjalin berkelindan dan tak dapat dipisahkan dari pasar modal.
Direktur Utama PT Bank Mandiri (persero) Tbk Budi Gunadi Sadikin mengakui, kekisruhan para politisi secara tidak langsung memantik market berada di zona negatif. Hal itu sudah terlihat dari koreksi saham dan imbal hasil obligasi selama beberapa pekan terakhir.
BACA JUGA: Infrastruktur Logistik RI Tertinggal
”Yang jelas market melihat kalau politiknya kisruh, market negatif. Kami di perbankan kan jagain duitnya nasabah. Kalau kisruh, asetnya turun, kita susah,” katanya.
Secara umum, pasar modal selama sepekan ini dihujani koreksi. Indeks harga saham gabungan (IHSG) pada akhir perdagangan Jumat (3/10) terjerembab ke zona merah, melemah 51,46 poin (-1,029 persen) ke level 4.949,346. Selama sebulan, IHSG telah jeblok 188,23 poin (-3,66 persen).
BACA JUGA: Tapera Itu Penting untuk Masyarakat
Sementara itu, obligasi acuan dengan bermasa 10 tahun mengalami koreksi tipis pada yield atau imbal hasil ke posisi 8,54 persen dari 8,52 persen. Dari pasar valas, rupiah terus meninggalkan posisi Rp 11.000 per USD ke level Rp 12.144 per USD pada Jumat.
Namun demikian, secara jangka panjang, sebagian pihak menilai masih ada secercah harapan bahwa ekonomi dan politik akan berjalan beriringan tanpa bertentangan. Direktur Eksekutif Indef (Institute for Development of Economics and Finance) Ahmad Erani Yustika mengatakan, tantangan pemerintah yang tak didukung mayoritas fraksi di parlemen tidaklah permanen.
Erani melihat adanya kemungkinan perubahan komposisi. Bahkan, menurut dia, kalaupun nanti penyusunan kabinet Jokowi-JK tegas terbagi seperti yang telah direncanakan, tidak menjamin beberapa tahun lagi tidak ada perubahan.
”Baik ekonomi maupun politik selalu menuju keseimbangan. Apa yang tergambar hari ini belum menunjukkan keseimbangan itu,” kata pria yang juga menjadi Guru Besar Ilmu Ekonomi Kelembagaan di Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya tersebut.
Pihaknya juga optimistis bahwa dinamika politik tidak memiliki pengaruh banyak terhadap target-target ekonomi. Kalaupun beberapa kali melewati krisis ekonomi, pasca krisis moneter 1998, tidak ada yang dipicu oleh politik. Misalnya, krisis 2009 yang dipantik subprime mortgage atau kredit perumahan berisiko tinggi di Amerika Serikat (AS).
Begitu pula gejolak ekonomi di 2013 yang disebbakan harga pangan dan minyak internasional. Pertumbuhan ekonomi yang terus turun sejak 2011 juga disebabkan oleh krisis fiskal di Eropa dan AS.
”Riak UU Pilkada, komposisi pemimpin DPR, MPR, alat kelengkapan hingga badan di DPR, saya kira tidak lantas berpengaruh ke ekonomi,” paparnya.
Menurut dia, perkembangan Indonesia pasca reformasi ekonomi di atas tahun 2000, memiliki arah proses pembangunan konsensus politik yang makin lama kian matang.
Dia juga meyakini, adanya perbedaan pendapat tidak lantas membuat masyarakat dan elite membelah kepentingan ekonomi yang lebih besar.
Namun demikian, pihaknya mengharapkan pemerintah tetap melakukan upaya antisipasi. Sebab, banyak kasus mungkin saja tidak bisa diputuskan dan disepakati dalam konteks yang ideal. Masing-masing pihak merasa harus mengikuti atau mendukung keputusan yang diambil.
”Khususnya (isu) energi, subsidi, tidak mudah. Kalkulasinya tidak sekadar koalisi besar maupun kecil. Tapi, kemampuan komunikasi politik dan pendekatan ke masyarakat. Itu lebih banyak berperan,” kata Erani. (gal/sof)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pembangunan Tol Laut, BUMN Harus Bentuk Holding Pelabuhan
Redaktur : Tim Redaksi