jpnn.com, JAKARTA - Ketua Setara Institute Hendardi mengkritisi keputusan pemeritah melabeli kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua sebagai teroris.
Dia menilai kebijakan itu menggambarkan ketidakcakapan pemerintah mengelola dan meniti resolusi konflik di Papua.
BACA JUGA: Dewas Mulai Garap Dugaan Pelanggaran Etik Penyidik KPK AKP Stepanus
“Langkah tersebut sebagai ekspresi sikap putus asa pemerintah yang tidak kunjung tuntas menangani kelompok perlawanan Papua,” ucap Hendardi di Jakarta, Kamis (29/4).
Menurut Hendardi, alih-alih membangun dialog dan mengurangi pendekatan keamanan, pemerintah justru mempertegas pilihan kekerasan dalam penanganan konflik di Papua.
BACA JUGA: TNI dan Polri Harus Lebih Tegas Menindak KKB yang Telah Dilabeli Teroris
“Langkah pemerintah rentan menimbulkan pelanggaran HAM yang serius,” ucap dia.
Hendardi memandang label teroris untuk KKB merupakan cara pemerintah melegitimasi tindakan represif dan pembenaran atas operasi militer secara masif di Papua
BACA JUGA: Tumpas KKB Teroris, Polisi Langsung Bergerak, BNPT dan Densus Bakal Dilibatkan
Dia meyakini keputusan pemerintah itu tidak akan memutus siklus kekerasan yang telah berlangsung lama di Bumi Cenderawasih.
Aktivis HAM itu menilai aparat keamanan gagal melumpuhkan kelompok bersenjata di Papua.
Menurut dia, pelabelan teroris dan tindakan operasi lanjutannya adalah kebijakan terburuk pemerintahan Jokowi untuk Papua.
Hendardi mengatakan pelabelan teroris terhadap KKB akan menutup ruang dialog sebagai jalan perdamaian yang direkomendasikan banyak pihak.
Efek buruk lainnya ialah peningkatan eskalasi kekerasan yang berdampak langsung pada rakyat Papua.
Selain itu, pelembagaan rasialisme dan diskriminasi berkelanjutan di Papua juga bisa terjadi.
Menurut Hendardi, label teroris terhadap KKB akan menutup kesempatan pemerintahan Jokowi menunaikan janji membangun Papua secara humanis.
Hendardi menyebut pilihan realistis bagi permasalahan Papua ialah penyelesaian secara damai yang dimulai penghentian permusuhan, membangun dialog, dan menyusun skema-skema pembangunan yang disepakati.
“Revisi UU Otonomi Khusus bisa menjadi momentum mendialogkan isu-isu krusial, termasuk soal penanganan pelanggaran HAM di Papua dan Papua Barat,” ujar Hendardi.(fri/jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur & Reporter : Friederich