Klenteng Hok Tiek Hian, Saksi Sejarah Belanda Paksa Warga Pindah Keyakinan

Minggu, 30 April 2017 – 23:48 WIB
IBADAH: Rupang dewa menjadi salah satu pelengkap ibadah di di Klenteng Hong Tiek Hian Jalan Dukuh. Foto Satria Nugraha/Radar Surabaya/JPNN.com

jpnn.com, SURABAYA - Warga asli Tiongkok dikenal sebagai penganut Tri Dharma yang taat. Namun, kini banyak di antara mereka berpindah keyakinan.

Klenteng Hok Tiek Hian adalah tameng arus perpindahan itu.

BACA JUGA: Sejarah Kelenteng Hok Tiek Hian yang Dibangun Pasukan Tartar

====================================
Bagus Putra Pamungkas - Radar Surabaya
====================================

Down Town dikenal sebagai kampung pecinan. Banyak warga asli Tiongkok yang tinggal di Kota Lama.

BACA JUGA: Gedung Kesyahbandaran, Zaman Belanda hingga Kini

Kebanyakan mereka datang ke Surabaya sebagai pelarian. Sebab, pada awal tahun 1800-an terjadi gejolak di negeri Tirai Bambu.

Warga Tionghoa yang mencari perlindungan itupun akhirnya menetap di kebanyakan mereka beraliran Tri Dharma.

BACA JUGA: Penanda di Jalan Panggung Kampung Pecinan

Mulai dari Buddha, Taoisme hingga beraliran Khong Hu Cu. Karena itulah, mereka mulai bergotong royong membangun rumah ibadat.

Itulah yang akhirnya membuat banyak Klenteng di kawasan Down Town. Termasuk Boen Bio dan Klenteng Coklat. Namun, hal itu membuat penjajah Belanda gerah.

Pemerintahan Belanda yang saat itu berkuasa pun memaksa warga Tionghoa untuk berpindah keyakinan.

“Hingga akhirnya mereka memeluk agama yang saat itu menjadi mayoritas Belanda. Itu membuat anak keturunan mereka juga akhirnya meninggalkan ajaran Tri Dharma,” ujar Kepala Klenteng Hok Tiek Hian Ong Khing Kiong.

Klenteng yang populer dengan sebutan Dukuh menjadi salah satu tameng berlanjutnya arus perpindahan tersebut.

Ko Kiong mengaku, pada awal 1900-an jumlah jemaat masih sangat sedikit. Arus perpindahan keyakinan saat itu sangat mempengaruhi hal tersebut.

Namun, keberadaan Klenteng Dukuh sebagai tameng mulai terasa pada awal 1960-an. Pada saat itu, jumlah jemaat di klenteng yang menjadi cagar budaya ini meningkat drastis.

“Saat itu, penganut aliran Buddha, Khong Hu Cu, maupun Taoisme makin bertambah. Dalam klenteng, mereka mulai mengenal ajaran nenek moyang dan mampu saling hidup berdampingan,” lanjutnya.

Suasana klenteng yang mulai dipenuhi jamaat yang hikmat kembali goncang. Itu terjadi pada awal tahun 1965. Tepatnya saat adanya gerakan G-30S PKI.

Keadaan genting saat itu membuat warga keturunan Tionghoa tak berani beribadat lagi. Bahkan, kondisi makin parah saat Presiden Soeharto berkuasa.

“Para jemaat yang mulai padat kembali menghilang. Bahkan, saat orde baru jumlah jemaat lebih sedikit. Mereka takut,” bebernya.

Jemaat kembali menggeliat kala masa reformasi tiba. Bahkan, saat Presiden Abdurachman Wachid mulai menjabat, klenteng Dukuh yang pernah mati suri seolah hidup kembali. “Kini jemaat bebas beribadat lagi,” terangnya. (hen)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kejayaan Lan Fang, Republik Pertama di Indonesia, yang Berlanjut di Singapura


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler