KLHK Siapkan Pengaturan Penggunaan Bahan Perusak Ozon

Kamis, 28 Februari 2019 – 22:00 WIB
Ruandha Agung Sugardiman, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK dalam Workshop on HFC Enabling Activities. Foto: Humas KLHK

jpnn.com, JAKARTA - KLHK melalui Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim selaku National Focal Point mempersiapkan langkah – langkah Pemerintah Indonesia meratifikasi Amandemen Kigali yang merupakan penyempurnaan Protokol Montreal.

Dengan ratifikasi amandemen ini nanti Indonesia akan sepakat mendukung perlindungan atas lapisan Ozon dengan pengaturan tentang pengurangan konsumsi Bahan Perusak Ozon (BPO) berupa Hydroflorokarbon (HFC) yang merupakan bahan pengganti dari Hydrochlorofluorocarbon (HCFC). 

BACA JUGA: 49 Tahun Berdiri, Kopkarhutan KLHK Semakin Inovatif

Persiapan ini dilakukan dengan sosialisasi dan diskusi bersama pelaku sektor industri yang dibungkus dalam Workshop on HFC Enabling Activities.

Kegiatan ini diselenggarakan di Fairmont Hotel Jakarta, (28/02/2018). Salah satu yang dibahas adalah persiapan inventarisasi penggunaan bahan HFC di Indonesia, persiapan pengaturan tata niaga impor HFC, termasuk pengaturan lisensi impor dan HS Code HFC, serta penetapan baseline konsumsi HFC di Indonesia pada tahun 2020, 2021 dan 2022.

BACA JUGA: KLHK Targetkan Peningkatan Indeks Kualitas Lingkungan Hidup 2020-2024

"Kesuksesan Protokol Montreal dalam menurunkan konsumsi BPO telah sangat signifikan dicapai, termasuk kontribusi Indonesia yang telah menurunkan konsumsi BPO, khususnya jenis HCFC dari tahun 2013 sampai 2018 sebesar 124,36 ODP (Ozone Depleting Substances) Ton. Hal tersebut dapat dicapai dengan mengganti BPO jenis HCFC dengan bahan alternatif yang lebih ramah ozon dan juga ramah terhadap perubahan iklim yang kita kenal sebagai BROCCOLI (bebas bromin, chlorin dan pro-climate)," ujar Ruandha Agung Sugardiman, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK.

Ruandha menambahkan penggunaan HFC di Indonesia sebagai pengganti HCFC merupakan upaya mendukung Protokol Montreal dalam menghambat perusakan ozon, tapi setelah Amandemen Kigali menyepakati bahwa HFC juga termasuk BPO, maka Indonesia akan mengikutinya dengan melalui proses yang tidak mendadak.

BACA JUGA: Menteri LHK Ajak Semua Pihak Bersinergi Tingkatkan Kualitas Lingkungan Hidup

Meskipun masih digunakan di Indonesia, namun saat ini diupayakan pemilihan HFC yang nilai potensi pemanasan global rendah (lebih kecil dari 750).

Sebelumnya beberapa jenis HFC yang memiliki nilai potensi pemanasan global tinggi telah digunakan di Indonesia sebagai pengganti BPO jenis CFC.

Antara lain adalah HFC-134a yang banyak digunakan sebagai bahan pendingin di lemari es, AC mobil dan beberapa mesin pendingin bangunan; HFC-410A yang banyak digunakan sebagai pendingin AC split dan AC komersial.

Kemudian HFC-404A yang banyak digunakan sebagai bahan pendingin pada gudang pendingin pada industri perikanan.

Oleh karenanya penggunaan HFC dengan nilai potensi pemanasan global tinggi tersebut harus dihentikan, dan diganti dengan bahan yang rendah potensinya dalam memicu pemanasan global.

Hingga saat ini, Panel Teknologi dan Ekonomi (TEAP) Protokol Montreal terus berupaya melakukan penelitian terkait bahan BROCCOLI dan insentif bagi negara – negara berkembang.

Diharapkan pada 2024, negara berkembang sudah mulai menurunkan konsumsi HFC dalam berkontribusi menjaga temperatur bumi tidak meningkat lebih dari 1,5 derajat Celcius pada tahun 2100 dibandingkan dengan masa pra-industri.

Berdasarkan Amandemen Kigali untuk kelompok negara berkembang Grup 1, dimana Indonesia termasuk dalam kelompok tersebut, ditetapkan target penurunan konsumsi HFC adalah freeze pada tahun 2024.

Kemudian berlanjut dengan penurunan 10% dari baseline pada tahun 2029, 30% dari baseline pada tahun 2035, 50% dari baseline pada tahun 2040, dan 80% dari baseline pada tahun 2045. Target penghapusan tersebut dapat dicapai dengan adanya alih teknologi pada sektor industri manufaktur maupun servicing. 

Pelaksanaan alih teknologi tersebut dipandang perlu mempertimbangkan bahan pengganti HFC yang memiliki harga yang kompetitif dan tersedia secara luas di pasaran.

Kementerian Perindustrian sebagai pembina sektor industri perlu memfasilitasi industri dalam mencari teknologi pengganti HFC agar produk yang dihasilkan industri tersebut tetap kompetitif dan memiliki daya saing dengan mempertimbangkan aspek lingkungan dan keselamatan.

Di samping itu, pemerintah juga perlu menetapkan kebijakan dan regulasi seperti peraturan tentang tata niaga dan impor HFC untuk mengendalikan HFC yang masuk ke Indonesia. Peningkatan kapasitas untuk semua element terkait juga akan dilakukan dalam rangka mengendalikan konsumsi HFC ini. 

Protokol Montreal adalah salah satu perjanjian internasional dibidang lingkungan hidup yang bertujuan untuk melindungi lapisan ozon.

Protokol Montreal ini telah diamandemen beberapa kali disebabkan karena adanya penambahan ketentuan pengaturan untuk perlindungan lapisan ozon.

Indonesia menjadi salah satu Negara yang telah meratifikasi Protokol Montreal sejak tahun 1992. Pada Meeting of Parties ke 28, seluruh Negara Pihak Protokol Montreal sepakat untuk mengamandemen kembali.

Protokol Montreal guna memasukkan pengaturan tentang pengurangan konsumsi HFC yang merupakan bahan pengganti dari HCFC.

Penambahan pengaturan HFC pada Protokol Montreal disebut dengan nama Amandemen Kigali karena kesepakatan ini diadopsi pada pertemuan di Kigali, Rwanda.

Dengan adanya workshop ini diharapkan industri mulai memikirkan jadwal penghapusan dan penggunaan teknologi yang tepat sebagai pengganti HFC.

Workshop ini dihadiri oleh perwakilan dari Kementerian Perindustrian, World bank, Asosiasi Industri serta Para Pelaku Industri dan Importir. (adv/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Menteri Siti Beberkan Indeks Kualitas Lingkungan Indonesia, Ini Hasilnya


Redaktur & Reporter : Natalia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler