Klitih, Sejarah Premanisme di Yogyakarta & Petrus

Oleh Dhimam Abror Djuraid

Rabu, 06 April 2022 – 18:48 WIB
Papan penunjuk arah Jalan Malioboro dan Jalan Pasar Kembang di Yogyakarta. Foto: dokumentasi JPNN.com

jpnn.com - Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memiliki sejarah panjang tentang tradisi premanisme. Mungkin di Indonesia tidak banyak daerah yang punya khazanah bahasa preman seperti di Yogya.

Pada 1970-an, premanisme jalanan dan premanisme terorganisasi marak di Yogyakarta. Bersamaan dengan itu marak juga pemakaian bahasa preman di lingkungan penjahat jalanan.

Awalnya bahasa preman itu menjadi bahasa esoteris yang hanya dipahami dan digunakan di lingkungan preman saja. Namun, lambat laun bahasa preman itu berkembang luas dan menjadi bahasa gaul di lingkungan anak-anak muda.

Ketika itu bahasa preman Yogya begitu luas dipakai anak-anak muda sampai menjadi salah satu identitas budaya pinggiran. Seseorang yang bisa berbicara dengan bahasa preman dianggap bagian dari peer group dan mendapat perlakuan istimewa, misalnya ketika membeli sesuatu di pasar seperti Shoping Center.

Bahasa preman atau sering juga disebut bahasa gali, muncul dari kreativitas Yogya yang sangat khas. Bahasa itu merupakan hasil adopsi dari huruf-huruf Jawa, ha na ca ra ka, yang kemudian disusun terbalik untuk membuat kosakata baru.

BACA JUGA: Sugali

Sapaan yang paling umum ialah 'hire, Dab?’ yang berarti ’piye, Mas?’. Salah satu suvenir terkenal Yogya bermerek ’Dagadu’ yang artinya ’matamu’.

Sekarang bahasa gali Yogya sudah jarang dipakai dan diganti dengan bahasa gaul alay khas anak milenial zaman now. Akan tetapi, tradisi premanisme jalanan di Yogya masih terus berlangsung sampai sekarang.

Salah satu yang viral sekarang adalah aksi kekerasan jalanan dengan sebutan ‘klitih’.

Beberapa hari terakhir aksi klitih membawa korban jiwa, sehingga muncul tagar #YogyaTidakAman. Memang klitih bukanlah hal baru, tetapi jika dilihat dari arti kata sebenarnya, maknanya sangat jauh dari aksi kekerasan maupun tawuran.

Istilah klitih merujuk kepada Pasar Klithikan Yogya. Secara etimologis klitih artinya ’killing time’ membunuh waktu dengan melakukan aktivitas yang tidak jelas dan bersifat santai sambil mencari barang bekas dan klithikan.

BACA JUGA: Pak Harto

Istilah 'nglithih' digunakan untuk menggambarkan kegiatan santai seperti jalan-jalan menghabiskan waktu luang atau leisure time. Budaya itu diadopsi oleh anak-anak pelajar, tetapi kemudian terjadi deviasi atau penyimpangan menjadi budaya kekerasan.

Nglithih menjadi kegiatan jalan-jalan dengan mengendarai sepeda motor dan mencari sasaran lawan untuk dijadikan sparring partner tawuran. Nglithih berkembang menjadi aksi kriminal jalanan yang meresahkan.

Budaya kekerasan yang dilakukan oleh pelajar di Yogyakarta sudah ada sejak era 1980-an dan 1990-an. Kekerasan yang dilakukan pelajar pada masa itu dilakukan oleh dua geng besar yang yaitu Qzruh dan Joxzin.

Qzruh alias kisruh yang berarti ribut menguasai wilayah Yogyakarta bagian utara. Adapun Joxzin -akronim dari Joko Sinting atau Pojok Bensin atau Jogja Sindikat- menguasai Malioboro hingga SPBU Alun-alun.

Klitih mengalami pergeseran makna. Kini klitih identik dengan aksi kekerasan yang dilakukan oleh pelajar SMP dan SMA.

BACA JUGA: Manusia Kerdil

Istilah ini muncul untuk mengganti kata tawuran setelah peristiwa pembacokan yang marak terjadi sepanjang 2011 sampai 2012.

Geng-geng pelajar di Yogyakarta sering melakukan tawuran pada era 1990-an. Pada 2000-an, pemerintah kota setempat bertindak tegas dengan memerintahkan sekolah memecat pelajar yang terlibat tawuran.

Alih-alih meredam aksi, geng pelajar malah bergeser ke jalanan untuk mencari musuh. Sasarannya bukan hanya pelajar, melainkan juga masyarakat umum. Klitih menjadi model baru street crime, kejahatan jalanan, yang terorganisasi dan mulai ditunggangi kepentingan kriminal yang lebih serius oleh kaka-kakak kelas atau alumnus.

Struktur organisasinya pun kian berkembang, bukan hanya di sekitar Kota Yogyakarta, melainkan di beberapa wilayah lain, seperti Sleman dan Bantul. Pun korbannya tidak bisa diidentifikasi karena bersifat random.

Sejarah kriminalitas jalanan di Yogya merentang cukup panjang. Hal ini menjadi fenomena paradoks budaya, karena di satu sisi Yogya adalah jantung budaya Jawa yang refined, halus, tetapi di sisi lain menjadi salah satu daerah dengan tingkat kriminalitas tinggi.

Operasi pemberantasan penjahat jalanan terbesar di Indonesia terjadi pada masa 1980-an. Operasi yang dikenal dengan sebutan ’Petrus' (akronim dari pembunuhan misterius) itu dilakukan oleh tentara atas perintah Presiden Soeharto.

Petrus merupakan operasi pembunuhan sipil terbesar yang terjadi setelah peristiwa penumpasan anggota PKI pada 1965. Operasi Petrus pertama dilakukan di Yogya.

Saat itu angka kejahatan di Indonesia, khususnya di Jawa Tengah, begitu tinggi. Pemerintah Orde Baru pada saat itu melakukan operasi rahasia untuk memberantas kejahatan dengan menangkap dan membunuh para preman, perampok, gali, atau orang-orang yang dianggap mengganggu ketentraman masyarakat.

Pada 1983 ada 532 orang tewas karena tembakan. Tindakan pembersihan itu dilakukan tanpa melalui proses hukum atau keputusan pengadilan.

Mereka yang dicurigai sebagai gali, preman, dan bromocorah, diculik atau diciduk dari rumah maupun pinggir jalan. Keesokan harinya, mayatnya ditemukan tergeletak dalam sebuah karung di pinggir jalan dengan luka tembak.

Operasi street justice itu misterius karena penembaknya belum diketahui. Petrus berawal di DIY ketika Letkol M Hasbi selaku komandan Kodim 0734/Kota Yogyakarta melancarkan operasi pemberantasan kejahatan.

Operasi itu diawali dengan pendataan para pelaku kriminal. Orang-orang yang dianggap sebagai gali (gabungan anak liar) maupun preman dilaporkan hilang, kemudian ditemukan tak bernyawa lahi. Rata-rata dari mereka mengalami luka tembak di bagian kepala dan beberapa di bagian leher.

Salah satu cara yang digunakan dalam operasi Petrus ialah penculikan. Para gali, preman, atau pelaku kejahatan itu menjadi korban penghilangan orang secara paksa.

Mereka dijemput orang tak dikenal, dijebak oleh teman sendiri, dipanggil polisi ke kantor, bahkan ada yang diambil dari dalam penjara bagi mereka yang sedang mendekam di bui. Beberapa hari kemudian muncul berita di koran yang menampilkan penemuan mayat orang-orang bertato dengan dada tertembus peluru.

Akibat peristiwa itu, banyak preman yang akhirnya menyerahkan diri kepada aparat. Di antara para korban itu adalah tokoh gali yang terkenal di kalangan masyarakat Yogyakarta.

Salah satu preman legendaris Jogja yang turut jadi korban petrus ialah Samudi Blekok. Pada masa jayanya, Blekok adalah jagoan yang memiliki tubuh kuat, kekar, dan berkulit hitam.

Di pinggangnya selalu terselip senjata kebanggaannya, yaitu sebuah trisula. Namun, di balik tampilan yang sangar itu, Blekok jago bermain gitar.

Blekok sering mengamen dan menghibur turis bule di Malioboro dengan lagu-lagu Rolling Stone. Samudi Blekok menjadi legenda Malioboro dan bule-bule menjulukinya Black Sam.

Saat operasi petrus memanas pada 1983, Blekok melarikan diri ke luar kota. Setelah menganggap situasi sudah aman, dia kembali ke Yogya dan beroperasi kembali di Malioboro.

Nahas, hanya beberapa hari beroperasi, Blekok ditemukan tewas mengenaskan di pinggir jalan di kawasan Kotagede. Wajahnya rusak.

Tim pencari fakta yang dipimpin Yosep Adi Prasetyo menemukan bukti bahwa petrus melibatkan TNI, polisi, garnisun, dan pejabat sipil. Yang menjadi korban ialah mereka yang dianggap memiliki masalah dengan hukum atau dianggap meresahkan masyarakat, seperti copet, preman, residivis, ataupun orang-orang yang memiliki ciri memiliki tato di tubuhnya.

Korban salah sasaran juga terjadi. Orang yang tidak bersentuhan dengan hukum juga menjadi korban, seperti petani, penjaga masjid, PNS.

Mereka menjadi korban hanya karena memiliki nama yang sama dengan target yang masuk daftar operasi. Daftar itu semua dipegang oleh militer.

Kekerasan petrus menjadi salah satu kejahatan paling berdarah di Indonesia. Ironisnya, paling banyak korbannya di Yogya.

Kemunculan klitih kali ini bisa jadi tidak terlalu mengagetkan bagi masyarakat Yogya yang tahu sejarah premanisme. Tentu tidak akan ada lagi operasi semacam petrus, tetapi masyarakat tetap berharap polisi bertindak cepat dan efektif.(***)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Malioboro & Baca Al-Quran


Redaktur : Antoni
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
Yogyakarta   Aksi Klitih   klitih   Petrus   Gali  

Terpopuler