jpnn.com - Jalan Malioboro merupakan ikon wisata Yogyakarta yang sekaligus menjadi landmark atau tengara budaya paling dikenal di Indonesia.
Ruas jalan sepanjang dua kilometer yang membentang dari gerbang timur Stasiun Tugu hingga Titik Nol atau depan Benteng Vredeburg itu seolah menjadi panggung terbuka bagi berbagai macam atraksi budaya, mulai kuliner, pengamen, sampai happening art dan flash mob oleh ratusan orang.
BACA JUGA: Madrasah & Nadiem Makarim
Yogya adalah pusat kreativitas. Pada suatu ketika, tanpa diduga-duga, ratusan orang menarikan jatilan bersama-sama dengan mengenakan kostum kasual. Ada yang memakai jins dengan kaus oblong, ada yang berbaju batik, ada yang berjaket sambil menggendong ransel, ada yang berhijab, ada yang mengenakan rok mini dengan tank top.
Setiap Selasa Wage, Malioboro menjadi jalur khusus untuk pejalan kaki atau pedestrian. Hal itu sekaligus sebagai upaya melestarikan budaya dan unjuk kreativitas.
BACA JUGA: Jokowi Uraa atau Oraa
Pada Selasa Wage, warga bebas menyusuri Malioboro tanpa gangguan kendaraan bermotor pribadi. Mereka bisa berjalan kaki, mengendarai sepeda, atau menaiki becak dan andong.
Pekan lalu ada tontonan yang agak beda. Bukan happening art maupun flash mob dalam bentuk jatilan atau kesenian tradisional lain, tetapi tontonan dalam bentuk membaca Al-Qur'an massal oleh ratusan orang.
BACA JUGA: Pendeta Saifuddin
Ada sekelompok ibu-ibu jemaah pengajian yang duduk berselonjor di trotoar sambil membaca Al-Qur'an. Ada bapak-bapak yang duduk di kursi taman sambil membaca kitab suci umat Islam itu. Ada juga sekelompok anak milenial dengan pakaian kasual membaca Al-Qur'an dari gadget.
Tontonan tak biasa ini menjadi viral di media sosial. Atraksi kolosal itu menarik karena terlihat spontan dan natural. Masing-masing peserta membaca sendiri-sendiri dengan suara lirih, dan banyak juga yang membaca tanpa bersuara. Terasa ada suasana khidmat dari atraksi itu.
Atraksi ini menjadi viral di media sosial karena unik. Namun, reaksi netizen, seperti biasanya, bermacam-macam. Ada yang tidak suka karena menganggapnya ria alias pamer. Ada yang tidak suka karena melihatnya sebagai upaya unjuk kekuatan atau show of force.
Namun, tentu saja, banyak juga yang mengapresiasi atraksi itu karena membaca Al-Qur'an boleh dilakukan di mana pun asal tempatnya bersih dan suci. Pertunjukan baca Al-Qur'an massal bisa menjadi motivasi bagi orang lain untuk aktif membacanya, apalagi minat baca masyarakat Indonesia secara keseluruhan masih sangat rendah.
Namanya juga netizen, komentarnya bisa serius, bisa juga asal bicara. Akan tetapi, komentar serius terhadap atraksi itu muncul dari Rektor UIN Yogyarakta Prof. Al Makin. Dia tidak suka dengan atraksi itu dan menganggapnya menjarah ruang publik.
Ruang publik seperti Malioboro tidak seharusnya dipakai untuk memamerkan ekspresi keagamaan. Prof Al Makin malah mengusulkan supaya pemerintah meregulasi ruang publik supaya tidak sembarangan dipakai untuk ekspresi keagamaan.
Di mana pun, yang namanya ruang publik atau public sphere adalah ruang yang terbuka untuk masyarakat. Bisa dipakai untuk apa saja, asal tidak melanggar aturan formal.
Malioboro adalah ruang publik yang terbuka untuk aktivitas apa saja. Menari, menyanyi, membaca puisi, atau ekspresi lainnya.
Membaca Al-Qur'an massal tidak diatur dalam agama. Namun, tradisi membaca Al-Qur'an massal menjadi budaya dan bagian dari syiar Islam.
Masyarakat Jawa mempunyai tradisi menyadran dan megengan menjelang Ramadan dengan mengunjungi makam orang tua atau leluhur. Tradisi itu merupakan pengaruh dari Hindu yang terus lestari sampai sekarang di beberapa daerah.
Beberapa kalangan Islam mengubah tradisi itu dengan memberinya napas. Membaca Al-Qur'an massal di Malioboro itu merupakan bagian dari tradisi pra-puasa yang coba diwarnai dengan warna yang lebih islami.
Di Jawa Timur, tradisi membaca Al-Qur'an massal dilakukan dalam bentuk khataman yang bisa diikuti puluhan dan ratusan orang. Sema’an Al-Qur'an yang dipimpin oleh kiai karismatik di Jawa Timur bisa diikuti oleh ribuan sampai puluhan ribu orang.
Kiai karismatik seperti almarhum K.H Hamim Jazuli alias Gus Mik, sangat terkenal dengan pengajian sema’an-nya. Setiap Gus Mik mengadakan sema’an, ribuan sampai puluhan ribu jemaah ikut menyimak sampai semalaman.
Dengan suara gemuruh yang seragam, semaa’an ala Gus Mik ini menjadi flash mob besar yang punya nilai artistik tinggi.
Tidak pernah ada yang memprotes Gus Mik. Siapa juga yang berani memprotes kiai karismatik sekelas Gus Mik.
Almarhum Gus Dur pun hormat kepada Gus Mik. Tidak pernah ada yang mengritik Gus Mik dengan menganggapnya menjarah ruang publik, seperti yang dikatakan Prof. Al Makin terhadap atraksi baca Al-Qur'an di Maliboro.
Baca Al-Qur'an di Malioboro itu tidak ada bedanya dengan atraksi-atraksi seni lainnya. Pada Februari 2020, Jalan Malioboro ditutup untuk tari massal siswa Akademi Angkatan Udara. Mereka menggelar flash mob membawakan tarian Beksan Wanara alias tarian monyet.
Tarian itu merupakan bagian dari fragmen epos Ramayana yang menggambarkan pasukan monyet pimpinan Hanuman membantu Pangeran Rama menyerang Rahwana di Alengka. Rahwana adalah penculik Dewi Sinta.
Flash mob kolosal itu diikuti 1.500 taruna dan perwira TNI Angkatan Udara yang berbaris merentang dari Tugu sampai ke perempatan Kantor Pos. Atraksi budaya tersebut menarik perhatian banyak turis yang menikmati kekayaan dan keragaman budaya Yogyakarta.
Atraksi massal ini memecahkan rekor ‘Lembaga Prestasi Indonesia dan Dunia’ untuk kategori flash mob tari tradisional dengan peserta terbanyak.
Atraksi serupa dengan jumlah yang lebih kecil dilakukan puluhan personel polisi di Kepatihan, kompleks Pemda Daerah Istimewa Yogyakarta. Mereka menarikan poco-poco secara massal dan menyanyi bersama-sama.
Pada kesempatan lain, di ujung Malioboro, di teras Museum Sonobudoyo, puluhan orang duduk lesehan membawakan tembang-tembang Macapat secara bergantian, dan sesekali membaca bersama-sama. Puluhan orang mengikuti acara itu setiap Selasa Wage.
Acara bisa berpindah-pindah di sepanjang Malioboro. Secara bersama dan bergantian, mereka melantunkan lagu Gambuh, Kinanthi, Pangkur, dan Pucung. Bukan hanya dalam bahasa Jawa, tetapi juga diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, sehingga bisa dipahami oleh audiens.
Ekspresi keagamaan di ruang publik adalah hal yang lazim di Indonesia. Tidak ada protes terhadap ekspresi keagamaan itu.
Di wilatyah yang kebetulan Islam menjadi mayoritas, ekspresi keagamaan itu bercampur menjadi budaya dan dilakukan dalam banyak momen. Ada pawai menjelang Ramadan atau pada hari-hari besar Islam. Ada takbir keliling saat malam Idulfitri, dan banyak lagi ekspresi di ruang publik yang diterima sebagai bagian dari budaya.
Di Bali ada pawai ogoh-ogoh yang meriah dan atraktif setiap menjelang Hari Raya Nyepi. Ogoh-ogoh bukan sekadar ekspresi keagamaan, tetapi sudah menjadi bagian dari budaya.
Upacara ngaben juga diekspresikan secara kolosal di ruang publik, terutama ketika yang meninggal adalah elite sosial. Ngaben adalah ritual Hindu yang sudah menyatu menjadi budaya Bali.
Ruang publik harus tetap bebas dari intervensi dan infiltrasi kekuasaan negara. Begitulah seharusnya kondisi public sphere yang diidamkan oleh Habermas. Sebuah ruang yang bebas dipergunakan oleh siapa saja untuk mengekspresikan pandangannya sebagai warga negara.
Pemerintah tidak perlu terlalu campur tangan mengurusi ruang publik. Mengatur volume TOA masjid adalah intervensi terhadap ruang publik. Mengatur atraksi apa saja yang boleh dan tidak boleh diperagakan di Malioboro adalah intrusi terhadap ruang publik.
Negara punya banyak urusan yang lebih urgen daripada sekadar mengatur TOA masjid dan orang baca Al-Qur'an di tempat umum.(***)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Gus Dur & Sertifikasi Halal
Redaktur : Antoni
Reporter : Cak Abror