jpnn.com - JAKARTA - Wakil Ketua Komisi Nasional Disabilitas (KND) Deka Kurniawan mengatakan kebijakan inkulsi harus dilakukan secara total di berbagai sektor, supaya pandangan terhadap penyandang disabilitas dapat berbasis pemenuhan hak asasi manusia, bukan rasa iba. Dia pun menekankan bahwa persoalan inklusi di Indonesia jangan hanya sekadar menjadi wacana atau omongan belaka.
"Inklusifitas itu adalah pengakuan dan penerimaan terhadap berbagai keberagaman dan perbedaan, dan upaya untuk memastikan setiap individu yang memiliki keberagaman atau perbedaan itu memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi di semua bidang," kata Deka.
Dia menyampaikan itu dalam seminar "Inklusi Prima, Disabilitas Berkarya, Banten Maju," yang digelar Jurnalis Kreatif dan IDP-LP berkolaborasi dengan Universitas Islam Syekh-Yusuf (UNIS) Tangerang di Aula Lama UNIS, Rabu (30/10).
Selain Deka, seminar mengangkat pemenuhan hak disabilitas ini turut menghadirkan dua narasumber, yakni Rektor UNIS Mustofa Kamil dan Direktur IDP-LP Riko Noviantoro. Adapun Penjabat Wali Kota Tangerang Nurdin menjadi keynote speaker dalam seminar tersebut.
BACA JUGA: Polda Kalteng dan Kemensos Salurkan 30 Kursi Roda ke Penyandang Disabilitas
"Ketika kita berbicara inklusi yang prima, artinya yang terbaik. Kalau masih ada disabilitas terhambat, maka belum disebut prima," lanjut Deka.
Dia menilai bahwa Indonesia memang sudah melakukan berbagai upaya inklusi, tetapi belum maksimal.
BACA JUGA: KND Teken MoU dengan PTN & PTS Demi Wujudkan Kampus Inklusi
Menurut dia, perhatian pemerintah soal pendidikan inklusi pun juga ada.
Namun, Deka mengatakan bahwa disabilitas harus ditangani secara keseluruhan.
"Bukan hanya pendidikannya, tetapi juga kesehatannya, pekerjaannya, dan lainnya," kata dia.
Deka menjelaskan bahwa persoalan terkait disabilitas terbagi menjadi tiga indikator, yakni regulasi, proses implementasi kebijakan yang dikeluarkan, dan hasil berupa gambaran berapa banyak penyandang disabilitas terpenuhi haknya.
Dia mengatakan meski negara memiliki tanggung jawab terhadap persoalan disabilitas, dukungan berbagai pihak termasuk swasta dan elemen masyarakat juga penting.
Sosialisasi secara masif juga perlu dilakukan agar masyarakat sadar akan pemenuhan hak disabilitas.
Deka pun mengungkap beberapa temuan dari tiga rangkaian diskusi yang telah digelar Jurnalis Kreatif dan IDP-LP bersama sejumlah universitas di Jakarta dan Tangerang.
Fakta mendasar, kata dia, masyarakat dalam dunia pendidikan, kampus, dan khalayak umum, ternyata masih banyak belum memahami disabilitas.
"Ini temuan fakta bahwa masalah disabilitas itu masih sangat berat. Jangankan untuk pemenuhan hak, perlindungan dan perhormatan, perihal prespektif soal disabilitas saja masih awam. Keterbatasan pemahaman itu karena lingkungan yang belum inklusi. Diperlukan kegiatan yang lebih gencar, masif dan intensif di banyak tempat," katanya.
Dia pun menyebut Kementerian Komunikasi dan Digital seharusnya mengambil peran penting mendukung berbagai kegiatan sosialisasi program pemerintah, termasuk persoalan inklusi.
Sementara, Mustofa Kamil menilai pemenuhan hak disabilitas di Indonesia belum terlihat berdasarkan hati nurani, tetapi masih sebatas menggugurkan kewajiban.
Dia berharap Indonesia bisa mencontoh negara lain, salah satunya Jepang, dalam pemenuhan hak disabilitas.
Menurut dia, Jepang telah menjadi contoh ramah disabilitas, yang fasilitas pendukung terbilang lengkap hingga hal-hal detail kecil.
Pembeda lainnya adalah mental masyarakat Jepang yang memiliki kesadaran atas hak penyandang disabilitas hingga proses inklusi pendidikan yang mengikuti keterbatasan penyandang disabilitas.
Nurdin menyampaikan Pemkot Tangerang telah melakukan berbagai upaya untuk pemenuhan hak disabilitas. Pemkot telah menerbitkan Perda Kota Tangerang Nomor Tahun 2021 tentang Penghormatan, Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas, sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Disabilitas.
Implementasi perda itu, di antaranya, keberadaan 53 sekolah inklusi tingkat SDN dan 13 SMPN Inklusi.
Dia menyebut bantuan operasional sekolah daerah (BOSDA) untuk SDN Inklusi Rp 100 juta per tahun, SMPN Inklusi Rp 200 juta per tahun.
Selama dua tahun terakhir, Pemkot Tangerang juga telah menyalurkan 455 jenis alat bantu kesehatan untuk penyandang disabilitas.
Sementara, untuk bantuan sosial, Pemkot Tangerang telah menyalurkan ke 594 penerima manfaat di 2023, dan 467 penerima manfaat di tahun ini.
Dia menambahkan Dinas Ketenagakerjaan Kota Tangerang juga memfasilitasi penyandang disabilitas untuk memperoleh pekerjaan melalui gelaran job fair khusus disabilitas.
"Alhamdulillah disabilitas masuk ke perusahaan, walaupun ada kesulitan kami mendorong terus pengusahanya tetap komitmen terhadap pemenuhan hak disabilitas," katanya.
Di bidang kesehatan, RSUD Kota Tangerang sejak 2023 telah memiliki layanan bengkel ortotik prostetik untuk pembuatan kaki palsu, ankle foot orthosis (AFO), knee ankle foot orthosis (KAFO), serta conginetal talipes equines varus (CTEV).
Pemkot Tangerang juga memberikan dukungan di bidang seni dan olahraga terhadap penyandang disabilitas.
Selain itu, sebagai upaya mengurangi hambatan di bidang pendataan penduduk, Disdukcapil Kota Tangerang memberikan layanan e-KTP bagi disabilitas, lansia dan ODGJ.
Tak hanya itu, pelayanan ramah disabilitas juga dilakukan dengan menciptakan kantor ramah disabilitas, pemutakhiran website ramah disabilitas, serta form permohonan dengan huruf braile.
Sementara itu, Deka Kurniawan mengapresiasi upaya yang dilakukan Pemkot Tangerang.
Namun, dia mengingatkan pemda tak boleh berpuas diri atas pemenuhan hak disabilitas menyangkut standar minimum.
Deka juga mewanti-wanti bahwa indikator pemenuhan hak bukan hanya regulasi, proses dan hasil, tetapi berapa banyak yang tidak terdata. (*/boy/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Kusdharmadi