jpnn.com, JAKARTA - Pengamat politik yang juga Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago menilai Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) mempunyai ikatan yang lebih kuat.
Pasalnya, koalisi tersebut direkatkan dengan landasan programatik dibanding koalisi yang direkatkan dengan basis kandidat yang dinilai lebih rapuh.
BACA JUGA: Pencapresan KIB Akan Berpengaruh pada Konstelasi Politik Nasional
“Jadi, wajar koalisi gampang rapuh jika bukan berbasiskan platform ideologi atau programatik," tegas Pangi di Jakarta, Kamis (8/12/2022).
Partai Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) terdiri atas Golkar, PAN, dan PPP mempunyai visi-misi koalisi yang terbingkai dalam Program Akselerasi Transformasi Ekonomi Nasional (PATEN).
BACA JUGA: KIB Inginkan Pemilu 2024 Sebagai Pesta Rakyat, Mas Aditya Merespons Begini
Program tersebut menjadi perekat antara partai anggota koalisi. KIB lebih memilih pendekatan program dibanding pendekatan sosok nama capres.
Meski demikian, Pangi menilai KIB juga bertumpu pada pendekatan yang lebih transaksional dan pragmatis serta bisa menampung semua partai.
BACA JUGA: Catatan Pengamat Soal Dinamika Pencapresan di KIB, Simak
“Lem perekat koalisinya pendekatan transaksional dan pragmatis, lebih ke match all party,” ujar Pangi.
Direktur Eksekutif IPRC Firman Manan mengatakan awalnya KIB merupakan koalisi yang maju dengan program sebelum menentukan Capres mereka.
“KIB di awal mereka bicara platform sempat mengeluarkan manifes politik, program ekonomi (PATEN), tetapi memang kelihatannya ada pergeseran, terutama pasca deklarasi Anies, kekuatan politik itu kembali fokus mencari kandidat,” ujar Firman.
Partai Golkar bergabung dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) bersama PPP dan PAN.
Golkar memiliki suara terbesar dan sampai saat ini masih sepakat mengusung Ketum Golkar Airlangga Hartarto sebagai Capres.
Koalisi Besar
KIB saat ini masih membangun komunikasi tentang Capres, dan tengah menunggu kedatangan anggota baru.
Firman mengatakan dalam sebuah koalisi, partai yang memiliki suara terbesar berpeluang untuk mengajukan Calon Presiden (Capres) mereka.
“Pada akhirnya partai yang punya suara besar punya potensi lebih menentukan siapa yang menjadi Capres. Misalnya Golkar tentu punya peluang besar,“ kata Firman, Kamis (8/12).
“Perlu dilihat apakah partai yang bergabung apakah dengan suara signifikan atau tidak. Kalau suaranya signifikan mungkin tadi, asumsi malah menambah calon baru. Tetapi kalau suara tidak signifikan, saya pikir tidak muncul nama baru,” ungkap Firman yang juga Dosen Departemen Ilmu Politik Universitas Padjadjaran ini.
Lebih lanjut Firman mengatakan sejak 2004 mulai muncul bentuk koalisi besar. Hal ini yang tampaknya masih berlangsung sampai sekarang. Bukan hanya KIB yang membuka diri, namun juga koalisi lain seperti Gerindra-PKB.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari