jpnn.com, JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai revisi UU TNI saat ini tidak diperlukan.
Hal itu disampaikan Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al Araf dalam diskusi bertema "Problematika Revisi UU TNI Ditinjau dari Perspektif Hukum, Politik, dan Hak Asasi Manusia” kerja sama PBHI dan FISIP Universitas Parahyangan Bandung, Rabu (21/6).
BACA JUGA: Draf Revisi UU TNI Disorot, Dianggap Kemunduran Bagi Demokrasi
Al Araf menyebut saat ini yang dibutuhkan sejatinya bukan melakukan revisi UU TNI, melainkan membuat produk kebijakan pertahanan negara, seperti perubahan doktrin, kebijakan pertahanan negara, strategi pertahanan.
"Paradigma pertahanan kita masih inward looking, bukan outward looking. Indikasinya adalah penguatan struktur komando teritorial yang makin gencar dilakukan," ucapnya sebagaimana siaran pers diterima di Jakarta.
BACA JUGA: Nasib 2 Oknum Polisi Pemerkosa Mbak MS setelah Irjen Lotharia Keluarkan Perintah, Rasakan!
Dia menjelaskan bahwa pengamat dari dalam dan luar negeri menilai demokrasi Indonesia mengalami regresi, seperti menurunnya kebebasan sipil, termasuk dalam agenda reformasi sektor keamanan.
"Belajar dari pengalaman negara lain yang demokrasi mengalami kemunduran, salah satunya ditandai ketika militer keluar dari fungsinya sebagai alat pertahanan negara, bermain politik, sehingga melahirkan banyak persoalan," tuturnya.
BACA JUGA: Ini Lho 2 Penganiaya Anggota TNI dari Denintel Kodam Pattimura
Peneliti senior Imparsial itu berpendapat bahwa substansi draf RUU TNI akan membuat militer makin keluar jauh dari barak, bahkan fungsinya tidak lagi fokus ke sektor pertahanan tetapi juga mencakup keamanan dalam negeri.
Dia mengingatkan bahwa arah paradigma politik hukumnya bukan untuk mendorong profesionalisme tetapi sebaliknya akan melemahkan. Sebab, dengan substansi revisi yang akan diajukan, perwira TNI aktif dapat menduduki jabatan-jabatan sipil yang makin luas dari ketentuan yang diatur dalam UU TNI saat ini.
"Hal ini akan mengembalikan dwifungsi seperti yang diterapkan pada masa orde baru," ucap Al Araf.
Persoalan lain yang dia sorot dari draf revisi UU TNI adalah kewenangan presiden dalam mengerahkan pasukan dihapus, di mana TNI dapat mengerahkan pasukan tanpa keputusan politik presiden.
"Kemudian, paradigmanya memperluas fungsi militer dari pertahanan ditambah menjadi alat keamanan negara," tuturnya.
Dalam forum yang sama, Dosen HI Unpar Nara Prima S menyampaikan beberapa poin dalam revisi RUU TNI yang bakal menyimpan masalah, khususnya terhadap konflik sosial di Indonesia.
"Karena revisi ini memperbesar fungsi TNI dari pertahanan ke keamanan. TNI akan sering bersentuhan dengan konflik-konflik sosial di Indonesia. Ketika dihadapi oleh TNI, konflik akan mengeskalasi menjadi lebih besar," jelasnya.
Dengan begitu, kata Nara, akar konfliknya tidak terselesaikan, seperti isu diskriminasi dan ketidakadilan, selesainya hanya dipermukaan saja.
"Dengan adanya revisi ini, apakah TNI akan banyak dilibatkan dalam proses mediasi konflik atau tidak? TNI sejatinya tidak dibekali kemampuan untuk negosiasi dan mediasi," jelasnya.
Nara menyebut keterlibatan TNI dalam penanganan konflik sosial sering kali adalah sebagai pihak yang berkonflik sehingga menyebabkan aparat selalu bertujuan untuk memenuhi tugasnya, yaitu meredam konflik. Yang penting aman, kalau perlu dengan cara koersif.
"Dalam menyelesaikan konflik, aparat tidak bisa menggunakan cara-cara koersif. Dalam penanganan konflik isu agama, aparat terpengaruh unsur subjektif. Hal ini pernah terjadi dalam kasus konflik di Ambon," ucap Nara.
Dia menyebut pelibatan TNI dalam membangun kerukunan umat beragama terpola dalam logika primordial vs logikasi ketertiban. Lalu, muncul pertanyaan apakah mereka netral atau tidak.
"Ketika aparat TNI dilibatkan dalam penanganan konflik, tolok ukurnya adalah ketertiban. Hal itu tentu hanya penyelesaian dipermukaan. Sementara akar masalahnya tidak terselesaikan. Maka ke depan akan muncul masalah lagi yang serupa," tuturnya.(fat/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam