jpnn.com, JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil mengkritik keputusan pemerintah menerbitkan surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri dan tiga pimpinan lembaga tentang Larangan Kegiatan Penggunaan Simbol dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan FPI (Front Pembela Islam).
Koalisi menyadari, FPI acap kali melakukan berbagai kekerasan, provokasi kebencian, sweeping, serta pelanggaran-pelanggaran hukum lain.
BACA JUGA: FPI Dibubarkan Pemerintah, Komunitas Sarjana Hukum Muslim Gunakan Istilah Diktator
Namun, koalisi tetap tidak terima ketika pemerintah sewenang-wenang dengan melarang aktivitas FPI berdasar SKB tersebut.
"SKB FPI bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum, khususnya terkait kebebasan berkumpul dan berserikat," tulis pernyataan resmi koalisi yang dikirimkan peneliti Komisi Untuk Orang Hilang dan Korbang Tindak Kekerasan (KontraS) Rivanlee Anandar kepada jpnn, Kamis (31/12).
BACA JUGA: Munarman Dkk Membentuk FPI Baru, Ferdinand Meradang
Menurut Koalisi Masyarakat Sipil, setidaknya terdapat beberapa permasalahan dalam SKB pelarangan aktivitas FPI itu.
Misalnya saja pernyataan bahwa organisasi yang tidak memperpanjang atau tidak memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT), dianggap sebagai organisasi yang secara de jure bubar. Pernyataan tersebut dianggap koalisi tidaklah tepat.
BACA JUGA: 4 Pengakuan Gisel, yang ke-3 Bikin Berdecak, Ditutup Pesan Kombes Yusri
"Konsekuensinya, organisasi yang tidak memiliki SKT dikategorikan sebagai organisasi yang tidak terdaftar, bukan dinyatakan atau dianggap bubar secara hukum," tulis pernyataan resmi koalisi.
Selain itu, terhadap para anggota FPI yang diduga melanggar peraturan perundang-undangan, penegak hukum seharusnya menindak dengan menggunakan pasal-pasal di KUHP secara konsisten.
"Bukan justru melakukan pembiaran terhadap individu-individu yang melanggar dan menunggu pemerintah membubarkan organisasi FPI," ungkap koalisi.
Sejak UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan diubah dengan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 dan kemudian disahkan menjadi UU Nomor 16 Tahun 2017, prosedur pembubaran organisasi kemasyarakatan tidak lagi melalui mekanisme peradilan.
Prosedur itu kini dipersingkat dan hanya dilakukan sepihak oleh pemerintah.
Sejak perubahan tersebut, setidaknya sudah dua organisasi dibubarkan, yaitu Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Perkumpulan ILUNI UI.
"Penggunaan UU Ormas untuk membubarkan organisasi secara sepihak jelas bertentangan dengan prinsip negara hukum yang mengutamakan pelindungan hak-hak warga, dalam hal ini kebebasan berkumpul dan berserikat," tulis koalisi.
"Seharusnya, mekanisme penjatuhan sanksi, termasuk berupa pembubaran, terhadap organisasi, dilakukan melalui mekanisme peradilan. Hal ini mengingat bahwa, pada dasarnya, setiap kesalahan subjek hukum harus dibuktikan terlebih dahulu di hadapan pengadilan sebelum subjek hukum tersebut dijatuhi sanksi," beber koalisi.
Sebagai informasi, sejumlah organisasi turut tergabung dalam koalisi masyarakat sipil ini.
Antara lain KontraS, Institute Perempuan, LBH Masyarakat (LBHM), Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers), PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesa), PSHK (Pusat Studi Hukum & Kebijakan), SAFENET (Southeast Asia Freedom of Expression Network), YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), dan YPII (Yayasan Perlindungan Insani Indonesia).
Sebelumnya, pemerintah menerbitkan surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri dan tiga pimpinan lembaga tentang Larangan Kegiatan Penggunaan Simbol dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan FPI.
Surat itu diteken Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate, Jaksa Agung ST Burhanuddin, Kapolri Idham Azis, dan Kepala BNPT Boy Rafli Amar.
Dalam pertimbangannya, tiga menteri dan tiga pimpinan lembaga menerbitkan SKB tertanggal 30 Desember itu untuk menjaga eksistensi Pancasila dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Bahwa untuk menjaga eksistensi ideologi dan konsensus dasar bernegara, yaitu Pancasila, UUD RI 1945, keutuhan NKRI dan Bhinneka TUnggal Ika," ucap Wamenkumham Eddy Omar Sharif Hiariej saat membacakan SKB tiga menteri dan tiga pimpinan lembaga yang disiarkan akun Youtube Kemenko Polhukam, Rabu.
Kemudian, kata Eddy, SKB diterbitkan setelah melihat anggaran dasar FPI yang melanggar Pasal 2 UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 16 Tahun 2017 tentang penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang perubahan atas UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas menjadi UU.
Pertimbangan berikutnya, kata Eddy, FPI tidak kunjung memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dari Kemendagri. SKT FPI sebagai Ormas hanya berlaku per 20 Juni 2019.
"Sampai saat ini FPI belum mememnuhi persyaratan untuk memperpanjang SKT tersebut. Oleh sebab itu secara De Jure terhitung mulai tanggal 21 Juni 2019 FPI dianggap bubar," tutur Eddy. (ast/jpnn)
Video Terpopuler Hari ini:
Redaktur & Reporter : Aristo Setiawan