Kesia Putri Kurnianta merasa dirinya tegas, meski jarang mengekspresikan amarah ketika bekerja di dapur.

Namun ketika masih bekerja sebagai 'head pastry chef' di restoran Bennelong di Sydney, suatu masalah besar terjadi hingga ia merasa sangat marah hingga mengejutkan koki lainnya.

BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Suku Bunga di Australia Naik Lagi, Pengangguran Dikhawatirkan Naik

"Mereka tidak pernah melihat saya marah seperti itu," katanya.

"Mungkin mereka pernah melihat saya kesal, tapi tidak pernah ketika saya benar-benar marah."

BACA JUGA: Kisah Perempuan Australia Harus Berpura-pura Seperti Orang Kulit Putih di Tempat Kerja

Perawakan Kesia yang kecil memang membuatnya merasa tidak didengarkan oleh anggota timnya.

Selain itu, ia adalah seorang perempuan yang bekerja di industri kuliner yang secara umum didominasi koki laki-laki.

BACA JUGA: Anies di Australia

"Itu tantangannya, kita masih harus membuktikan kemampuan diri sendiri apalagi kalau secara fisik kita tidak terlihat mengintimidasi," katanya.

"Waktu awal kerja, semua orang pasti beranggapan 'oh, anak ini enggak kuat', jadi kita sendiri yang harus membuktikan kalau kita bisa kerja."

Kesia mendalami industri kuliner sejak mengambil ilmu 'pastry' di Universitas Trisakti sebelum melanjutkan pendidikannya diploma di Le Cordon Bleu London pada tahun 2013.

Pada tahun 2015, ia terbang ke Sydney untuk menempuh pendidikan S1 Manajemen Bisnis Restoran di Le Cordon Bleu dan sempat bekerja di Art Plate sampai berganti nama menjadi KOI Dessert Bar.

Kesia bekerja di restoran Bennelong di Sydney Opera House selama empat tahun sebelum bertolak ke Indonesia pada tahun 2019.

Sepulangnya ke Indonesia, ia bekerja di Akar Restaurant and Bar sebelum mengembangkan toko roti secara online dan membuka pop-up di Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Bali.

Meski koki laki-laki dianggap mendominasi, ia kini telah melihat lebih banyak koki perempuan.

"Saya merasa sudah ada lebih banyak koki perempuan yang berbakat," ujarnya.

"Mungkin mereka belum terekspos saja."Dorongan untuk menjadi pemimpin

Sendura Lim juga merasa semakin banyak perempuan sudah mulai berani untuk terjun ke industri kuliner.

Di restoran The Botanist di mana ia menjadi head chef, misalnya, Sendura mengatakan 80 persen koki di dapurnya adalah perempuan.

"Kita cocok secara kerjaan dan mungkin secara personality, jadi klop," katanya.

Sendura yang sudah menjadi koki selama 14 tahun pertama memulai kariernya di hotel Hilton Sydney sebagai 'commis chef' dan 'chef de partie'.

Ia kemudian pindah ke Queensland pada tahun 2015 dan bekerja di Sheraton Grand Mirage Resort, Port Douglas selama empat tahun hingga menempati posisi sous chef.

Ketika kembali ke Sydney, Sendura melanjutkan pekerjaannya di hotel dan perusahaan katering hingga akhirnya menjadi seorang head chef di restoran The Squire's Landing pada tahun 2021.

Ia merasa beruntung karena hampir setiap kali memiliki pemimpin yang percaya pada kemampuan koki perempuan seperti dirinya.

Jejak kariernya menjadi bukti bahwa koki perempuan juga bisa menduduki posisi pemimpin di tempat kerja meski banyak rintangan. 

Salah satu rintangan yang sempat dihadapi Sendura adalah ketika ia meminta untuk dipromosikan jabatan tapi ditolak karena dianggap tidak sekompeten atasannya yang laki-laki.

"Saya dianggap kurang tenang dan sangat emosional," katanya.

Setelah memutuskan untuk mengundurkan diri, pihak restoran menawarkan posisi tersebut namun dengan bayaran 20 persen lebih rendah dari gaji koki laki-laki dengan jabatan yang sama.

Namun, ia mengatakan tidak seharusnya pengalaman pahit dan "prasangka" terhadap koki perempuan mematikan harapan.

"Dari pandangan saya, untuk para perempuan, jangan takut menjadi pemimpin karena tidak berani berbicara dan menyampaikan perasaan kita sendiri karena takut dihakimi," ujarnya.

"Karena menurut saya orang yang bisa menjadi pemimpin itu seseorang harus terbuka dalam artian bisa menerima dan memberikan feedback dengan baik."'Banyak yang lebih tangguh'

Sri Rosa Dewi, yang akrab disapa Ocha, bekerja sebagai seorang 'pastry chef' yang menyiapkan makanan penutup di restoran bernama Petition di Perth.

Sebelumnya, ia sempat bekerja di Rockpool Bar & Grill dan beberapa restoran dan toko roti di Melbourne.

Berbekal lima tahun pengalaman, Ocha menilai pekerjaan di dapur memang "memberatkan secara fisik."

"Kita harus angkat barang-barang berat, satu karung gula saja misalnya sudah 25 kilogram, kita juga harus angkat-angkat daging," katanya.

"Memotong daging kan juga butuh tenaga. Apalagi untuk orang yang bekerja di depan grill atau wajan, panasnya luar biasa."

Semakin lama, Ocha merasa terbiasa dengan beban kerja demikian. Namun, tidak dapat disangkal stigma terhadap koki perempuan masih tetap ada.

"Kalau bekerja dengan laki-laki [di dapur], mereka menganggap perempuan itu lebih lemah, misalnya enggak kuat angkat apa-apa," katanya.

"Ya memang benar sih ada beberapa perempuan yang memang enggak kuat, tapi banyak juga perempuan yang kalau saya lihat malah lebih tangguh daripada laki-laki yang ada di dapur."

Ocha menilai bahwa koki perempuan lebih tangguh secara fisik dan emosional dan juga adalah pemimpin yang hebat.

"Misalnya ketika sedang ramai pesanan, mereka enggak terlalu stress dan lebih bisa handle pressure," katanya.

Di sisi baiknya, Kesia merasa bahwa peluang bagi koki perempuan semakin terbuka lebar dengan semakin majunya pemikiran para pelaku industri kuliner.

"Kalau di restoran dengan koki generasi sekarang, menurut saya sih pola pikir bahwa perempuan lebih rendah dari laki-laki enggak ada," katanya.

"Harapannya semoga semakin banyak restoran melakukan hal yang sama."

BACA ARTIKEL LAINNYA... Populasi Serangga Dunia Menurun, Apa Dampaknya Bagi Perkebunan?

Berita Terkait