Kombinasi Elegan, Ekonomi Menggeliat Tanpa Abaikan Protokol Kesehatan

Rabu, 08 Juli 2020 – 21:13 WIB
Chief Economist BNI Ryan Kiryanto. Foto: tangkapan layar webinar/jpnn

jpnn.com, JAKARTA - Chief Economist BNI Ryan Kiryanto menilai pemerintah Indonesia telah mengambil langkah penyelamatan ekonomi di masa pandemi Covid-19 tanpa meninggalkan protokol kesehatan.

Ryan menyampaikan itu dalam webinar bertema Satukan Negeri, Majukan UMKM hasil kerja sama jpnn.comGenPI.co dan BNI, Rabu (8/7).

BACA JUGA: Pandemi Covid-19 Belum Berakhir, UMKM Diminta Siapkan Napas Panjang Untuk Mendaki

Menurut Ryan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada April lalu menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19. DPR lantas menyetujui Perppu itu menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020.

Selanjutnya, UU itu ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Pemerintah lantas melakukan injeksi kapital dengan menempatkan dana di bank Himbara, melakukan restrukturisasi  kredit, serta menyediakan program penjaminan bagi usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).

BACA JUGA: Wow, BNI Siap Salurkan Kredit Sebesar Ini

Ryan menjelaskan, pemerintah berupaya mendongkrak daya beli masyarakat. Sebab, inflasi pada kuartal pertama (Q1) 2020 rendah karena sebagian masyarakat mengalami penurunan daya beli karena menganggur dan sulit mencari pekerjaan baru.

“Jadi, untuk mencegah kebangkrutan pengusaha maupun UMKM perlu diinjeksi atau diberi infus,” katanya.

BACA JUGA: Hamdalah, Para Pelaku UMKM Mulai Merasakan Manfaat Program PEN

Lebih lanjur Riyan memerinci, inflasi pada Juni 2020 hanya 0,18 persen. Sementara, inflasi tahunan 1,96 persen atau di bawah proyeksi Bank Indonesia (BI) di angka 3 persen.

Berdasar histori, kata Ryan, inflasi Mei dan Juni itu seharusnya tinggi karena  bertepatan dengan Ramadan dan Idulfitri. Namun, saat momen itu terjadi di masa pandemi Covid-19, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) hingga larangan mudik.

Menurut dia, penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia secara nasional masih Pulau Jawa yang bisa dilihat dari rata-rata inflasi masih di angka 2,6 persen. Namun, empat provinsi di Jawa mulai DKI Jakarta sampai Jawa Timur serentak menerapkan PSBB. 

“Jadi bisa bayangkan seandainya Pulau Jawa tidak menerapkan PSBB, inflasi lebih tinggi. Inflasi adalah indikator bahwa kegiatan ekonomi dan konsumsi bergerak dengan baik,” katanya.

Ryan menjelaskan konsumsi rumah tangga (KRT) selama ini selalu tumbuh di atas lima persen. Namun, pada Q1 2020 hanya 2,84 persen.

Dia meyakini KRT pada Q2 2020 akan lebih rendah lagi. Sebab pertumbuhan KRT pada Q1 2020 atau sebelum adanya PSBB masih minim.

Setelah adanya PSBB, larangan mudik, bepergian, wisata, dan sebagainya, Ryan memprediksi KRT akan tumbuh di antara 1-2 persen. “Sehingga overall, product domestic bruto pada Q2 mencapai minus tiga hingga minus empat persen. Mudah-mudahan pada Q3 dan Q4 naik positif,” ujarnya.

Ryan menjelaskan, pada Q1 2020 atau sebelum adanya Covid-19, sektor primer seperti pertanian, pertambangan, infrastruktur hanya tumbuh 0,18 persen. Sektor tersier seperti perdagangan, transportasi, informasi, keuangan dan lainnya saat itu tumbuh di angka 4,26 persen.

Oleh karena itu Ryan menduga Q2 ini posisinya berubah. Sektor tersier mungkin menurun. Sektor primer dan sekunder naik.

Dia mengatakan, sebagaimana yang telah disampaikan pemerintah bahwa batas skenario sangat berat untuk pertumbuhan ekonomi adalah -0,4 persen. Pada skenario berat, dengan catatan tidak ada gelombang kedua Covid-19, ekonomi bisa tumbuh 1,0 pesen.

“Kalau hitungan kami di BNI semestinya 0,1 persen bisa,” katanya.

Oleh karena itu, kata Ryan, pemerintah mendorong kegiatan perekonomian tanpa melupakan sektor kesehatan dan keselamatan masyarakat.  “Saya kira ini kombinasi elegan, ekonomi menggeliat tetapi tanpa melepaskan perinsip protokol kesehatan,” ulasnya.

Menurut dia, kegiatan ekonomi pada Juli 2020 yang mulai bergerak lagi maka bisa menjadi terobosan untuk tumbuh lebih baik. Dia mengharapakan PDB pada Q3 2020 tidak negatif.

Secara teori ekonomi bila suatu negara pertumbuhan ekonominya negatif pada dua kuartal, berarti sudah mengalami resesi. “Mudah-mudahan kita seperti itu, karena tidak baik,” katanya.

Ryan menjelaskan pemerintah memprediksi pertumbuhan kredit 6-8 persen. Namun, dia memperkirakan pertumbuhan kredit secara industri perbankan hanya sekitar tiga persen.

“Karena apa, boro-boro orang pinjam kredit, sekarang yang terjadi banyak debitur datang ke kantor bank meminta pinjamannya direstrukturisasi. Kebetulan ada Peraturan OJK Nomor 11 itulah yang dipakai untuk memperbaiki kesehatan ekonomi debitur pengusaha termasuk UMKM,” ungkapnya.(boy/jpnn) 

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler