Komunitas Tionghoa "Gedung Gajah" Berbenah Menjelang Imlek (1)

Tetap Utuh setelah Dua Kali Kerusuhan Solo

Senin, 12 Januari 2009 – 00:14 WIB
POTRET PLURALITAS: Anak-anak berlatih berlatih olahraga beladiri taekwondo di kompleks Gedung Gajah, Jalan Juanda, Solo. Foto : Ichwan Gembeng Prihantono/Radar Solo/JPNN

Perayaan Imlek tinggal dua pekan lagiDi Solo, Jawa Tengah, Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS), organisasi komunitas Tionghoa tertua yang masih eksis di Indonesia, merayakan dengan cara agak berbeda

BACA JUGA: Petra Odebrecht, Caleg DPR RI asal Jerman yang Bertarung di Dapil Bali

Apa kunci sukses organisasi itu sehingga bisa eksis hingga 77 tahun?

LEO TEJA KUSUMA, Solo

PULUHAN anak berusia belasan tahun memasuki Gedung Gajah yang berlokasi di kawasan Jalan Juanda, Solo
Dari pakaiannya, dobok, anak-anak sedang berlatih olahraga beladiri taekwondo

BACA JUGA: Mimi M. Lusli, Tunanetra ”Jembatan Komunikasi” dengan Orang Normal


Meski gedung legendaris itu markas PMS (d/h Chuan Min Kung Hui), kebanyakan di antara mereka berkulit sawo matang
Hanya beberapa yang berasal dari etnis Tionghoa

BACA JUGA: Tepis Sebutan Jompo, Hakim Agung Beber Kiat Jaga Kebugaran (2-Habis)

Begitu masuk gedung, anak-anak tersebut langsung menuju bagian belakang.

Berbeda dengan Gedung Gajah yang masih mempertahankan arsitektur lama, gedung latihan dan kantor utama Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS) yang berlantai dua itu sudah direnovasi layaknya gedung modernRuangannya ber-AC dengan kursi nyaman, dilengkapi meeting room berkapasitas 50 orangGedung Gajah dan gedung baru di belakangnya menempati areal sekitar 3.800 meter persegi yang tanahnya berharga Rp 1,4 juta per meter persegi.

Di halaman gedung, sebuah patung gajah berwarna emas berdiri di atas fondasi setinggi dua meterPatung itu berada di sana selama 72 tahunYakni, sejak dihibahkan seorang penyumbang kepada Chuan Min Kung Hui, nama pertama PMSDi sisi kanan tampak pula sebuah balai pengobatan yang biasa dimanfaatkan jasanya oleh warga sekitarKlinik kesehatan yang kadang-kadang menggratiskan biaya kepada warga kurang mampu itu ditandai dengan papan nama sepanjang tiga meter.

Hari itu (3/1) tampak lima orang pria berkutat dengan sebuah  banner ucapan selamat tahun baruSpanduk tersebut dibentang di lantai gedung pertemuan berkapasitas 600 orang ituKelimanya juga karyawan PMS sama dengan anak-anak yang berlatih taekwondo ituBerkulit sawo matang

Suasana ’’pembauran’’ etnis seperti itu sudah berlangsung berpuluh tahunPadahal, secara historis, gedung itu adalah markas perkumpulan etnis Tionghoa di Solo yang didirikan sejak zaman Belanda’’Saya sudah bekerja di sini 26 tahun,’’ kata Suhardi, 55, salah seorang staf di PMS

Suhardi dan 25 orang staf  PMS yang bekerja di dua aset milik organisasi PMS, yakni Gedung Gajah dan Krematorium Thiong Ting di kawasan Kentingan, Jebres, Solo, sama sekali tidak merasa terasing’’Saya kerja di sini nyamanTidak ada pembedaan walaupun saya Jawa,’’ katanya.

Ujian berat dialami para pengurus, anggota, dan staf karyawan PMS saat meletus kerusuhan di Kota Solo pada 14–15 Mei 1998Saat itu banyak toko milik warga Tionghoa, tak terkecuali milik anggota PMS, yang dirusak dan dijarah massaMaklum, 70 persen di antara sekitar 3.000 anggota PMS adalah etnis Tionghoa.

Ironisnya, peristiwa tersebut justru terjadi setelah PMS sebulan sebelumnya melakukan aksi peduli sosialPrihatin dengan warga Solo dan sekitarnya yang terimpit beban akibat krisis ekonomi, PMS mengumpulkan dana dari banyak pihakSetiap hari mereka membagi-bagi sembako kepada warga Solo

Sebagai ’’orang Jawa’’ di PMS, Suhardi dan satpam Mursidan saat itu mengaku tidak enak melihat rumah dan tempat usaha Humas PMS Sumartono Hadinoto dan Ketua Bidang Olahraga PMS Ny Willy Santoso ikut dilahap apiMeski demikian, setelah kejadian itu, warga internal PMS tetap utuh.

Mereka tidak mau mencederai semangat Tan Gan Swie dkk, pendiri Chuan Min Kung Hui, yang saat mendeklarasikan organisasi sosial Tionghoa itu memang tak mau eksklusifMereka terbuka kepada siapa saja untuk masukTidak memandang etnis ketika berkegiatan

Kendati sejak itu rasa trauma masih melekat di benak warga Tionghoa Solo, PMS tetap berkibarBahkan, persentase keanggotaan warga pribumi di PMS cenderung bertambahKegiatan sosial mereka juga menyentuh sasaran lebih luas dan tak memandang ras.

Solo memang sudah dua kali diguncang kerusuhan etnis dengan sasaran warga TionghoaSebelum kerusuhan terkait tumbangnya Orde Baru pada 1998, medio 1980 juga timbul kerusuhan serupaSaat itu dipicu bentrok seorang preman lokal dengan seorang warga Tionghoa

Yang menarik, sejak Chuan Min Kung Hui berganti nama menjadi PMS pada 1959, visi organisasi tidak berubahKegiatannya makin eksisBahkan, Sumartono Hadinoto, Humas PMS, mengklaim bahwa PMS adalah satu-satunya organisasi sosial yang didirikan etnis Tionghoa yang tetap eksis pada masa Orde Baru.

Menurut dia, di Solo dan kota-kota lain di Indonesia sebenarnya sejak dulu banyak organisasi TionghoaMisalnya, PMSMereka  berangkat dari organisasi pralenan (kerukunan kematian) yang memang punya akar tradisi kuat di kalangan etnis Tionghoa’’Tapi, kebanyakan organisasi itu tiarap ketika rezim Orde Baru berkuasa,’’ katanya

Mereka baru tumbuh lagi, kata Sumartono, saat Orde Reformasi bergulir dan iklim perpolitikan lebih kondusifMisalnya, Fu Jing, organisasi yang beranggota orang-orang keturunan Kota Fu Jing, Provinsi Fuzho, Tiongkok, yang baru muncul di Solo pasca 1998Juga Hoo Hap, Perhakas, dan Kung Fu yang rata-rata punya misi mengumpulkan orang-orang yang punya kesamaan asal daerah di tanah leluhur.

’’PMS eksis karena kami tidak bermain di kancah politikSejak awal berdiri, bentuk kami adalah perkumpulan etnis Tionghoa Solo untuk kegiatan sosial,’’  kata Budhi Moeljono, ketua umum PMS.

Budhi mengakui, semasa rezim Orde Baru, organisasi-organisasi Tionghoa digencet sedemikian rupaAkibatnya, mereka tidak berani mengaktualisasikan identitas, bahasa, dan budaya mereka kepada publik’’Tapi, sejak saat itu tidak ada niat sama sekali untuk melawan (Orde Baru) lewat PMS,’’ kata Budhi yang juga bos salah satu pabrik bahan kimia besar di Solo.

Garis di anggaran dasar PMS sejak zaman Chuan Min Kung Hui tidak pernah berubahLarangan pengurus berpolitik dan berkutat di kegiatan sosial adalah harga matiKarena itu, ketika organisasi Tionghoa di kota-kota lain berguguran, PMS justru melenggangPadahal, mereka mendirikan organisasi di ’’tanah sakral’’ Solo, tempat Soeharto dan keluarga Cendana memiliki tempat tinggal dan banyak aset berharga.
  
Sejak awal berdiri, para pendiri PMS sadar bahwa mereka disokong banyak pihak dan lintas etnisGedung Gajah, misalnya,  adalah sumbangan dari anggota Chuan Min Kung HuiBahkan, Thiong Ting, satu-satunya krematorium dengan misi sosial di Indonesia, adalah hibah dari Raja Surakarta Pakubuwono VII pada 1856.

Dari sebuah pralenan, PMS terus menambah aset, kegiatan, maupun sumbangsih kepada negara dan sesamaBagi 3.000 anggota yang membayar iuran Rp 3.000–Rp 5.000 sebulan bisa mendapatkan diskon 50 persen pemakaian fasilitas di PMSYakni, pemakaian Thiong Ting dan sarana di Gedung Gajah serta kegiatan-kegiatannya’’Keturunan Tionghoa atau bukan, haknya sama,’’ kata Budhi(el)

  

BACA ARTIKEL LAINNYA... Tepis Sebutan Jompo, Hakim Agung Beber Kiat Jaga Kebugaran (1)


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler