Kerusuhan Mei 1998 menjadi musibah sekaligus berkah bagi warga etnis Tionghoa di Solo, termasuk para anggota Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS)Semangat solidaritas membuat momen itu melahirkan hubungan antaretnis yang lebih cair dan memberi harapan
BACA JUGA: Komunitas Tionghoa Gedung Gajah Berbenah Menjelang Imlek (1)
LEO TEJA KUSUMA, Solo
MUSIBAH karena mereka menjadi ”sasaran tembak” utama para perusuh waktu itu
Banyak yang tak percaya bahwa salah satu kota pusat budaya Jawa itu bisa menjadi episentrum peristiwa kekerasan terbesar di luar Jakarta
BACA JUGA: Petra Odebrecht, Caleg DPR RI asal Jerman yang Bertarung di Dapil Bali
Selama dua hari itu, 14-15 Mei, Kota Solo menjadi lautan apiBACA JUGA: Mimi M. Lusli, Tunanetra ââ¬ÂJembatan Komunikasiââ¬Â dengan Orang Normal
Total 348 bangunan rumah, kantor, hotel, toserba, dan gedung bioskop yang rusakSekitar 297 mobil dan 570 sepeda motor hangusJumlah korban tewas mencapai 33 orang, kebanyakan pegawai toko dan penjarah yang terperangkap akibat kebakaranTotal kerugian hampir setengah triliun rupiah.
Beberapa pekan setelah kerusuhan itu, ekonomi Kota Solo belum pulihBanyak warga Tionghoa yang memutuskan mengungsiDalam keadaan seperti itu, seorang pengusaha asal Semarang, Lie Pek Tho, pada 11 Juni 1998 tergerak untuk memberikan bantuan Rp 100 juta lewat PMSLangkah Lie itu kemudian diikuti para pengusaha yang lain
Menurut Ketua Umum PMS Budhi Moeljono, PMS berhasil mengumpulkan dana tidak sedikit dari orang-orang yang peduli agar Solo bangkitBahkan, lebih dari Rp 1 miliar, sekitar Rp 270 juta diambil dari kas PMS, kemudian disalurkan kepada ratusan kepala keluarga –umumnya warga Tionghoa– korban kerusuhan di Solo.
Sebuah bank juga mempercayakan kepada PMS untuk mengelola dana hibah Rp 500 jutaDana itu dipakai untuk membantu para korban kerusuhan, termasuk beasiswa bagi anak-anak mereka yang masih sekolahSayang, suku bunga yang makin tidak menentu membuat PMS tidak bisa mengembangkan jumlah penerima dan besarannya.
Berkat kerja keras itu, hubungan antaretnis di Solo terjalin harmonis kembaliBahkan, banyak warga non-Tionghoa yang menjadi anggota PMSDari sebuah pralenan (organisasi kerukunan kematian), PMS terus memperluas aset, kegiatan, maupun sumbangsih kepada negara dan sesama
Sekitar 3.000 anggota PMS membayar iuran Rp 3.000-Rp 5.000 per bulanDengan iuran itu, mereka bisa mendapatkan diskon 50 persen untuk pemakaian fasilitas di PMSYakni, pemakaian Thiong Ting dan sarana di Gedung Gajah serta kegiatan-kegiatannya”Tidak ada perbedaanKeturunan Tionghoa atau bukan haknya sama,” kata Budhi
Budhi mengakui, pemerintahan di bawah Presiden Abdurrahman Wahid memberi warna baru bagi komunitas Tionghoa di IndonesiaMereka boleh menampilkan identitas ketionghoaan mereka, sebagai wujud keberagaman IndonesiaMaka, sejak itu kegiatan divisi-divisi di PMS pun makin banyak”Kami ini Tionghoa, tapi Tionghoa Indonesia,” kata Budhi menirukan jawaban setiap anggota PMS jika ditanya siapa sebenarnya mereka di Indonesia.
Jika di masa Soeharto kegiatan PMS hanya bersentuhan dengan bidang olahraga dan seni budaya Jawa, sejak saat itu mereka juga tertarik dengan seni dan olahraga asal TiongkokOleh divisi-divisi di kepengurusan PMS, wushu, barongsai, yang khim (siter Tiongkok), dikelola berdampingan dengan bulutangkis, catur, keroncong, campursari, gamelan, dan wayang orang,
Kegiatan perayaan tahun baru Imlek yang sebelumnya dilakukan diam-diam kini dilakukan terang-terangan dan besar-besaranSejak 2000, PMS rajin menggelar berbagai acara dengan latar belakang budaya TionghoaMisalnya, PMS mengundang pentas kesenian dari Provinsi Hunan, Tiongkok (2000), pentas barongsai perdana di Hotel Lorin, Karanganyar, Jawa Tengah (saat itu masih milik Tommy Soeharto)
Reputasi PMS juga menarik minat Presiden Abdurrahman WahidSaat berulang tahun, dia mengundang delegasi kesenian PMS di acara Pentas Wayang Orang Pembauran di JakartaSeperti sedang mengalami euforia, saat itu PMS rajin memanggil artis-artis impor dari Tiongkok.
”Kalau ditanya, keinginan terbesar kami saat ini adalah nguri-uri (memelihara) budaya leluhur kamiBukan kami ingin eksklusif, tapi kami ingin budaya itu menjadi bagian dari budaya Indonesia jugaKami ingin menjadi Tionghoa Indonesia,” kata Budhi
Menurut Budhi, uri-uri budaya leluhur itu juga merupakan wujud keinginan mereka agar eksistensi Tionghoa Indonesia (bukan keturunan Tionghoa), diakui oleh suku bangsa Indonesia yang lainSebab, tanpa disuruh, sejak sebelum reformasi PMS juga sudah membaur dan punya kepedulian sosial
Budhi mengakui, setiap merayakan Imlek, PMS selalu menyesuaikan dengan tema dan kondisi aktual di masyarakatPerayaan Imlek 2559 tahun lalu, misalnyaSuasana Kota Solo dan sekitarnya masih memprihatinkan akibat banjir”Saat itu kami menggelar aktivitas bakti sosial dengan membantu sekolah-sekolah di Solo yang kebanjiran,” katanya.
Selain itu, pada Imlek tahun lalu PMS ikut memperjuangkan agar tokoh pejuang kemerdekaan nasional asal Solo, Yap Tjwan Bing, dijadikan nama jalan, menggantikan nama Jalan Jagalan, SoloBerkat kerja sama dan dukungan semua pihak, termasuk organisasi Tionghoa lain di Solo, seperti Hoo Hap, Fu Jing, dan Perhakas, jalan sepanjang 300 meter itu akhirnya diberi nama Yap Tjwan Bing.
Dengan diresmikannya nama Jalan Yap Tjwan Bing yang merupakan anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), kini sudah ada dua nama Tionghoa yang diabadikan di Kota SoloNama pertama adalah dr Oen Bing Ing, pengurus PMS yang meninggal pada 1982Dokter Oen kini menjadi nama salah satu rumah sakit swasta di Solo dan Sukoharjo yang memiliki reputasi pelayanan terbaik.
Khusus untuk Imlek 2560 yang jatuh pada 26 Februari mendatang, PMS merencanakan pelatihan life skill menghadapi krisis moneterIni sebagai bentuk keprihatinan kepada bangsa yang ikut terkena dampak krisis globalIsi kegiatan ini, antara lain, pelatihan pembuatan bioetanol yang mendapat subsidi penuh PMS”Kami selalu memilih acara yang berbedaTergantung apa yang menurut kami perlu dipedulikan tahun itu,” kata Sumartono Hadinoto, humas PMS.
Sumartono menambahkan, dalam setiap kegiatan sosial PMS, sekitar 70 persen dananya biasa didapat dari donasiBukan iuran anggota atau dari aset-aset organisasiYang membanggakan, mereka yang memberikan donasi mayoritas bukan pengusaha kelas atas
Tapi, para warga Tionghoa yang kemampuan finansialnya menengahMereka tidak terlalu kaya dan tidak miskin”Ini contoh kalau kepedulian sosial tidak perlu digembar-gemborkanTanpa punya pmarih apa-apa, mereka ikut peduli,” kata Sumartono. (el)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tepis Sebutan Jompo, Hakim Agung Beber Kiat Jaga Kebugaran (2-Habis)
Redaktur : Tim Redaksi