Konflik Bisa Merembet

Desak Polri Ditarik ke Kemendagri

Sabtu, 17 Desember 2011 – 05:05 WIB

JAKARTA - Konflik horizontal seperti yang terjadi di Desa Sungai Sodong, Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan berpotensi meluas ke 16 juta hektar area perkebunan lainnyaSebab, status area perkebunan itu masih abu-abu

BACA JUGA: Aparat Dinilai jadi Centeng Pengusaha

Antara klaim penduduk adat dan kepemilikan pemerintah.

Kepala Departemen Advokasi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nasional Mukri Friatna di Jakarta kemarin (16/12) menjelaskan, pemicu pembantaian di area perkembunan adalah ketidakjelasan status kepemilikan tanah
"Kita meminta pemerintah harus tegas," tandasnya.

Mukri menjelaskan, saat ini ada sekitar 16 juta hektar area perkebunan di tanah air yang masih sengketa antara negara dengan penduduk adat

BACA JUGA: Pimpinan Baru KPK Tak Mau Ribet

Dia menerangkan, di satu sisi pemerintah tidak tegas menyatakan jika tanah itu milik negara dan boleh digunakan untuk perluasan perkebunan sawit atau usaha lainnya


Di sisi lain, penduduk adat mengklaim memiliki tanah itu dari leluhur

BACA JUGA: Kejagung Tak Akan Dikte Posisi Zulkarnaen di KPK

Penduduk adat ini sudah turun-temurun mengelola area perkebunan tadi untuk mata pencaharian sehari-hariDari silang sengkarut pertanahan di area perkebunan tadi, Mukri mengatakan bisa memicu konflik horizontal"Konflik ini melibatkan masyarakat adat, pekerja perkebunan sawit, dan PAM Swakarsa," tandasnya

Nah, disinilah yang rentan ada pelanggaran HAMUjung-ujungnya, Mukri mengatakan dari investigasi WALHI menemukan jika aparat kepolisian kerap tidak objektif ketika mengawal konflik antar masyarakat tersebutDiantara tanda aparat kepolisian lebih condong memihak perusahaan perkebunan sawit adalah, ada sejumlah pos-pos polisi yang ada di dalam area perkebunan"Polisi ternyata juga menjadi pelatih PAM Swakarsa perkebunan," tutur dia.

Dalam menangani konflik, masyarakat adat kerap menjadi korban kriminalisasiBentuknya, setiap ada masyarakat adat yang wadul ke polisi jika tanahnya diserobot perusahaan sawit, malah masyarakat yang dijadikan tersangkaAlasannya, mereka telah menghalang-halangi usaha dan perusakan aset perkebunan"Jadi masyarakat adat lapor, disusul perusahaan juga laporTapi posisi yang diunggulkan selalu perusahaan," tutur Mukri.

Di tengah ramainya pemberitaan pembantaian di perkebunan sawit Mesuji, WALHI mengeluarkan beberapa tuntutan kepada pemerintahDiantaranya, mendesak Kapolri agar segera menarik seluruh pasukan Brimob dari dalam area perkebunan sawitSetelah itu, menjatuhkan hukuman berat bagi pelaku penembakan sejumlah petani.

Desakan selanjutnya adalah, WALHI meminta supaya jajaran Polri ditarik masuk ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)Menurut Mukri, wewenang polisi saat ini sudah terlalu berlebihan ketika bertugas menjaga area perkebunan sawit"Ingat, jika memang hutan untuk perkebunan itu dikelola pemerintah melalui Kementerian Kehutanan, sekarang sudah ada Polisi Hutan," tandasnya

Pada intinya, Mukri menuturkan wewenang polisi yang berlebihan tadi bisa mengembalikan Indonesia seperti era penjajahan kompeni duluDia tidak bisa membayangkan jika pemilik perusahaan sudah bisa menjadikan polisi sebagai centeng untuk menakut-nakuti masyarakat adatSehingga, para masyarakat adat tadi rela pergi dari hutan yang sudah mereka diami dan kelola berpuluh-puluh tahun untuk dijadikan area perluasan perusahaan sawit(wan)

BACA ARTIKEL LAINNYA... GP Anshor Minta Jemaat GKI Yasmin Tolak Relokasi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler