jpnn.com, JAKARTA - Founder IndoSterling Group William Henley menilai kinerja ekonomi Indonesia sepanjang triwulan III 2022 yang naik hingga 5,72 persen secara year on year layak diapresiasi.
Namun, menurut William, di balik itu, ada satu hal yang patut dicermati, yakni melemahnya konsumsi rumah tangga yang merupakan mesin pendorong ekonomi Indonesia.
BACA JUGA: Lihat, nih! Ratusan Warga Pasar Baru Antusias Ikut Program Petik Masak Bersama Mak Ganjar
Praktisi bisnis ini mengatakan, postur perekonomian Indonesia yang ditopang oleh konsumsi rumah tangga menjadi benteng kuat yang melindungi Indonesia dari risiko ancaman resesi global.
“Market domestik adalah keunggulan utama Indonesia. Karena itu, daya beli harus diperkuat agar mesin konsumsi rumah tangga tetap bergerak dan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi,” ujar William.
BACA JUGA: Harga Ayam Merangkak Naik, Daya Beli Melempem, Aduh!
Menurut William, penurunan konsumsi rumah tangga erat kaitannya dengan dampak kenaikan harga BBM pada awal September 2022, yang kemudian mendorong inflasi dan menggerus daya beli masyarakat.
Karena itu, menurut praktisi digitalisasi UMKM ini, tantangan saat ini adalah bagaimana mengendalikan inflasi bahan pangan dan menjaga daya beli masyarakat.
BACA JUGA: Pimpinan LPEI Terima Kunjungan Group CEO Standard Chartered Bank
Misalnya, melalui operasi pasar, serta peningkatan efektivitas penyaluran program bantuan sosial untuk menopang daya beli kelompok masyarakat rentan.
“Jadi, perlu fokus memperkuat pasar domestik. Langkah ini akan bermanfaat juga untuk membantu pelaku usaha, terutama sektor UMKM,” serunya.
Data Bank Indonesia (BI) terkait Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) menunjukkan, pada September 2022 sempat turun dari 124,7 menjadi 117,2 akibat kenaikan harga BBM. Namun kembali merangkak naik menjadi 120,3 pada Oktober 2022 seiring meredanya dampak kenaikan harga BBM.
Meski demikian, William mengatakan, pemerintah maupun pelaku usaha harus tetap waspada terhadap potensi transmisi ancaman resesi global seperti turunnya permintaan di pasar global yang akan berdampak pada kinerja ekspor Indonesia.
Apabila terjadi penurunan tajam, ada potensi ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) pada perusahaan berorientasi ekspor. Misalnya di sektor garmen maupun alas kaki yang memiliki karakter padat karya.
“Dampaknya, bisa meningkatkan angka pengangguran dan ujungnya menggerus daya beli,” terangnya.
Karena itu, menurut William, perlu program yang bisa meringankan dampak transmisi resesi global ke pelaku usaha.
Misalnya melalui bantuan subsidi upah untuk perusahaan padat karya.
Adapun untuk pelaku usaha mikro kecil, program subsidi bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang akan berakhir tahun ini sebaiknya bisa dilanjutkan tahun depan.
“Ini semua merupakan bagian dari upaya memperkuat pasar domestik agar roda perekonomian tahun depan terus berputar kencang,” tutur William.(chi/jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur & Reporter : Yessy Artada