Fierza Yamuiz, akrab dipanggil Izzy, pertama kali tiba di Sydney pertengahan tahun 2022 lalu dengan memegang Work and Holiday Visa (WHV).
Dalam setahun Izzy sudah menjelajahi sejumlah tempat di Australia, sambil bekerja di berbagai sektor industri.
BACA JUGA: Tips Menghadapi Cicilan Rumah yang Kian Mahal di Australia
"Dari Sydney, saya ke Northern Territory, lalu ke Tasmania, kemudian sekarang di South Australia," kata Izzy.
Ia pernah bekerja sebagai 'kitchen hand' di cafe, di sektor perkebunan, operator mesin, dan 'quality control'.
BACA JUGA: Australia Godok Undang-undang Legalisasi Ganja untuk Pemakaian Pribadi
"Secara uang, operator mesin itu gajinya antara A$29 sampai $32 per jam, tergantung jam kerja, dan itu yang paling tinggi so far ... tapi di QC ini beda rate-nya enggak banyak, tapi jam kerjanya lebih stabil," kata Izzy.
Tapi bukan soal penghasilan yang membuat Izzy resah belakangan ini, melainkan beredarnya sejumlah konten di media sosial tentang penghasilan dan pengalaman hidup pemegang WHV di Australia.
BACA JUGA: Kehidupan Ganda Mata-mata Australia yang Bekerja Untuk KGB
Menurut pengamatan ABC Indonesia, sejumlah konten di Instagram dan TikTok sering menyebut mudahnya mencari pekerjaan bagi peserta WHV dengan penghasilan mencapai puluhan juta per bulan.
"Mungkin memang informasi itu ada benarnya, tapi enggak utuh, karena ada banyak faktor lainnya yang juga memengaruhi pendapatan kita," kata Izzy.
Keresahan Izzy beralasan, mengingat banyak orang percaya begitu saja dengan apa yang ditampilkan di jejaring sosial.
Dengan pengguna aktif di Indonesia yang mencapai 191,4 juta orang di tahun 2022, menurut data Hootsuite, konten sosial media menjadi sangat populer, baik sebagai referensi, inspirasi, dan sumber informasi
Izzy bukan satu-satunya pemegang WHV yang resah mengenai informasi yang tidak utuh yang beredar di media sosial.
Felicia Ellora Hutabarat menginjakkan kaki di Australia pada awal 2020, hanya beberapa saat sebelum pandemi COVID-19 dan 'lockdown' diberlakukan.
Ia pernah bekerja memetik lemon dan tomat di perkebunan, juga sebagai 'kitchen hand' di pertambangan, dan sekarang di sebuah pabrik 'grains'.
Mulai bekerja di pedalaman Queensland sampai kota Perth di Australia Barat, juga pernah ia lakukan.
"Salah satu Reel yang saya temukan [di Instagram] ternyata bikinan salah satu teman saya juga, ... dan sudah saya tegur karena, misalnya, [keterangannya] soal pendapatan saja, sebenernya ya enggak selalu dapet segitu juga," tutur Felicia.Banyak faktor yang memengaruhi pendapatan
Menurut Izzy, pengalaman pemegang WHV asal Indonesia tidak bisa disamaratakan.
"Waktu saya datang itu, Australia baru buka lagi setelah lockdown, jadi memang kerjaan sedang banyak-banyaknya karena kurang orang [pekerja] ... ya saya jadi cepat dapat kerja dan banyak tawarannya," kata Izzy.
"Kalau sekarang, karena sudah kayak kembali normal lagi, mungkin enggak segampang itu [dapat pekerjaan]."
Izzy menilai selain konteks situasi dalam negeri Australia, ada juga faktor lain yang menurutnya tidak bisa diprediksi.
"Rezeki orang juga beda-beda ya, mungkin yang di medsos itu pas dapet kerjaannya cepat, jenis dan rate-nya bagus, jam kerjanya juga panjang, tapi pada kenyataannya enggak semua orang bisa begitu kan."
"Ada kalanya mungkin dapet yang rate-nya bagus, tapi jam kerjanya enggak panjang karena kendala cuaca misalnya," ujarnya.
Izzy menjelaskan, bayaran untuk setiap pekerjaan berbeda-beda, walaupun memang ada aturan upah minimum, sehingga mematok jumlah tertentu sebagai ekspektasi pendapatan bisa jadi tidak akurat.
Hal ini pernah dialami oleh Felicia.
"Waktu kerja memetik tomat atau di mining, pendapatannya memang sudah oke, tapi pernah waktu kerja di kebun strawberry, saya cuma dapet AU$175 seminggu, sementara harga sewa seminggu AU$125, jadi sisanya bener-bener ya udah deh makan nasi pakai nugget aja dan diam di rumah aja enggak ke mana-mana."
"Dan saya dulu datang saat pandemi, jadi sempat ngalamin harga sewa tempat tinggal yang murah karena harga-harga semua turun, jadi nabungnya juga bisa relatif lebih banyak."
Menurutnya, yang sering disalahpahami oleh para pemegang WHV yang baru adalah mendapatkan visa tersebut berarti secara otomatis sudah ada pekerjaan yang tersedia.
"WHV itu hanya izin untuk bekerja legal di Australia, jadi kerjanya tetap harus cari sendiri, harus aktif-proaktif." Bukan cuma pendapatan yang puluhan juta rupiah
Baik Izzy dan Felicia sepakat jika ada satu informasi yang tidak tampak dalam konten media sosial yang beredar luas, yakni soal pengeluaran dan biaya hidup di Australia.
"Ya memang untuk orang Indonesia, karena nominal gajinya di-convert ke rupiah, jadi kelihatan gede banget, puluhan juta rupiah per bulan ... tapi [di sana] enggak disebut jumlah pengeluaran di sini yang kalau di-convert ya puluhan juta rupiah juga," kata Felicia.
Informasi lain yang jarang disampaikan adalah potongan pajak yang harus dibayar pemegang WHV.
"Uang yang diterima itu nanti masih harus dipotong pajak ... memang aturannya 15 persen [potongan pajak] untuk WHV, tapi kalau penghasilannya sudah mencapai AU$45.000, kena 32 persen karena di sini diberlakukan pajak progresif," tambah Felicia.
Selain itu, menurut Izzy, perlu juga dihitung pengeluaran lainnya di luar biaya kebutuhan hidup sehari-hari.
"Misalnya pengeluaran untuk beli mobil dan perawatannya," kata Izzy yang menceritakan salah satu temannya pernah tiga kali menabrak kangguru, sehingga harus keluar biaya cukup banyak untuk membawa mobil ke bengkel atau harus membayar denda tilang.
Felicia dan Izzy memutuskan membeli mobil karena lokasi kerja mereka di pedalaman tidak dilayani atau minim transportasi publik.
Felicia memperhitungkan, pengeluaran per bulannya untuk kebutuhan primer saja kini sekitar AU$2.000.
"Itu bener-bener basic, belum termasuk [biaya] asuransi kesehatan, asuransi dan pajak mobil, biaya ke bengkel, dan kalau harus ke dokter gigi karena enggak ter-cover sama asuransi kesehatan, dan kalau mau beli-beli barang lainnya."'Sebaiknya jangan berutang'
Selain informasi tentang pendapatan dan pengeluaran yang tidak utuh, konten lain di media sosial yang menurut Izzy perlu ia tanggapi adalah soal wacana meminjam uang agar bisa berangkat ke Australia.
"Beberapa influencer [menyarankan] 'udah, pinjem duit aja atau jual aset aja di Indonesia nanti pas ke sini pasti balik modal kok' ... kalau aku pribadi sih justru jangan [seperti itu]."
"Memang tujuan dan background orang ke Aussie itu beda-beda, tapi menurut aku sebaiknya jangan berutang, karena berbeda dengan saat saya datang, sekarang cari kerjaan itu udah enggak segampang itu."
Izzy menceritakan bagaimana para pemegang WHV yang baru tiba tahun ini rata-rata kaget karena ada yang sampai sekarang masih "luntang-lantung belum dapat kerjaan."
"Padahal ada yang yang [pergi ke Australia berbekal] pinjaman online dan sudah harus membayar cicilan dan sampai sekarang mereka belum kerja, belum terima gaji, ini lumayan membuat mereka stress."
Ia berpesan sebaiknya para pemegang WHV bisa menggunakan tenggang waktu satu tahun sejak visa dikabulkan hingga waktu keberangkatan untuk mempersiapkan diri, termasuk bekal finansial.
"Gunakan waktu yang ada untuk menabung, jangan dengan modal nol atau modal nekat, apalagi berutang."
Izzy mengatakan, penting pula bagi para pemegang WHV untuk menentukan rencana jangka panjangnya sejak sebelum berangkat.
"Jadi semua strategi menabung atau apa pun itu, berdasarkan rencana jangka panjang kita, apakah setelah WHV mau menetap di Australia, atau pulang ke Indonesia, supaya kita juga enggak pulang dengan tangan hampa."Menjaga ekspektasi
Informasi yang menyeluruh sangat penting bagi mereka yang berminat untuk bekerja sambil berlibur di Australia, supaya mereka tidak terlalu berharap dan lebih mempersiapkan diri, seperti dikatakan Felicia dan Izzy.
"Australia bukan cuma kota-kota besar yang terkenal, seperti Sydney, Melbourne, atau Perth ... jadi harus siap-siap ke pedalaman dan kerja fisik," kata Felicia, yang menambahkan jika WHV harusnya dilihat sebagai kesempatan untuk belajar dan mengembangkan diri, bukan untuk mengejar gaji semata.
Menurut pengalaman Izzy masih ada pula orang Australia yang rasis atau menganggap ras lainnya lebih rendah, sehingga ini bisa menjadi tantangan saat mencari kerja.
"Belum lagi bicara cuaca yang kalau panas, panas sekali, dan kalau dingin, dingin sekali, tidak seperti cuaca yang stabil seperti di Indonesia," ujar Izzy memberikan tantangan lain bagi pekerja dari negara tropis.
Faktor cuaca sangat memengaruhi pendapatan bagi mereka yang bekerja di perkebunan, karena curah hujan yang tinggi kerap membuat perkebunan tidak beroperasi.
Tapi setidaknya Felicia mengaku punya ilmu baru dalam mengamati bulan, setelah tiga tahun tinggal di Australia.
"Waktu bekerja di farm (kebun) tomat, begitu melihat bulan purnama, rasanya 'waah senang!' Karena katanya kalau bulan sedang penuh itu artinya buah sedang banyak-banyaknya, juga langit cerah, yang artinya cuaca bagus dan tidak hujan."
Pertanda baik untuk memetik banyak tomat dan mendapat upah yang melimpah.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dunia Hari Ini: Upaya Mencari Kapal Selam Wisata Titanic yang Hilang