KontraS Cs Menilai Ada Kontroversi di Poin Maklumat Kapolri Soal FPI, Simak Nih!

Sabtu, 02 Januari 2021 – 21:37 WIB
Maklumat Kapolri Nomor: Mak/1/I/2021 tentang Kepatuhan terhadap Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam (FPI). Foto: ANTARA/HO

jpnn.com, JAKARTA - Koalisi masyarakat sipil menilai terdapat ketentuan kontroversi dari maklumat Kapolri Jenderal Idham Azis tentang larangan kegiatan, penggunaan simbol serta penghentian Kegiatan Front Pembela Islam (FPI).

Poin yang mengandung kontroversi itu, tulis koalisi, tertuang dalam poin 2d maklumat nomor 1/Mak/I/2021 itu. Menurut mereka poin 2D maklumat membatasi hak asasi manusia (HAM).

BACA JUGA: 6 Laskar FPI Tertembak, Pernyataan KontraS Sangat Keras

"Salah satu yang paling kontroversial adalah perihal larangan mengakses, mengunggah, dan menyebarluaskan konten terkait FPI baik melalui website maupun media sosial, sebagaimana diatur oleh poin 2d, yang disertai ancaman tindakan hukum, seperti disebutkan dalam poin 3 maklumat," tulis pernyataan resmi seperti dikirimkan peneliti KontraS Rivanlee Anandar kepada jpnn, Sabtu (2/1).

Koalisi beranggapan, akses terhadap konten internet ialah bagian dari hak atas informasi yang dilindungi UUD 1945, khususnya dalam ketentuan Pasal 28F dan sejumlah peraturan seperti Pasal 14 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 

BACA JUGA: Bang Edi Mengomentari Pasal 2d Maklumat Kapolri tentang FPI

"Oleh karenanya dalam melakukan setiap tindakan pembatasan terhadap hak-hak tersebut, harus sepenuhnya tunduk pada prinsip dan kaidah pembatasan, sebagaimana diatur Pasal 28J ayat (2) UUD 1945," katanya.

Dalam hukum hak asasi manusia, setidaknya terdapat tiga persyaratan yang harus diperhatikan untuk memastikan legitimasi dari suatu tindakan pembatasan yang dibolehkan atau permissible restriction.

BACA JUGA: Ini Respons Terbaru Bang Munarman FPI Atas Maklumat Kapolri Idham Azis

Ketiga syarat tersebut sering dikenal sebagai three part test atau tiga uji elemen, yang mengharuskan setiap pembatasan diatur oleh hukum atau prescribed by law.

"Prinsip ini sesungguhnya dimaksudkan untuk memastikan tidak dilanggarnya hak asasi warga negara dalam setiap tindakan pembatasan yang dilakukan," sambung pernyataan tersebut.

Dengan hal tadi, koalisi menilai dasar keluarnya Maklumat yang kontennya berisi perintah pembatasan dan disandarkan pada SKB FPI tentu jauh dari memenuhi persyaratan diatur oleh hukum. 

SKB FPI, pada dasarnya suatu penetapan yang berbentuk keputusan atau beschikking, sehingga muatan normanya bersifat individual, konkrit, dan sekali selesai atau einmalig. 

"Tidak semestinya dia bersifat mengatur keluar, luas, dan terus-menerus (dauerhaftig). Artinya, maklumat ini semestinya hanya ditujukan kepada anggota Polri yang berisi perintah dari Kepala Polri."

"Wadah hukumnya tidak memungkinkan untuk mengatur materi yang berisi larangan atau pembatasan hak-hak publik," tambahnya.

Sejumlah organisasi turut tergabung dalam koalisi masyarakat sipil ini antara lain KontraS, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers), dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK).

Selain itu ada juga Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat), Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesa (PBHI), dan Imparsial. (ast/jpnn)

Jangan Lewatkan Video Terbaru:


Redaktur & Reporter : Aristo Setiawan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler