KontraS Gelar Perkara Kasus Kriminalisasi Masyarakat

Jumat, 20 November 2015 – 05:41 WIB
Pakar Hukum Pidana UI Ganjar Laksmana Bondan. FOTO: DOK.JPNN.com

jpnn.com - JAKARTA – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) melakukan gelar perkara tentang pemidanaan yang dipaksakan atau kriminalisasi beberapa kasus pidana yang menimpa masyarakat di Jakarta.

Dalam gelar yang dilaksanakan di Museum Gedung Joang ‘45 di Jakarta, Selasa (17/11), dikupas berbagai bentuk dugaan kriminalisasi penegak hukum. Seperti yang dialami Ismail untuk kasus hilangnya uang di ATM, para petugas kebersihan dalam kasus JIS, Sulton sebagai aktivis buruh, Opung Widadi dengan kasus supporter bola dan Maulana seorang yang sedang menjalani pengobatan ketergantungan narkoba.

BACA JUGA: Kapolri: Anda Bilang Tahanan Politik, Kalau Saya Sih Bilang Tahanan Kriminal

KontraS menghadirkan ahli hukum seperti Ganjar L. Bondan, pakar hukum UI dan mantan Direktur LBH Jakarta, Febi Yonesta.

“Dugaan tindak kriminalisasi mudah terlihat dari proses penyelidikan yang cepat, tidak transparan dan cenderung dengan kekerasan," kata Ganjar.

BACA JUGA: Pansus Pelindo II Tuding Lino Biarkan Indonesia Rugi Dua Kali

Ia mengatakan, kriminalisasi dapat dilakukan oleh para penegak hukum mana saja dan kepada siapa saja. Salah satunya, bila para penegak hukum tidak bertujuan untuk mencari kebenaran materi dari suatu kasus.

Proses hukum acara, penyelidikan dan penyidikan, merupakan bagian yang sangat penting dalam penegakan hukum.

BACA JUGA: KPU Tak Ingin Berpolemik Sikapi Putusan DKPP

“Karena justru proses hukum acara itu bisa menunjukkan kepada kita apakah dasar untuk proses hukum itu benar atau tidak. Ini termasuk menjadi alat ukur untuk menemukan kebenaran substansi," paparnya.

Hal ini bisa terlihat dari kasus yang dialami 6 orang petugas kebersihan PT ISS di Jakarta Intercultural School (JIS) yang dituduh melakukan kekerasan seksual terhadap MAK, murid sekolah TK pada tahun 2014 lalu.

“Dalam kasus JIS, betul telah terjadi proses hukum yang tidak prudent bahkan terjadi pelanggaran hukum yang serius," kata Ganjar.

Menurutnya, sejak awal kasus, informasi ini sangat tertutup, karena itu patut dicurigai sejak awal tidak proper atau tidak prudent dalam proses penyelidikan.

Kasus tuduhan pelecehan seksual terhadap MAK, telah menyeret enam pekerja kebersihan PT ISS yang ditempatkan di JIS. Mereka adalah Azwar, Agun Iskandar, Zainal Abidin, Firgiawan Amin, Syahrial dan juga menyeret Afriska yang merupakan satu-satunya petugas perempuan. Mereka menjalani proses penyelidikan dengan kekerasan tanpa didampingi penasehat hukum.

Saat dalam tahanan Polda Metro Jaya, Azwar bahkan akhirnya meninggal dunia karena diduga disiksa. Beruntung, Afriska yang sejak awal didampingi penasehat hukum tidak mengalami penyiksaan seperti kelima rekannya. Polda Metro Jaya sendiri sudah membantah tudingan penyiksaan tersebut.

Sedangkan Febi Yonesta menilai dalam kasus JIS dan kasus yang terindikasi tindak kriminalisasi, para penegak hukum tidak berusaha mencari kebenaran meteriil. Mereka
mengabaikan semua fakta dan alat bukti yang ada. Kasus ini sangat tinggi tuntutan publik yang menunggu pelakunya cepat ditemukan sehingga cenderung memaksakan seseorang menjadi tersangka.

“Untuk kasus JIS kelihatan sekali nuansa untuk mengejar pelaku, siapapun orangnya, apapun alasannya harus ada orang yang tertuduh sebagai pelaku," katanya.

Sementara, Ganjar berpandangan, suatu kasus diputuskan dengan adil apabila administrasinya transparan, masing-masing saksi dan alat bukti dan keterangan saksi fakta dan saksi ahli serta surat yang dikumpulkan secara benar. Selain itu, sesuatu yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan vonis bisa diterima secara logika.

“Nah dari situ kita bisa menentukan apakah keputusan hakim sudah berbasis pada keadilan atau belum,” lanjutnya.(boy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ketua KPK Persilakan Polri Duluan Garap Setya Novanto


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler