Salah seorang pakar Australia yang banyak mendalami masalah di Indonesia Timur, terutama di Papua dan Maluku, Dr Richard Chauvel, tutup usia di Melbourne, Jumat pekan lalu (01/04).

Dr Richard yang pernah mendapatkan penghargaan Anugerah Kebudayaan Indonesia dalam kategori perorangan asing di tahun 2017 tercatat sebagai akademisi di Victoria University serta kemudian di University of Melbourne.

BACA JUGA: Shanghai Catat Penularan COVID-19 Tertinggi di Tiongkok pada Akhir Pekan Kemarin

Selain mengajar di Australia, Dr Richard pernah juga menjadi dosen di Universitas Indonesia (UI) di Jakarta antara tahun 1987-1992 yang membantu membangun Pusat Studi Australia di UI.

Semasa hidupnya, Dr Richard fokus meneliti sejarah dan politik Indonesia, hubungan Australia-Indonesia, kebijakan luar negeri Australia, dinamika kehidupan sosial politik di Indonesia Timur, khususnya di Maluku dan Papua.

BACA JUGA: Ini 5 Pentolan KKB yang Sangat Ditakuti & Paling Dicari, Ada Sosok Muda

Karya akademis Dr Richard antara lain adalah buku berjudul "Nationalists, Soldiers and Separatists: The Ambonese Islands from Colonialism to Revolt", yang terbit di tahun 1990, berisi pemberontakan Republik Maluku Selatan.

Ia juga pernah memiliki dua karya tulis yang diterbitkan oleh proyek East West Center di Washington, Amerika Serikat berjudul "Dinamika dan Manajemen Konflik Internal di Asia".

BACA JUGA: Egianus Kogoya Sangat Muda, Pembunuh Sadis, Pimpin KKB Nduga, Ayahnya Ternyata

Menurut peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Adriana Elisabeth, mereka yang ingin tahu sejarah Papua, pasti minimal pernah membaca salah satu tulisan Dr Richard.

Adriana mengenang sosok Dr Richard sebagai pribadi yang selalu antusias berdiskusi mengenai Indonesia dan Papua.

Manuel Kaisiepo, mantan Menteri Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia pada Kabinet Persatuan Nasional dan Kabinet Gotong Royong menggambarkan Dr Richard sebagainya "satu-satunya pakar politik asing yang paling banyak melakukan kajian dan publikasi tentang persoalan politik di Papua" sejak otonomi khusus Papua diberlakukan di tahun 2001.

Manuel juga merasa Dr Richard memiliki informasi yang sangat lengkap tentang Papua karena kemampuannya menjalin komunikasi dengan semua unsur rakyat Papua, termasuk pemerintah daerah dan pusat. 'Saya cinta Papua'

Meski tak jarang berbeda pendapat, Bambang Darmono, mantan Kepala Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat antara tahun 2011-2014, sudah menganggap Dr Richard sebagai sahabat.

"Bagi saya Profesor Richard adalah seorang Indonesianis yang mumpuni dan fair," ujarnya.

"Saya sering berdiskusi tentang Papua dan Aceh dengan beliau ketika beliau di Indonesia atau kalau saya sedang di Melbourne," kata Bambang.

Pakar studi Indonesia di Australian National University (ANU) di Canberra Profesor Edward Aspinall menyebut Richard Chauvel sebagai seorang analis Indonesia modern sekaligus sejarawan yang hebat.

Menurutnya, Dr Richard adalah seseorang yang bersikap adil dan mau mendengarkan pendapat dari mereka yang tidak masuk dalam kelompok dominan.

Dr Richard sudah beberapa kali menjadi narasumber ABC News dan ABC Indonesia untuk artikel dan berita terkait soal Papua.

Perspektif yang ia berikan kaya data dan fakta, sehingga membantu mendudukkan perkara dari masalah yang tengah dibahas.

Dalam sebuah kesempatan, ia mengatakan perhatiannya pada hubungan Papua dan Australia bukan semata karena ia orang Australia.

"Tapi karena saya merasa saya cinta Papua, dan saya merasa saya orang Papua juga."      Dikenal sebagai orang yang perhatian

Salah satu koleganya di University of Melbourne, Dr Dave McRae mengaku hal yang paling mengesankan dari Dr Richard adalah perhatiannya terhadap orang lain dan usahanya menciptakan kesempatan kepada siapa saja yang memerlukan.

"Dia sangat memberi perhatian kepada para mahasiswa pascasarjana yang dibimbingnya, dan selalu memiliki waktu untuk berbincang dengan mereka," tutur Dr Dave.

"Dan kadang bekerja di belakang layar guna memastikan mereka mendapatkan kesempatan untuk melakukan penelitian," tambahnya.

Kresno Brahmantyo mengenal Dr Richard sejak tahun 1989 yang saat itu adalah pembimbing skripsinya.

"Sejak itu Pak Richard menjadi mentor dan menjadi teman baik sampai akhir hayatnya.

Ia mengenang bagaimana Dr Richard membantu penulisan skripsinya dengan mengirimkan semua bahan arsip dari Arsip Nasional Australia di Canberra.

"Pak Richard adalah ilmuwan yang amat sangat ringan tangan dalam membantu, tidak hanya soal studi atau yang berkaitan dengan kegiatan ilmiah, bahkan sampai kesulitan pribadi mahasiswanya selalu menjadi perhatian beliau." Warisan Richard Chauvel untuk Indonesia

Kresno, yang saat ini adalah Manajer Program Kajian Bahasa dan Budaya di Lembaga Bahasa Internasional UI, mengatakan Dr Richard berjasa mengembangkan Studi Australia di UI menggantikan pendahulunya, David Reeve tahun 1987.

"Dia kemudian mendirikan Pusat Kajian Australia di UI, mengajar mata kuliah Sejarah, Politik, Tata Negara Australia di Jurusan Sejarah UI," kata Kresno.

Dekan Fisipol Universitas Gadjah Mada, Dr Wawan Mas'udi, pernah dibimbing oleh Dr Richard saat ia menjadi mahasiswa doktor (PhD) yang dibimbing di tahun  2011.

"Pak Richard memastikan saya terlatih sebagai mahasiswa PhD dan peneliti."

Wawan mengatakan, Dr Richard juga kerap mengingatkan para mahasiswa untuk mengembalikan ilmu pengetahuan yang mereka punya kembali ke masyarakat untuk melakukan perubahan.

"Menurut saya, warisan beliau bukan hanya pada naskah-naskah tertulis yang sudah beliau hasilkan, tetapi warisan terbesar beliau terletak pada murid-muridnya yang saat ini tersebar hampir di seluruh Indonesia."

Seperti yang dikatakan Adriana dari BRIN, karya dan pemikiran Dr Richard akan terus dikenang dan bermanfaat.

"Kematian memisahkan kita selamanya secara fisik, namun kenangan terbaik atas karya dan kontribusi ilmiahnya akan melekat dalam ingatan kita." 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Lihat Tuh Senjata Anggota KKB yang Hendak Menembak Satgas Damai Cartenz

Berita Terkait