Kota Shanghai mengeluarkan perintah agar 26 juta warganya melakukan dua tes COVID-19 di tengah ketidakpuasan warga terhadap cara pihak berwenang menangani peningkatan kasus di kota kedua terbesar di Tiongkok tersebut.

Warga harus melakukan tes antigen sendiri di rumah dan melaporkan hasil positifnya, kata pejabat kota Shanghai dalam jumpa pers dengan tes akan dilakukan di sana hari Senin.

BACA JUGA: Umat Islam di Australia Tarwih Pertama Malam Ini, Jalankan Ibadah Puasa Mulai Sabtu

"Tugas utama adalah menghilangkan titik-titik risiko penularan dan memutus rantai penyebab sehingga kita bisa menghentikan penyebaran epidemi secepat mungkin," kata Wu Qianyu seorang inspektur di Komisi Kesehatan Kota Shanghai.

Pihak berwenang mengatakan tidak akan menutup seluruh kota tersebut, yang merupakan pusat keuangan utama di Tiongkok, namun mereka mengakui sejauh ini gagal mengendalikan penyebaran kasus COVID.

BACA JUGA: Warga Asal Indonesia Memanfaatkan Skema Bantuan Pembelian Rumah di Australia

Hampir seluruh kota Shanghai saat ini menjalani 'lockdown' setelah pihak berwenang melarang pergerakan warga di distrik sebelah timur pekan lalu dan menutup bagian kota lainnya beberapa hari kemudian.

Dalam kunjungannya ke Shanghai, Wakil Perdana Menteri Tiongkok, Sun Chunlan mengatakan kota Shanghai "harus membuat langkah tegas dan cepat" untuk mengendalikan pandemi.

BACA JUGA: Presiden Ukraina Sebut Dirinya dan Keluarganya Menjadi Target Utama Rusia

Anak-anak butuh pengasuh sementara

Hampir semua warga Shanghai tidak diizinkan keluar dari rumah di akhir pekan dan para orang tua mengatakan mereka khawatir terpisah dari anak-anak jika tes COVID menunjukkan hasil positif.

Hari Minggu, Shanghai melaporkan adanya 7.788 kasus harian tanpa gejala, naik dari 6.501 dari hari sebelumnya. Sementara kasus bergejala naik dari 260 menjadi 438.

Kasus di Shanghai menjadi kasus terbesar di Tiongkok yang secara keseluruhan mencatat 11.781 kasus tanpa gejala dan sepertiga dari 1.506 kasus bergejala secara keseluruhan hingga hari Minggu kemarin.

Ini adalah kasus tertinggi secara nasional di Tiongkok sejak awal pandemi dimulai di bulan Februari 2020.

Menurut data resmi, kebanyakan kasus di Shanghai tidak menunjukkan gejala apa pun namun kebijakan yang dianut Tiongkok membuat pihak berwenang harus melakukan tes, menghubungi dan melakukan karantina terhadap semua kasus positif.

Kebijakan testing membuat banyak keluarga cemas karena kemungkinan mereka harus terpisah dari anak-anak.

"Bayi perempuan saya belum lagi berusia empat bulan, dan kalau dia positif, dia harus menjalani karantina sendirian," kata seorang warga di kawasan yang padat penduduk Puxi di sebelah barat sungai Huangpu.

Menurut kantor berita resmi Tiongkok, Xinhua, Shanghai akan memberikan "bantuan yang diperlukan bagi anak-anak di bawah umur" yang harus ditinggalkan orang tua yang positif mengidap COVID, kata Zeng Qun, wakil kepala Biro Masalah Sipil Shanghai.

Mereka yang harus tinggal di rumah sendiri akan mendapat "pengasuh sementara" atau dipindahkan ke lembaga "yang mengurus perlindungan remaja untuk kebutuhan khusus", kata laporan tersebut. Makanan segar dan sumber daya terbatas

Warga Shanghai semakin marah dengan adanya 'lockdown' yang awalnya disebutkan hanya akan berlangsung empat hari sebagai waktu dilakukannya tes massal. 

Namun 'lockdown' ini sudah berjalan selama seminggu dan mungkin akan terus berlanjut sampai pekan depan.

Kekhawatiran semakin meningkat karena warga Shanghai sudah mengeluhkan kurangnya produksi bahan makanan segar, sementara sistem layanan kesehatan mulai kewalahan.

Lebih dari 1.500 orang saat ini sedang dirawat di pusat karantina, yang sebelumnya adalah pusat pameran di Shanghai.

Pekan lalu, sebuah rekaman audio yang belum bisa dicek kebenarannya beredar di media sosial berisi pernyataan dari seorang pejabat kesehatan yang mengatakan pusat karantina sudah penuh.

'Lockdown' yang terjadi di Shanghai mengancam pengiriman barang-barang dari kota tersebut karena 'lockdown' telah menganggu kegiatan logistik dan layanan truk.

Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bos Intel Inggris Sebut Presiden Putin Biang Kerok Kegagalan Invasi Rusia

Berita Terkait