Korban Berjatuhan, Pengiriman PMI Asal NTT ke Malaysia Setara Perdagangan Manusia

Rabu, 23 Februari 2022 – 18:00 WIB
Ketua Umum Serikat pekerja Informal, Migran dan Pekerja Profesional Indonesia (SP IMMPI) William Yani Wea. Foto: dok pribadi for JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Penganiayaan terhadap pekerja migran Indonesia (PMI) masih menjadi momok yang mengkhawatirkan, terutama bagi mereka yang mencari nafkah di Malaysia.

Pemerintah diminta mempertahankan moratorium pengiriman PMI sekaligus menindak tegas praktik pengiriman pekerja secara ilegal.

BACA JUGA: Kemnaker, ILO Indonesia, dan JBM Bahas Tiga Isu Pelindungan PMI. Apa Saja?

Hal itu diutarakan oleh Ketua Umum Serikat pekerja Informal, Migran dan Pekerja Profesional Indonesia (SP IMMPI) William Yani Wea.

Menurutnya, kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan kekerasan fisik yang dialami warga Nusa Tenggara Timur (NTT) di Malaysia beberapa waktu lalu adalah bukti masih lemahnya perlindungn hukum bagi para PMI.

BACA JUGA: Tidak Ada Koordinasi, TNI AL Sentil BP2MI soal Hasil Investigasi PMI Ilegal

Dia memberi perhatian khusus kepada para PMI asal NTT yang hampir setiap tahun jadi korban penganiayaan hingga tewas.

“Kami minta Moratorium pengiriman PMI ke Malaysia. Bentuk satgas khusus gabungan semua unsur, kenapa korban kematian PMI dari NTT terjadi setiap tahun. Kami minta Jangan ada lagi peti jenaxah yang dikirimkan ke NTT dari Malaysia,” kata William Yani Wea dalam siaran tertulisnya, Selasa (22/2).

BACA JUGA: Indonesia dan Malaysia Segera Menandatangani MoU PMI Sektor Domestik

Pria asal NTT ini menilai pengiriman PMI asal NTT ke Malaysia sudah menjadi perdagangan manusia atau human tracking.

Salah satu buktinya bisa terlihat dari catatan Kedubes RI di Malaysia terkait jumlah kematian selama empat bulan yang mencapai 46 PMI dan semuany asal NTT tanpa adanya dokumen resmi.

“Usut tuntas melalui jalur mana sampai ratusan orang dari NTT setiap tahun bisa menjadi PMI Ilegal,” ungkapnya.

Diketahui sebelumnya, PMI asal NTT berinsial DB menjadi korban kerja paksa yang dilakukan majikannya tanpa mendapatkan bayaran gaji selama sembilan tahun lebih dan mengalami kekerasan fisik hingga pendengarannya terganggu.

Berdasarkan laporan DB, majikan ditangkap oleh Dinas Tenaga Kerja Kelantan dan Polisi pada November 2020 dan diajukan ke pengadilan dengan tuduhan melakukan TPPO disertai kerja paksa dan penganiayaan.

Sayngnya, Berdasarkan informasi dari Dinas Tenaga Kerja Kelantan pada 17 Januari 2022, Pengadilan Kota Bahru telah memutus bebas majikan dari semua tuduhan.

“Pemerintah memang tidak bisa mempengaruhi hukum yang ada di Malaysia. Tapi keputusan itu menunjukan perlindungan hukum di Malaysia untuk PMI kita tidak bisa diharapkan . Jauh lebih baik perlindungan hukum PMI di Hongkong atau Singapura,” pungkasnya. (dil/jpnn)

 

Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler