jpnn.com - Para praktisi hukum punya banyak ungkapan keren yang disebut sebagai kredo atau maksim.
Ungkapan-ungkapan itu diambil dan biasanya diucapkan dari bahasa latin supaya terdengar lebih keren.
BACA JUGA: KPK Jebloskan Hakim Agung Sudrajat Dimyati ke Sel Tahanan
Salah satu yang keren adalah, “Hukum harus tetap ditegakkan meskipun langit runtuh”, yang dalam bahasa latin berbunyi ‘’Fiat justitia ruat caelum.”
Kredo ini diucapkan kali pertama oleh Lucius Calpurnius Piso Caesoninus pada 43 SM.
BACA JUGA: Profil Sudrajad Dimyati, Hakim Agung yang Jadi Tersangka Kasus Suap
Ungkapan ini menegaskan bahwa dalam kondisi segawat apa pun, hukum harus tetap berdiri tegak tak tergoyahkan.
Ada lagi kredo lain yang juga keren dan sering dikutip para praktisi hukum.
BACA JUGA: Hakim Agung Terjaring OTT, Pimpinan KPK Bersedih
Bunyinya, “Fiat justitia et pereat mundus”, artinya, hendaklah keadilan ditegakkan walaupun dunia harus binasa.
Adagium ini kali pertama dicetuskan oleh Raja Hungaria dan Bohemia, Ferdinand I (1503–1564).
Ungkapan itu menyiratkan bahwa dalam kondisi apa pun keadilan harus ditegakkan, bahkan ketika langit runtuh pun keadilan harus ditegakkan.
Ketika dunia binasa pun keadilan masih tetap harus ditegakkan. Keadilan tetap harus ditegakkan meskipun dunia kiamat. Begitu kira-kira maksudnya.
Adagium itu seharusnya juga dimaknai secara terbalik. Kalau hukum tidak ditegakkan, maka dunia akan binasa. Kalau hukum tidak ditegakkan maka langit akan runtuh. Kalau hukum tidak ditegakkan maka dunia akan kiamat. Begitulah seharusnya.
Dalam dunia yang ideal, para penegak hukum itu menjadi tiang utama untuk menegakkan hukum.
Akan tetapi, dunia ideal itu hanya ada di negara utopia-nya Thomas More.
Di dalam dunia nyata, penegakan hukum sering tidak tegak dan malah miring.
Dalam salah satu bait puisinya, Gus Mus menyebut, “Penegak hukum jalannya miring’’, untuk menggambarkan ironi yang terjadi di ‘’Negeri Amplop’’. Penegak hukum jalannya harusnya tegak, tetapi ternyata penegak hukum jalannya miring.
Itu terjadi di Negeri Amplop yang digambarkan Gus Mus dalam puisinya. ‘’Amplop-amplop di negeri amplop, Mengatur denga teratur, Hal-hal yang tak teratur menjadi teratur, Hal-hal yang teratur menjadi tak teratur, Memutuskan putusan yang tak putus, Membatalkan putusan yang sudah putus…’’
Indonesia mirip dengan negeri amplop yang digambarkan Gus Mus.
Seorang hakim agung di Mahkamah Agung ditangkap lembaga anti-rasuah KPK karena menerima amplop.
Tidak tanggung-tanggung, amplop itu isinya Rp 800 juta.
Amplop itu dipakai menyogok sang hakim agung untuk memutuskan putusan yang tak putus, atau membatalkan putusan yang sudah putus.
Hakim Agung Sudrajad Dimyati namanya.
Benar-benar manusia agung dengan kewenangan yang agung, tetapi korupsinya juga agung.
Kabarnya masih ada lagi sogokan yang dia terima.
KPK juga menyita segepok uang dolar Singapura senilai Rp 2 miliar lebih, plus segepok rupiah senilai Rp 50 juta.
Mungkin ini yang lebih tepat disebutkan sebagai runtuhnya langit hukum Indonesia.
Mungkin ini bisa juga disebut hukum di Indonesia sudah binasa.
Mungkin juga ini pertanda hukum di Indonesia sudah kiamat.
Mahkamah Agung adalah benteng terakhir untuk mempertahankan dan mencari keadilan, tetapi benteng itu bobol.
Baru kali ini KPK bisa mencokok seorang hakim agung.
Akan tetapi, tidak berarti cuma satu-satunya.
KPK pernah menangkap Sekretaris MA Nurhadi pada 2020.
Dan ketika itu, dramanya seru sekali.
Nurhadi lari menjadi buron, dan baru tertangkap setelah 4 bulan.
Nurhadi divonis 6 tahun penjara, karena terbukti menerima sogok dalam kasus jual beli keputusan hukum di MA.
Bukan cuma Nurhadi. Menantunya, Rezky Herbiono, juga terbukti menjadi makelar jual beli keputusan hukum, dan divonis 6 tahun bersama sang mertua.
Kejahatan yang dilakukan Nurhadi tidak berdiri sendiri, tetapi sudah menjadi kejahatan terkoordinasi, setidaknya melibatkan pihak lain yang menjadi makelar kasus.
Apakah Nurhadi berdiri sendiri, tidak ada uang haram yang mengalir ke mana-mana?
Pengadilan tidak membuktikan aliran dana haram ini.
KPK juga tidak membongkar jaringan korupsi Nurhadi di lingkungan MA.
Mungkin ada rasa ewuh pakewuh di antara sesama lembaga penegak hukum yang hebat itu.
Sesama bus kota dilarang saling mendahului.
Bus-bus kota itu harusnya bersih dari jambret dan copet. Akan tetapi, ternyata masih banyak bandit di dalamnya.
Penangkapan Sudrajad Dimyati oleh KPK menunjukkan bahwa di dalam bus kota itu masih ada (atau banyak) pencoleng, tukang copet, dan tukang jambret.
Di lingkungan Polri, kasus Ferdy Sambo menunjukkan jaringan mafia yang mengerikan di lingkungan penegak hukum.
Sampai sekarang pengungkapannya belum tuntas.
Pengaruh jaringan konsorsium judi yang diduga masuk ke kepolisian belum terungkap sepenuhnya.
Brigjen Hendra Kurniawan--yang terlibat dalam kasus Sambo—diduga mempergunakan private jet pinjaman dari seseorang yang diduga punya kaitan dengan konsorsium judi 303.
Sinyalamen ini dibantah oleh beberapa pihak.
Akan tetapi, bau anyir ini sudah telanjur tercium oleh masyarakat yang sudah muntah oleh kebusukan kasus Sambo.
Penanganan yang lambat dan bertele-tele akan makin membuat masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap kepolisian dan instansi penegak hukum lainnya.
Kejaksaan Agung pun kehilangan wibawa.
Kasus Jaksa Pinangki Nirmalasari membuat publik kehilangan kepercayaan.
Vonis 10 tahun didiskon habis-habisan menjadi 4 tahun.
Masih belum cukup, diskon diobral lagi dengan remisi, dan tiba-tiba Pinangki sudah bebas.
Sudah menjadi pengetahuan umum, di lembaga-lembaga penegak hukum banyak berkeliaran makelar kasus.
Ada makelar kasus kelas ecek-ecek, ada makelar kasus kelas tukang copet, dan ada makelar kasus yang kelas dewa yang pekerjaannya menyogok para dewa.
Kasus makelaran ala Pinangki bisa dikategorikan sebagai kelas dewa yang kemungkinan melibatkan para mafia kasus.
Kasus ini melibatkan jumlah uang sogok miliaran, dan diduga mengalir sampai jauh ke kalangan dewa.
Sayangnya, kasus Pinangki sudah telanjur selesai, dan aliran dana tidak terlacak secara tuntas.
Upaya cover-up untuk menutup-nutupi kasus ini dianggap sukses.
Mungkin publik juga sebentar lagi lupa akan kasus ini, tetapi catatan kelam ini tidak akan terhapus semudah itu.
Kali ini KPK tampil sebagai pahlawan dalam penangkapan Hakim Agung Sudrajad Dimyati.
KPK dianggap memecahkan rekor karena bisa menangkap seorang hakim agung.
KPK juga tengah menangani kasus gratifikasi dengan tersangka Gubernur Papua Lukas Enembe.
Urusan ini bisa ruwet karena ada gerakan masyarakat Papua yang mencoba menghalang-halangi penyidikan.
KPK agak mundur terkena gertakan itu, dan menawarkan ‘’perdamaian’’ dengan pencabutan status tersangka.
Syaratnya, Lukas Enembe bisa membuktikan dari mana muasal uang Rp 560 miliar yang diduga mengalir ke sebuah kasino di Singapura.
Tawaran damai KPK ini dikecam karena pembuktian seharusnya dilakukan di pengadilan.
KPK sedang mengebut untuk memperbaiki citra.
Tuduhan pelemahan KPK masih sering ditudingkan oleh para aktivis anti-korupsi.
Kasus Lili Pintauli yang diduga melakukan korupsi jabatan membuat KPK tercoreng aib.
Pelanggaran etika oleh Firli Bahuri juga masih menyisakan aib.
Presiden Joko Widodo pada kampanye kepresidenan periode kedua berjanji akan memimpin langsung upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Sekarang saatnya Jokowi membuktikan janjinya, kalau tidak mau langit hukum runtuh di Indonesia. (*)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror